"Dosa Besar" Saya: Jadi Mahasiswa PGSD tapi Diam-diam Ingin Menulis di kumparan

Wait 5 sec.

Ilustrasi penulis. Foto: Shutter StockDulu, saya kira potensi itu seperti undian berhadiah dari Indomaret: kalau beruntung ya dapat, kalau nggak, ya sudah. Saya, sebagai salah satu pelajar yang rajin-rajin amat nggak, malas-malas amat juga nggak, adalah spesimen hidup dari definisi "belum menyadari potensi" itu. Rutinitas saya adalah kombinasi mematikan antara tidur siang yang berkualitas, mengerjakan tugas tematik yang njelimet , dan memikirkan, apa sih gunanya aku di dunia ini selain jadi pengisi daftar hadir? Sampai beberapa hari yang lalu, saya tidak sengaja menemukan satu halaman keramat bernama kumparan. Sumpah, awalnya hanya iseng setelah googling "website yang isinya kritik tapi gak bikin pusing". Saya kira isinya bakal formal kayak jurnal, ternyata lebih mirip dialog warung kopi yang tiba-tiba jadi filosofis. Setelah kurang lebih empat jam scroll, saya langsung kagum sekaligus minder. Isi ceritanya inspiratif, kritis, tapi anehnya dikemas dengan gaya yang nyeleneh dan ngawur pol.Mereka membahas politik, pendidikan (tentu saja), sampai agama, tapi dengan bumbu sindiran yang lezat. Rasanya seperti makan pecel lele, pedas, tapi bikin ketagihan. Mereka bisa bilang "sistem ini bobrok" tanpa terdengar seperti demonstran yang teriak di depan gedung DPR, melainkan seperti teman nongkrong yang mengungkap aib dengan tawa melonjak-bahak.Membaca Mojok seperti ditantang duel: berani nggak kamu, anak PGSD yang bekerja sebentar lagi bikin RPP, menghias kelas, dan mengajar lagu 'Dua Mata Saya', membuat artikel sekelas ini?Saya jelas bukan ahli penulis yang andal, apalagi pengkaji bahasa. Saya cuma seorang mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma yang punya satu ambisi gila: jadi penulis Mojok. Ini semacam klarifikasi intelektual, lho. Di satu sisi, saya menuntut soft skill yang berlimpah, harus sabar menghadapi tingkah pola bocah, dan memastikan anak-anak mengetahui perbedaan warna. Di sisi lain, saya meronta ingin menulis esai yang berkonsultasi kenapa kurikulum selalu jiwa ganti tiap ganti menteri.Ya, saya tahu. Pilihan pada program studi PGSD dan ambisi menulis satir adalah dua hal yang seperti minyak dan udara. Satu sisi harus manis, sabar, dan mengajarkan mengeja. Sisi lain harus kritis, pedas, dan kadang-kadang ndilalah menyinggung. Tapi bagi saya, ini bukan masalah. Justru di sini letak keseruannya. Saya bisa menjadi manusia yang lebih baik dan meningkatkan potensi diri melalui literasi, terlepas dari keharusan menguasai materi tematik dan membuat media pembelajaran dari kardus bekas.Di tengah rutinitas menyusun silabus yang terkadang terasa monoton, ide menulis kritis itu muncul. Saya mulai menghabiskan waktu luang dengan menggali lebih dalam terkait beberapa penulis yang memiliki karakter kuat, seperti Puthut EA, yang gaya menulisnya selalu nendang dan penuh observasi, atau Gabriel Garcia Marquez dengan realisme magisnya. Semua penulis itu adalah semacam pengungsi dari keruwetan mencari tahu bagaimana cara terbaik mengajarkan perkalian pada siswa kelas 2.Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Mentawai Yogyakarta Ketika Dosen Bahasa Indonesia Adalah Plot TwistInspirasi menulis memang bisa datang dari mana-mana, bahkan dari ruang kuliah yang berbau kapur dan whiteboard marker. Suatu ketika, di kelas mata kuliah Bahasa Indonesia, dosen kami, Bapak Drs. St. Kartono, M.Hum., melakukan ritual aneh yang membuat kami, para calon pendidik, tiba-tiba tegang. Beliau membagikan selembar kertas koran pada masing-masing siswa."Coba kalian baca dalam satu menit, lalu simpulkan isinya," perintah beliau, dengan wajah khas orang yang tahu bertahan apa yang akan terjadi selanjutnya.Hasilnya? Tidak besar. Tak seorang pun di antara kami, yang sebentar lagi akan berhadapan dengan soal-soal HOTS, dapat menyimpulkan isi koran tipis itu dalam waktu singkat kilat. Kami semua bengong. Tentu saja, Pak. Otak kami, sebagai calon guru SD, sudah dilatih untuk memahami kurikulum dan PAI, bukan konklusi mendalam dari koran harian yang bau tinta. Literasi kami terbatas pada buku cerita bergambar dan caption Instagram.(berkembang dan Humanis humanis (sumber: Boas))Melihat ketersudutan kami, Beliau pun tersenyum tipis. Perlahan, beliau memberikan satu inspirasi tentang sosok yang sudah menjadi sepuh dalam hal literasi. Sosok yang telah menjalani seluk beluk dalam dunia penulisan, baik itu cerpen, novel, karya ilmiah, dan bahkan jurnal nasional yang sudah tersinta. Sosok ini adalah jagoan literasi yang diam-diam ada di depan kami.Lalu, beliau menjelaskan bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri .Saya sudah menduga sebelumnya bahwa dia akan mengatakan bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Tapi mendengarnya, rasanya seperti menemukan harta karun di kantin kampus.Bapak Kartono, dosen yang kesehariannya mengampu mata kuliah menulis di kampus kami, ternyata adalah penulis yang produktif bukan main . Beliau lulusan IKIP Sanata Dharma, pernah mengajar di SMA Kolese De Britto, dan yang paling menakjubkan, beliau telah mengkorankan lebih dari 300 artikel di berbagai media lokal hingga nasional. Angka 300 itu, Pak, bukan sekadar tugas kliping. Pencapaian itu membuat daftar penulis terkenal yang saya sebutkan di awal tadi terasa insecure.Di situlah saya sadar. Jika ada mahasiswa PGSD yang boleh punya ambisi menulis di Kumparan , maka sayalah orangnya. Sebab, salah satu dosen saya adalah bukti nyata bahwa ranah pendidikan dan literasi kritis tidak dapat dipisahkan. Bahwa guru pun boleh, bahkan harus, punya suara di media massa.Bapak Kartono bukan hanya menginspirasi saya dalam meningkatkan budaya literasi. Beliau adalah panutan yang diam-diam membisikkan: "Hei, kamu anak PGSD, jangan hanya sibuk mewarnai gambar! Menulis itu penting, karena kalau kamu tidak menulis, yang lain akan menulis cerita tentangmu."Maka, melalui tulisan ini, izinkan saya, mahasiswa PGSD yang bandel ini, mengucapkan terima kasih kepada Mojok.co yang sudah membuka mata, dan kepada Bapak Kartono, dosen saya, yang sudah membuktikan bahwa guru pun boleh punya tulusi tinta di media massa.Saya akan terus berambisi. Semoga ambisi "dosa besar" saya ini bisa diamuni. Dan semoga tulisan ini bisa jadi tulisan pertama dari anak PGSD yang ingin nyambi jadi penulis paling nyeleneh.