Sekolah yang Rapuh, Deus Ex Machina Dunia Pendidikan Kita

Wait 5 sec.

Ilustrasi Guru Mengajar di Sekolah Rakyat. Foto: KemendikdasmenEkosistem sekolah masih terus berkutat dengan problem yang belum menyentuh substansi kualitas pendidikan. Dua kejadian di lingkungan sekolah menjadi representasi yang patut kita refleksikan secara mendalam.Jauh di Luwu Utara, dua guru tidak hanya sempat merasakan dinginnya dinding penjara, tetapi juga kehilangan kehormatan profesi, sebelum akhirnya direhabilitasi. Perkaranya terlihat sepele, akibat mengkoordinasi pengumpulan uang dari orang tua murid, untuk dapat membayar guru honorer yang belum mendapatkan gaji selama 10 bulan. Namun, justru karena hal itu, keduanya dianggap melakukan pungutan liar dan berperkara secara hukum. Anda dapat memberi tafsir apa pun secara bebas, tetapi isu utama mengenai keterlambatan hak guru honorer yang tidak tertunaikan tepat waktu jelas merupakan tindakan yang tidak manusiawi.Pertanyaan mendasarnya: bagaimana mereka-para guru honorer, mampu memenuhi kehidupan keluarganya, sementara di sisi lain mereka dituntut untuk memberi pengajaran sebaik mungkin, agar dapat mencerdaskan peserta didik?Sementara itu, di lokasi yang terpisah jauh, terjadi ledakan bom di SMAN 72 Jakarta. Ditengarai, hal tersebut terjadi sebagai akibat dari perundungan (bullying) yang ekstrem. Dua peristiwa ini jelas mengilustrasikan realitas wajah dunia pendidikan kita.Gejala tersebut memperlihatkan adanya problem psikososial yang sistematis dan kompleks di sekolah kita. Seluruh kejadian itu menjadi alarm atas adanya kendala sistemik atas birokrasi, regulasi, dan proses edukasi itu sendiri. Kita berhadapan dengan kesenjangan dan keamanan secara bersamaan. Sekolah, tidak menjadi ruang yang aman untuk semua: (i) bagi para guru yang berpotensi dikriminalisasi, dan (ii) bagi para murid yang bisa mendapatkan perundungan kapan saja.Pada ujungnya, mekanisme penyelesaian menggunakan pola deus ex machina-intervensi dari kekuatan di luar sistem, untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Sekali lagi, upaya perlindungan bagi ekosistem sekolah sedemikian rapuh dan keropos.Konstitusi mengamanatkan bahwa tujuan bernegara adalah untuk membangun generasi masa depan yang cerdas, dan pendidikan memiliki peran tersebut. Sejatinya semua bagian dari ekosistem sekolah adalah pahlawan bagi bangsa ini, termasuk menjadi guru yang tulus mengabdi dan siswa yang bersungguh menuntut ilmu; kedua pihak ini tidak boleh menjadi korban.Dalam kerangka solusi, perlu dijalin kembali tenunan pendidikan sesuai proporsi utamanya: mendidik para penerus bangsa. Dibutuhkan kesadaran para pihak terkait untuk mengembalikan ruang sekolah menjadi tempat penuh perlindungan bagi semua entitas. Pengambil kebijakan struktural, di tingkat pusat dan daerah, perlu mengimplementasikan dukungan anggaran bagi sekolah, bukan sekadar retorika tanpa realisasi. Di samping itu, dalam aspek internal: guru, murid, dan orang tua, perlu membangun komunikasi sinergis sebagai pangkal deteksi dan intervensi dari kendala sekolah.Lebih jauh lagi, aparat penegak hukum dalam menangani kasus di lingkup sekolah perlu berkoordinasi erat dengan asosiasi guru. Tujuannya agar mereka mampu melihat konteks persoalan yang terjadi, bukan hanya mengandalkan tafsir teks hukum positif.Kerangka sistem pendidikan kita memang perlu dikoreksi kembali. Renungan penting dari rangkaian kejadian ini adalah: kerelaan kita semua untuk belajar dari kesalahan yang terjadi dan memperbaiki diri dari waktu ke waktu, karena pada dasarnya manusia adalah homo educandum-makhluk yang perlu dan dapat dididik. Semoga.