Ingin Anak Sukses dan Tangguh? Hindari 7 Kalimat Berbahaya Ini

Wait 5 sec.

Ilustrasi pola asuh orangtua. (Freepik)JAKARTA - Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh bahagia dan sukses. Salah satu cara terbaik untuk mewujudkannya adalah dengan mengenalkan ketangguhan mental sejak dini.Psikoterapis Amy Morin mengatakan yang kuat secara mental biasanya memiliki kepercayaan diri tinggi, lebih mudah bangkit saat menghadapi tantangan, tetap berpikir positif dan mampu belajar dari kegagalan.Maka dari itu, pilihan kata orang tua saat berkomunikasi dengan anak sangat penting terutama ketika situasi sedang penuh emosi dan mudah membuat kita mengatakan apa pun demi menghentikan tantrum atau menenangkan kekhawatiran anak. Menurut Morin, beberapa kalimat yang terdengar biasa justru bisa mengirim pesan yang salah."Semua orang tua pasti pernah melakukan atau mengucapkan hal-hal ini,” ujar Morin kepada CNBC Make It."Namun ini juga kesempatan untuk menunjukkan pada anak bahwa kita pun belajar dari kesalahan, bisa berubah, dan melakukan hal yang lebih baik," tambahnya.Berikut 7 kalimat yang sebaiknya dihindari oleh orang tua yang ingin membesarkan anak yang kuat secara mental.1. “Tenang dong!”Memerintah anak untuk merasakan sesuatu bukanlah langkah yang tepat, meski maksudnya ingin menenangkan mereka.“Kita ingin mengirim pesan bahwa apa pun perasaanmu, itu boleh. Tapi yang penting adalah bagaimana kamu mengelolanya,” kata Morin.Sebagai gantinya, cobalah berkata, “Sepertinya kamu sedang sangat marah, ya". Ajak anak memahami bahwa merasa kesal itu wajar, lalu bantu mereka menemukan aktivitas yang bisa meredakan emosi seperti mewarnai, berlari di luar, atau mendengarkan musik.2. “Sudahlah, jangan khawatir.”Mengatakan ini bukan membuat rasa khawatir hilang begitu saja. Alih-alih menyuruh anak berhenti memikirkan sesuatu, Morin menyarankan untuk mengajak mereka belajar cara menghadapi kekhawatiran.Misalnya tanyakan “Kalau temanmu sedang khawatir soal hal ini, apa yang akan kamu katakan padanya?". Melihat situasi dari sudut pandang lain, biasanya membuat anak lebih rasional. Dengan begitu, mereka belajar memberi nasihat yang sama pada diri sendiri.3. “Kamu pasti bisa!”Nada optimis memang penting, tapi tidak ada yang bisa menjamin hasil.Jika orang tua menjanjikan anak bahwa mereka pasti akan berhasil, lalu hasilnya tidak sesuai harapan, hal itu bisa membuat anak kehilangan kepercayaan diri dan meragukan ucapan orang tua ke depannya.Lebih baik katakan, "Lakukan yang terbaik. Kalau nantinya tidak berjalan sesuai rencana, tidak apa-apa. Kita bisa hadapi bersama".4. “Jangan sampai Ibu/Ayah lihat kamu melakukan itu lagi!”Kalimat ini biasanya muncul karena frustrasi dengan maksud membantu anak menghindari kebiasaan buruk atau berbahaya. Namun yang terjadi justru anak belajar untuk menyembunyikan kesalahan agar tidak ketahuan.“Mereka bisa saja lemnya dipakai buat merekatkan lampu yang rusak supaya Anda tidak tahu, atau membuang nilai jelek sebelum Anda melihatnya,” kata Morin.Padahal kejujuran adalah kesempatan bagi orang tua untuk membantu anak belajar dari kesalahan. Cobalah mengatakan, "Kamu mungkin akan tergoda melakukan ini lagi, dan mungkin ingin menyembunyikannya. Tapi begini cara kita menghadapinya bersama".5. “Kamu yang paling hebat!”Tidak ada yang salah dengan memuji anak. Namun jika anak hanya merasa layak dipuji ketika menjadi yang terbaik, mereka bisa tumbuh dengan standar yang tidak realistis dan cemas jika tidak menjadi nomor satu.Dalam kasus ekstrem, anak bisa terdorong untuk curang demi selalu menjadi yang terbaik. Lebih sehat jika orang tua memuji proses, seperti kerja keras dan usaha mereka, bukan hasil akhirnya.6. “Itu sempurna!”Kalimat ini juga bisa memicu perfeksionisme. Anak yang merasa harus selalu sempurna untuk mendapatkan pujian atau cinta bisa berisiko mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau OCD.Bahkan komentar sederhana seperti “Gambarnya sempurna", bisa membuat anak terus membebani dirinya sendiri agar tidak pernah membuat kesalahan. Fokuslah pada usahanya dengan mengatakan "kamu sudah bekerja keras,” atau “kamu tetap bangkit meski sempat jatuh.”7. “Kamu bikin Ibu/Ayah marah.”Mengaitkan perasaan orang tua dengan perilaku anak bisa membuat anak merasa tidak bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Lebih buruk lagi, mereka bisa tumbuh menjadi anak yang suka menyalahkan orang lain atas perasaannya, atau memanipulasi orang lain agar mendapat apa yang mereka mau.“Kita ingin anak tahu bahwa mereka punya kendali atas pikiran, perasaan, dan perilaku mereka sendiri,” kata Morin.Cobalah mengganti dengan "Ibu/Ayah tidak suka perilakumu yang ini, yuk cari cara agar kamu bisa bersikap lebih baik".