Pecinan Surabaya: Pengalaman Mengunjungi Kawasan Kya-Kya

Wait 5 sec.

Siang itu Surabaya sedang panas-panasnya ketika saya dan kelompok Field Study dari kampus tiba di kawasan Pecinan Kya-Kya, Surabaya. Matahari seperti menggantung tepat di atas kepala, membuat keringat langsung muncul bahkan sebelum kami mulai berjalan. Meski begitu, rasa penasaran mengalahkan segala rasa gerah karena hari itu kami akhirnya bisa menelusuri salah satu kawasan tertua dan paling berwarna dalam perjalanan sejarah kota ini.Sumber: Dokumen PribadiKunjungan ini merupakan bagian dari proyek Field Study, yaitu kegiatan observasi langsung untuk melihat fenomena budaya dan sejarah, lalu mengaitkannya dengan teori yang sudah dipelajari di kelas. Dari sekian banyak tempat yang bisa dipilih, Kya-Kya menjadi pilihan ideal karena kawasan ini menyimpan perpaduan kuat antara sejarah, budaya, sekaligus dinamika sosial masyarakat Tionghoa di Surabaya.Saat memasuki gerbang Kya-Kya, suasananya langsung berubah. Gedung-gedung tua berarsitektur khas Tiongkok berdiri berdampingan dengan ruko-ruko modern, menciptakan kontras yang menarik. Lampion merah menggantung di sepanjang jalan, meski beberapa tampak sudah memudar warnanya akibat panas.Kya-Kya Surabaya, yang kini dikenal sebagai salah satu pusat kuliner sekaligus kawasan heritage, memiliki sejarah panjang. Nama "Kya-Kya" sendiri berasal dari istilah Hokkian kia-kia yang berarti “jalan-jalan.” Kawasan ini sudah menjadi titik pertemuan komunitas Tionghoa sejak awal abad ke-19, ketika banyak pedagang menetap di sekitar Jalan Kembang Jepun dan membuat kawasan tersebut berkembang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan budaya Tionghoa.Meski kini Kya-Kya lebih populer sebagai kawasan wisata kuliner malam, identitas sejarahnya masih terasa. Banyak bangunan lama dipertahankan bentuknya, dan beberapa di antaranya masih dihuni oleh keluarga Tionghoa yang sudah tinggal turun-temurun.Kami menyusuri area tersebut sambil mencatat detail-detail kecil: papan nama toko yang masih bertuliskan huruf Mandarin, aroma herbal dari toko obat tradisional, hingga pedagang tua yang duduk santai sambil mengipasi diri karena panas siang itu benar-benar memukul.Klenteng Hong Tiek Hian: Ketenangan di Tengah Panasnya KotaPerjalanan kami berlanjut ke sebuah bangunan berwarna merah mencolok yang berada tak jauh dari pusat Kya-Kya, Klenteng Hong Tiek Hian. Berdiri sejak abad ke-18, klenteng ini disebut-sebut sebagai klenteng tertua di Surabaya.Sumber: Dokumen PribadiBegitu melangkah masuk, suasana panas kota seakan langsung mereda. Aroma dupa memenuhi udara, patung-patung dewa tertata rapi, dan warna merah emas mendominasi seluruh ruangan. Meskipun tempatnya tidak besar, suasananya sangat khidmat dan damai.Kami berjalan berkeliling untuk mengambil data sambil memotret ornamen-ornamen khas klenteng, mulai dari patung dewa, lilin-lilin besar, hingga altar utama. Semua tampak terawat dengan baik dan tetap digunakan untuk kegiatan ibadah masyarakat setempat.Wawancara dengan Ketua RW: Harmoni dalam KeberagamanSetelah selesai mengamati klenteng, kami menuju sebuah bangunan kecil tepat di depan klenteng kantor RW setempat. Di sanalah kami bertemu Pak Togi, Ketua RW yang sudah lama mengurus kawasan tersebut.Sumber: Dokumen PribadiBeliau menyambut kami dengan ramah setelah mendengar tujuan kami datang untuk menggali informasi tentang kehidupan sosial di Pecinan Kya-Kya.Dalam wawancara singkat itu, beliau menjelaskan bahwa hubungan antarwarga di kawasan tersebut sangat harmonis.“Di sini para pemuda tidak ada yang aneh-aneh. Mereka semua kami rangkul, dan kami saling toleransi di sini,” ujar Pak Togi.Kata-kata itu terasa sederhana, tetapi justru menunjukkan nilai penting yang membuat kawasan ini tetap rukun. Di tengah keberagaman etnis dan kepercayaan, warga sekitar mampu hidup berdampingan dengan damai.Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan sosial sering dilakukan secara kolektif tanpa memandang latar belakang, karena bagi mereka, yang terpenting adalah menjaga lingkungan tetap aman dan nyaman.Kya-Kya: Dari Masa Jaya hingga RevitalisasiSaat menggali data, saya menemukan bahwa Kya-Kya pernah mengalami pasang surut. Pada awal abad ke-20, kawasan ini merupakan pusat perdagangan terbesar di Surabaya. Namun, seiring berkembangnya kota, aktivitas ekonomi bergeser ke wilayah lain.Barulah pada tahun 2003, Pemerintah Kota Surabaya melakukan revitalisasi besar-besaran dan menjadikannya kawasan wisata kuliner malam.Meskipun sempat tutup beberapa kali, upaya menghidupkan kembali kawasan ini terus dilakukan, hingga akhirnya Kya-Kya kembali ramai dan menjadi destinasi populer bagi wisatawan, pelajar, dan mahasiswa.Belajar Toleransi dari Jantung Pecinan SurabayaKunjungan Field Study kali ini memberikan pengalaman yang jauh lebih bermakna daripada sekadar jalan-jalan. Di tengah panasnya siang Surabaya, saya justru menemukan kehangatan dalam bentuk yang lain: keramahan warga, cerita sejarah, dan nilai toleransi yang terjaga.Mendengar penjelasan langsung dari Pak Togi membuat saya menyadari bahwa kerukunan bukan hanya narasi di buku pelajaran. Di tempat seperti Kya-Kya dan Klenteng Hong Tiek Hian, nilai itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.Sumber: Dokumen PribadiKawasan Pecinan ini mengajarkan saya bahwa keberagaman bukan sekadar perbedaan, tetapi kesempatan untuk saling memahami dan menghargai.Kya-Kya bukan hanya tempat kuliner, dan Klenteng Hong Tiek Hian bukan hanya tempat ibadah. Keduanya adalah ruang sejarah yang hidup, tempat di mana budaya, identitas, dan toleransi saling berdampingan.Dan di bawah teriknya matahari siang itu, saya merasa pulang membawa cerita yang tidak hanya tercatat di laporan, tetapi juga tersimpan dalam pengalaman nyata.