Permukiman warga di TPU Kemiri, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (23/11/2025). Foto: Amira Nada Fauziyyah/kumparanDi sisi jalan di Jakarta Timur, tampak 20 bangunan sempit yang berdiri di atas got dan berhadapan langsung dengan nisan-nisan. Di sana lah tempat tinggal perawat makam dan keluarganya.Mereka tinggal di lingkungan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Utan Kayu atau lebih terkenal dengan TPU Kemiri, Rawamangun. Bukan lewat jalur permukiman resmi, melainkan karena hubungan kerja; merawat, menjaga, atau mengurus makam.Fito (16 tahun) lahir dan besar di sana. Rumah yang ia tempati berisi lima orang, yakni orang tuanya dan 2 adiknya.Soal rasa takut? “Rasanya mah sama aja, enggak ada seram-seramnya. Enggak ada (takut), orang pulang malam jam 2 kagak ada, biasa aja,” ujarnya santai.Anak-anak biasa bermain bola atau permainan seperti tapak gunung. Mereka hampir tak pernah kebanjiran, kecuali satu kali ketika “Bendungan jebol, banjir semata kaki.”Bendungan yang dimaksud berasal dari danau yang berada di area golf sekitar makam.Permukiman warga di TPU Kemiri, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (23/11/2025). Foto: Amira Nada Fauziyyah/kumparanAyah Fito bekerja mengurus makam, sementara ibunya berjualan es di tempat yang sama.Ketika ditanya tentang bantuan pemerintah, ia menggeleng. Ia dan kakak, serta adiknya hanya mendapat Kartu Jakarta Pintar.“Selain KJP, enggak ada. Ayah, ibu juga enggak,” kata Fito.Berjibaku dengan Got dan NyamukMasalah paling nyata di permukiman di atas kuburan ini adalah bau got dan nyamuk. “Kan ini di bawah-bawah rumah kan got ya. Sering bau dia kan dari sono gotnya, dari rumah-rumah dalamnya lagi,” kata Fito.Permukiman warga di TPU Kemiri, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (23/11/2025). Foto: Amira Nada Fauziyyah/kumparanMenurutnya, pihak kelurahan rutin melakukan fogging seminggu sekali, tapi perihal saluran got tak pernah ada tindak lanjut.Kegiatan sosial seperti ronda atau arisan tak ada. Hubungan warga bergantung pada kedekatan personal, bukan struktur resmi. Sementara, RT berada di luar area pemakaman.Numpang untuk Cari Makan Seperak Dua PerakImah (66) yang sudah tinggal di lokasi sejak 2006, menghabiskan hari-harinya membuka warung kecil. Ia bukan pendatang acak. Di sini, orang hanya bisa tinggal jika terkait pekerjaan mengurus makam.Imah mulai menempati area parkir itu setelah para penjaga makam dan pedagang dipindah dari area depan. Pantauan kumparan, deretannya mencapai bibir makam hingga ke depan TPU.Bagi sebagian warga yang rumahnya berada bukan di area parkir, pemandangan ketika pintu rumah terbuka adalah hamparan makam. Bahkan, berjalan satu langkah ke luar saja, langsung menginjakkan kaki di makam.Imah membayar listrik dan air sendiri. Tidak ada fasilitas dari TPU. Ia juga tak pernah menerima bantuan pemerintah. “Saya kan janda, nih. Tapi enggak dapet bantuan apa-apa,” kata wanita yang suaminya telah tiada 5 tahun lalu. Pendataan dari RT memang rutin, tapi hasilnya nihil. “Didata, tapi sampai sekarang enggak dapat apa-apa.”Pendapatannya dari warung tak menentu. “Kalau lagi ramai sehari 150, tapi ya itulah jarang juga. Enggak tentu.”Menurut Imah, penghasilan para perawat makam pun kecil: “Satu kuburan itu Rp 50 ribu atau 25 ribu sebulan. Ada yang Rp 30 ribu. Tapi kan merawat itu bisa lebih dari 5, 10 makam.” ucapnya.Seluruh warga di deretan itu bekerja sebagai perawat makam (ngoret). Bagi yang tak lagi bekerja di TPU pun bisa tetap tinggal jika pekerjaannya dilanjutkan oleh anak, seperti halnya keluarga Imah.Hidup dalam StigmaTinggal di pemakaman membawa stigma dari luar. “Namanya orang. Udah pasti aja ada pro dan kontra,” kata Imah. Ada yang menganggap warga di TPU ‘enggak bener’.”Imah menolak itu. “Tergantung pribadi. Kalau punya rumah di kompleks ya mendingan di kompleks. Ya kagak punya, elite ekonomi sulit, ya mau enggak mau kan.”Meski tinggal “numpang”, bangunan-bangunan kecil itu dianggap milik pribadi, walau lahannya tetap berada di bawah kewenangan TPU. Satu rumah diisi 3–5 orang, kadang lebih. “Sekamar-sekamar doang. Ya cukup, enggak cukup, ya segitu,” kata Imah.Tanpa Banjir, Tanpa KepastianDaerah ini tidak banjir, tanah masih menyerap air. Tetapi kepastian soal masa depan permukiman ini juga tak ada. Warga boleh tinggal selama hubungan kerja berlangsung. Tak ada jaminan sosial, perlindungan, atau program peningkatan kualitas hidup yang spesifik untuk mereka.Yang mereka butuhkan sederhana: bantuan ekonomi. “Kalau maunya, saya mau dikasih bantuan. Sedikit banyak meringankan,” ujar Imah. “Kalau orang enggak punya mah ya beginilah,” tambahnya.