Komisi III DPR RI mengadakan konferensi pers terkait KUHAP di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025). Foto: Abid Raihan/kumparanKetua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyampaikan klarifikasi terkait sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dianggap kontroversial. Ia menyebut banyak informasi yang beredar di publik tidak tepat sehingga perlu diluruskan.Klarifikasi itu ia sampaikan dalam konferensi pers di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/11).Pertama, ia menjawab sorotan terhadap Pasal 5 soal kewenangan penangkapan, penggeledahan, hingga penahanan. Menurutnya, tudingan bahwa tindakan itu dilakukan pada tahap penyelidikan adalah keliru.“Pernyataan tersebut tidak benar, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam Pasal 5 dilakukan bukan dalam tahap penyelidikan, namun dalam tahap penyidikan,” tegasnya.Ia menjelaskan penyelidik memang bisa melakukan penangkapan, tetapi tetap dalam kerangka penyidikan dan berdasarkan perintah penyidik. Habiburokhman menegaskan syarat upaya paksa dibuat jauh lebih ketat dibanding KUHAP lama.“Memang yang bisa menangkap itu penyelidik boleh menangkap, tapi bukan dalam tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan. Dan itu atas perintah dari penyidik,” ucap Habiburokhman.“Lalu penangkapan, penahanan, penggeledahan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan syarat yang sangat ketat dan lebih ketat daripada KUHAP yang lama,” tambahnya.Pasal 16: Undercover Buying dan Control DeliveryHabiburokhman membantah tudingan penyamaran dan pembelian terselubung bisa dilakukan untuk semua tindak pidana.“Ini koalisi pemalas, tidak benar, karena sudah dilimitasi di bagian penjelasan. Metode penyelidikan diperluas namun hanya untuk investigasi khusus, bukan untuk semua tindak pidana,” ucap Habiburokhman.Ia menyebut, penjelasan pasal tersebut telah tegas mengatur bahwa metode itu hanya untuk tindak pidana tertentu seperti narkotika dan psikotropika.“Dalam penjelasan Pasal 16, RKUHAP menyebutkan bahwa ketentuan penyelidikan dengan cara penyamaran, pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan merupakan teknik investigasi khusus yang diatur dalam undang-undang khusus antara lain pada undang-undang mengenai narkotika dan psikotropika,” jelas Habiburokhman.Soal Penggeledahan Tanpa Izin HakimPasal terkait penggeledahan dan penyitaan yang disebut dapat dilakukan tanpa izin hakim juga diklarifikasi Habiburokhman.“Hal tersebut tidak benar ya karena upaya paksa diatur secara ketat dengan izin hakim dan dengan syarat tertentu yang jauh lebih ketat daripada kuhap lama,” kata Habiburokhman.Ia menjelaskan tindakan tanpa izin hanya dapat dilakukan dalam keadaan mendesak dan tetap harus dimintakan persetujuan hakim dalam waktu 2×24 jam.“Lalu bila mana dilakukan dalam keadaan mendesak yang juga limitatif seperti letak geografis yang tidak memungkinkan segera dimintakan persetujuan dan tertangkap tangan. Tetap dalam waktu 2x24 jam harus memintakan persetujuan hakim,” tegasnya.Soal Restorative JusticeHabiburokhman mengoreksi anggapan RJ dapat menjadi alat pemerasan dalam tahap penyelidikan.“Ini jelas klaim yang tidak benar, karena mekanisme keadilan restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan,” katanya.Ia menegaskan konsep RJ harus dilakukan tanpa paksaan, intimidasi, atau tekanan apa pun, sebagaimana diatur Pasal 81.“KUHAP justru memberikan batasan mengenai hal-hal yang bisa dilakukan dalam mekanisme keadilan restoratif dan harus dilakukan tanpa adanya paksaan, intimidasi, tekanan, tipu daya, ancaman kekerasan, penyiksaan dan tindakan yang merendahkan kemanusiaan. Ini diatur di Pasal 81,” ucap Habiburokhman.Ilustrasi polisi. Foto: ShutterstockSoal Polri Penyidik UtamaHabiburokhman menyinggung kritik KUHAP baru menjadikan Polri super power. Ia mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang sudah lebih dahulu mengatur soal ini.“Yang mengatur bahwa yang diatur di (Pasal) 30 ayat 4 penegak hukum itu hanya Polri sebetulnya ya,” ujarnya.KUHAP baru, katanya, menggunakan asas diferensiasi fungsional: polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, hakim di persidangan, dan advokat sebagai pembela.“Semua dapat diawasi dan diterapkan prinsip check and balances,” ucapnya.Suasana Job Fair & Upskilling Disabilitas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025). Foto: Amira Nada Fauziyyah/kumparanSoal Pasal 99 dan DisabilitasTudingan diskriminasi melalui perpanjangan penahanan untuk penyandang disabilitas juga dibantah Habiburokhman.“RUU KUHAP tidak membuat ketentuan yang memberikan perpanjangan durasi penahanan berdasarkan kondisi kesehatan, pengaturan tersebut Pasal 99 ini sama persis dengan KUHAP lama,” ujar Habiburokhman.Ia menyebut, ketentuan penahanan itu lebih ringan bagi penyandang disabilitas.“Tapi juga tidak merugikan penyandang disabilitasnya, bahkan waktunya lebih singkat. Kalau orang biasa 20 plus 40 hari, kalau penyandang disabilitas 20 plus 30 hari,” jelas Habiburokhman.Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) KPU (kiri) melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih penyandang disabilitas mental di Pondok Rehabilitasi Jamrud Biru, Mustikasari, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (17/7/2024). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTOSoal Pasal 137AHabiburokhman mengklarifikasi klaim soal Pasal 137A yang disebut membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental. Katanya, aturan itu tidak ada.“Coba dibuka tuh Pasal 137, di KUHAP 137A… Enggak ada, makanya kami bingung mau mengklarifikasi ini pasalnya kami lacak enggak ada,” ujarnya.Ia menambahkan justru Pasal 146 memberikan perlindungan dengan mengatur tindakan rehabilitasi atau perawatan bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.“Justru kita mengatur nih, (Pasal) 146 terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimiliki pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana. Pengadilan dapat melakukan tindakan berupa rehabilitasi dan perawatan,” ucap Habiburokhman.Habiburokhman menegaskan, seluruh klaim di media sosial adalah informasi yang tidak benar. Ia menyayangkan minimnya pihak yang memantau langsung pembahasan KUHAP di DPR.“Tapi memang kadang-kadang kita agak kecewa juga, kita undang tapi yang hadir sepi gitu kan… gak ada sama sekali teman-teman yang mau mengawal pembahasan KUHAP ini,” katanya.