“Biola Aceh” atau Mob Mob, adalah salah satu ekspresi budaya yang memadukan drama syair sosial dan spiritual. Tradisi ini kini berada di ambang kepunahan dalam lanskap tradisi berkesenian masyarakat Aceh (Dok. pribadi, 2013).Ada titik ketika kita sadar bahwa cara lama membaca kebudayaan tidak lagi cukup. Tradisi memang bertahan, tetapi mekanisme kita dalam mempelajari, merawat, dan mengajarkannya sering tertinggal. Dua forum yang berlangsung hampir bersamaan—Webinar Literasi Muara: Bunyi-bunyian Nusantara Musik Indonesia Timur dan Kuliah Publik Narahubung Dekolonialisasi Arsip—mengirimkan pesan yang sama: Indonesia memerlukan reboot dalam cara memahami dirinya.Reboot bukan membuang masa lalu. Ia adalah pembaruan cara membaca masa lalu agar lebih relevan bagi masa depan. Seperti menata ulang instrumen yang terus dimainkan tanpa henti, kita memerlukan keheningan sesaat untuk mendengar ulang frekuensi kebudayaan kita sendiri.Musik, tarian, teater—di bumi Nusantara—tidak pernah berdiri sebagai objek tunggal. Bunyi tumbuh di dalam ritus, bahasa, solidaritas, dan lanskap ekologis. Rapa’i menemani zikir dan kisah sejarah; tifa menjaga irama komunitas Papua; angklung mencerminkan etika kolektif Sunda. Tradisi ini tidak hanya memproduksi estetika, tetapi juga metabolisme sosial.Namun pendidikan seni modern sering memisahkannya. Teknik menjadi pusat, konteks menjadi pinggiran. Mahasiswa menjadi mahir memainkan nada, tetapi tidak lagi mengenali dunia sosial yang melahirkan nada itu. Kita mempelajari bentuk, tetapi kehilangan ruh. Itulah saat ketika reboot nalar menjadi penting: melihat seni sebagai kehidupan, bukan keterampilan semata.Hal yang sama terjadi dalam arsip. Selama puluhan tahun, arsip kolonial merekam masyarakat Nusantara dari jarak hierarkis: foto tanpa nama, catatan tanpa suara, rekaman tanpa konteks. Dekolonialisasi arsip bukan romantisasi. Ia adalah proses menata ulang memori—mengembalikan subjektivitas yang sempat diambil alih oleh narasi kolonial. Ketika komunitas, peneliti, dan teknologi bekerja bersama, arsip berubah dari lemari sunyi menjadi ruang dialog.Dalam reboot nalar, arsip bukan museum beku, tetapi komposisi yang hidup: terbuka untuk interpretasi baru, bagi generasi yang akan datang.Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Samudra Hindia, wilayah Sumatra—menjadi penghubung hidup masyarakat pesisir dan ruang budaya yang terus bergerak. (Dok. pribadi, 2014)Pendidikan tinggi seni di Indonesia juga berada pada persimpangan. Banyak kampus masih berpikir seperti pabrik keterampilan, bukan ruang eksplorasi. Padahal dunia seni meluas ke riset, teknologi, media digital, advokasi sosial, hingga ekologi budaya. Seni tidak lagi berdiri di panggung; ia bekerja di desa, di kota, di ruang komunitas, di laboratorium suara, di platform digital.Jika kampus ingin relevan, ia harus menjadi laboratorium sosial: tempat mahasiswa belajar dari maestro, merekam pengetahuan lokal, mengembangkan karya yang berbicara tentang kebutuhan masyarakat, dan menjembatani tradisi dengan teknologi tanpa saling meniadakan. Kampus bukan sekadar ruang untuk menghasilkan “seniman terampil”, tetapi generator pemikiran kultural.Tantangan berikutnya adalah tata kelola kebudayaan. Kita masih menilai kesuksesan dari jumlah acara, penonton, atau serapan anggaran. Namun kebudayaan sejatinya tumbuh dari praktik yang kecil tetapi konsisten—jejaring antarwilayah, ruang seni yang hidup, pemetaan pengetahuan, keberlanjutan komunitas. Reboot kebijakan berarti bergerak dari seremonial menuju ekologi: dari satu kali acara menuju ritme jangka panjang.Di pusat dari semuanya adalah prinsip kemerdekaan bunyi. Setiap ekspresi artistik—tradisi, eksperimen, digital, kontemporer—berhak hidup tanpa ditekan pasar, institusi, atau standar estetika tertentu. Di titik ini, dekolonialisasi dan reboot nalar bertemu: seni menjadi medium otonom masyarakat untuk bicara, bukan sekadar produksi industri budaya.Dialog budaya dalam tur The Muslim Women Voices di AS: I Made Bandem dan N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem berbagai teknik dan filosofi tarian Bali kepada Tim Tari Aceh dan mahasiswa College of the Holy Cross. (Dok. pribadi, 2015)Indonesia terlalu kompleks untuk satu narasi budaya. Terlalu kaya untuk disederhanakan. Terlalu kreatif untuk diikat oleh satu kurikulum atau satu selera. Kebudayaan Nusantara selayaknya bergerak seperti orkestra besar: banyak suara, banyak tempo, banyak warna—tetapi tetap menuju harmoni yang sama.Reboot kebudayaan bukan milik akademisi atau seniman saja. Ia adalah gerakan inklusif dan populis dalam makna yang paling sehat: mengembalikan kemampuan masyarakat untuk memahami, menafsir, dan mencipta. Ia mengajak negara untuk mendengar, kampus untuk adaptif, dan komunitas untuk berdaulat atas narasinya.Reboot nalar bukan ajakan untuk melupakan yang lama. Ia mengajak kita menatapnya dengan cahaya baru. Ia bukan seruan untuk melawan modernitas, tetapi untuk merundingkannya dengan identitas kita. Ia bukan proyek merombak tradisi, tetapi merawat tulang punggung sejarah sambil membuka pintu bagi masa depan.Dengan nalar yang di-reboot, Indonesia bisa menata ulang arti kebudayaan—bukan sebagai ornamen, tetapi sebagai penanda arah. Di tengah dunia yang bergerak cepat, kita kembali pada akar untuk melompat lebih jauh.Dan di sana, masa depan kebudayaan Nusantara menunggu untuk disusun ulang, dengan tangan yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih.