Ilustrasi Kampanye Anti bullying (Sumber: Freepik)Kasus perundungan di lingkungan sekolah menimbulkan keprihatinan yang mendalam dan cukup menyesakkan dada. Meskipun bukan persoalan yang baru, kemunculan kasus serupa kembali membuat dunia pendidikan menjadi sorotan negatif. Situasi ini menjadi pengingat bahwa upaya pencegahan dan pengawasan di sekolah belum sepenuhnya berjalan efektif. Kekhawatiran pun timbul di kalangan orang tua dan pendidik terhadap keamanan anak sebagai peserta didik. Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan, terutama setelah sejumlah peristiwa menggemparkan kembali mencuat belakangan ini.Pada pertengahan November 2025, dunia pendidikan kembali diguncang oleh sebuah peristiwa tragis. Seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan, MH (13), wafat setelah dirawat selama sepekan di rumah sakit. Keluarganya meyakini bahwa tindakan kekerasan terhadap MH telah berlangsung sejak masa MPLS dan mencapai puncaknya ketika ia dipukul menggunakan kursi oleh teman sekelasnya. Rekaman dan kesaksian yang beredar membuat publik marah. Banyak yang bertanya mengapa kekerasan bisa terjadi sedekat itu, bahkan di tengah ruang kelas? Tak lama berselang, kasus serupa muncul di Ponorogo, di mana seorang siswi SMP diintimidasi dan dipukul oleh sejumlah teman, sementara siswa lain sibuk merekam peristiwa itu. Budaya nir empati di kalangan siswa yang memilih merekam peristiwa kekerasan dari pada mengentikannya disebut oleh UNESCO dalam laporan School Violence and Bullying (2019) sebagai “spectator bullying”, yakni situasi ketika anak-anak turut menjadi bagian dari kekerasan karena merasa terlibat dalam “konten viral”, meski tidak melakukan kekerasan fisik secara langsung. Di era digital, kamera ponsel sering kali menjadi alat yang memperpanjang kekerasan, bukannya menghentikannya.Dua kasus ini menunjukkan rantai peristiwa yang sama. Anak-anak terluka, beberapa sampai kehilangan nyawa, tetapi sistem pendidikan berjalan seperti biasa. Kekerasan terjadi, publik heboh, otoritas bereaksi, lalu semua melambat kembali sampai kasus berikutnya muncul. Yang berubah hanya nama korban dan lokasi sekolah. Kita seperti berjalan dalam lingkaran.Tentu saja, publik wajar mempertanyakan banyak hal. Salah satu pertanyaan yang paling mendasar adalah: di mana peran guru dalam lingkar kekerasan ini? Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman setelah rumah, tempat di mana guru memegang peran moral dan sosial yang jauh melampaui urusan akademik. Namun kenyataannya, banyak tindakan kekerasan justru terjadi ketika guru tidak hadir baik secara fisik maupun emosional. Ada ruang kosong yang dibiarkan terbuka, dan dalam ruang kosong itulah kekerasan tumbuh.Jika kita merujuk pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), ia menegaskan bahwa ketika ruang pendidikan tidak dibangun di atas hubungan yang manusiawi, maka relasi dominasi akan mengambil alih, sehingga yang kuat merasa berhak menguasai yang lemah. Dalam pandangan Freire (1970), perundungan bukan sekadar konflik antar-remaja, melainkan produk dari lingkungan yang gagal memanusiakan. Ketika guru tidak menghadirkan budaya dialog, tidak menumbuhkan empati, atau bahkan tidak mengawasi, siswa belajar bahwa kekerasan adalah cara efektif untuk memperoleh posisi sosial. Kritik terhadap guru bukan berarti menjadikan mereka sebagai kambing hitam. Banyak guru sebenarnya ingin tampil sebagai pelindung siswa, tetapi terjebak dalam sistem yang membuat mereka kewalahan. Beban administrasi yang menumpuk, target kurikulum yang menuntut angka, dan birokrasi sekolah yang kaku membuat guru sering kehilangan ruang untuk berperan sebagai pendidik sosial. Banyak guru mengeluhkan bahwa mereka tidak dilatih menangani konflik antar siswa, tidak mendapatkan pelatihan tentang literasi emosi, dan tidak dibekali pendekatan terhadap trauma psikologis.Ketika sistem penilaian kinerja guru masih lebih berat ke administrasi ketimbang kondisi psikososial kelas, maka wajar jika aspek pengawasan sosial menjadi terabaikan. Sementara itu, hubungan antar siswa terus berlangsung di lorong-lorong sekolah, di toilet, di lapangan, dan di grup WhatsApp (WA). Di ruang-ruang itulah kekerasan sering muncul dapat bentuk ejekan, intimidasi, hingga penganiayaan fisik. Kekerasan di sekolah juga meninggalkan bekas mendalam bagi korban. Elizabeth Gershoff (2002) menunjukkan bahwa kekerasan verbal maupun fisik pada anak berkaitan erat dengan depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Artinya, seorang siswa yang menjadi korban bullying tidak hanya membawa luka fisik, tetapi juga trauma jangka panjang yang mungkin memengaruhi masa depannya. Namun, sekolah kerap merespons kasus-kasus seperti ini dengan langkah yang terkesan menyederhanakan persoalan: memanggil pelaku, memberi teguran, lalu berharap keadaan kembali normal. Pendekatan semacam itu mengabaikan kenyataan bahwa perundungan adalah luka sosial yang dalam, bukan sekadar pelanggaran disiplin.Pendekatan hukum dalam sekolah masih stagnan. Padahal, Satjipto Rahardjo, dengan gagasan law as a tool of social engineering pada era 1980-an menegaskan bahwa hukum seharusnya menjadi alat mengubah perilaku sosial, bukan sekadar memberi sanksi. Namun, banyak sekolah menerapkan aturan disiplin seperti mengisi formulir, memberi poin pelanggaran, dan memanggil orang tua tanpa memikirkan perubahan jangka panjang. Tanpa pendekatan yang bersifat pemulihan, pelaku tidak belajar empati, dan korban tidak merasa dipulihkan.Dalam konteks ini, pendekatan restorative justice dapat menjadi opsi untuk mengurangi kekerasan di sekolah. Pendekatan ini menekankan dialog antara pelaku, korban, dan komunitas sekolah. Ia tidak berfokus pada hukuman, tetapi pada pemulihan dan pencegahan berulangnya konflik. Di Indonesia, pendekatan ini mulai diperkenalkan, tetapi belum menjadi budaya. Banyak guru bahkan belum familiar dengan konsep ini. Dengan demikian, persoalannya bukan hanya pada guru sebagai individu, tetapi pada sistem pendidikan yang belum menempatkan keamanan emosional sebagai prioritas. Kita tidak bisa berharap guru dapat mencegah perundungan jika mereka sendiri tidak dibekali, tidak didukung, dan tidak dinilai atas kemampuan mereka menjaga iklim sosial kelas.Pada akhirnya, upaya menghapus perundungan bukan hanya soal memperbaiki respons sekolah ketika kasus terjadi, tetapi membangun ekosistem pendidikan yang benar-benar memanusiakan. Jika sekolah mampu menjadi ruang yang memberi contoh praktik baik, menumbuhkan empati, keberanian moral, dan rasa saling menjaga, maka kekerasan tidak lagi menemukan tempat untuk tumbuh. Perubahan ini memang tidak berlangsung sekejap, namun setiap langkah yang diambil hari ini adalah investasi bagi masa depan pendidikan yang lebih aman dan lebih adil bagi semua peserta didik.