Sumber gambar: https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-wanita-krim-kesehatan-7861353/Fenomena yang saat ini mendominasi lanskap gaya hidup dan konsumsi masyarakat perkotaan adalah lahirnya permintaan yang masif terhadap kebutuhan untuk tampil sempurna. Layanan estetik merupakan kebutuhan primer bagi mayoritas masyarakat perkotaan. Kenyataan ini tercermin dari kemudahan akses yang ditawarkan. Klinik estetik kini menjamur di setiap sudut kota, didukung oleh promosi agresif para influencer dan selebritas yang menampilkan hasil transformasi dramatis dalam penampilannya. Prosedur non-bedah seperti filler wajah, botox, dan tanam benang—yang merupakan tindakan medis invasif yang berisiko—dipasarkan sebagai ritual kecantikan ringan, layaknya facial biasa. Namun, di balik narasi tersebut, masalah mendasar mulai muncul. Kemudahan akses yang dipromosikan secara masif di ranah digital tidak diimbangi oleh transparansi risiko dan jaminan kompetensi klinisi. Pertanyaan mendasarnya adalah, siapa yang sebenarnya berhak melakukan tindakan estetik, dan apakah kualifikasinya memadai? Problematika utama regulasi estetik di Indonesia adalah kelemahan standar kualifikasi tenaga medis yang berujung pada praktik tanpa kompetensi yang memadai.Isu sentralnya adalah terletak pada perdebatan mengenai batas kewenangan dokter umum dan dokter spesialis dalam melakukan tindakan estetik yang bersifat invasif. Prosedur seperti injeksi filler dan botox bukanlah sekadar menyuntikkan cairan; ia adalah tindakan medis invasif yang memerlukan pemahaman mendalam mengenai anatomi kepala dan leher, terutama lokasi pembuluh darah dan saraf yang vital. Kekeliruan injeksi, misalnya, dapat memicu sumbatan pembuluh darah (oklusi vaskular) yang berujung pada nekrosis (kematian jaringan) atau bahkan kebutaan permanen.Dalam konteks ideal, prosedur berisiko tinggi ini seharusnya menjadi ranah eksklusif dokter spesialis—khususnya Dermatologi dan Venereologi (Sp.DVE.) atau Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik (Sp.BP-RE.)—yang telah menjalani pendidikan bertahun-tahun dengan kurikulum berbasis anatomi dan komplikasi. Namun, regulasi saat ini menciptakan zona abu-abu. Dokter umum diperbolehkan melakukan tindakan estetik dengan syarat mengikuti pelatihan tertentu. Inilah yang menjadi celah. Kritikan seharusnya diarahkan pada kesenjangan kompetensi yang ditutup dengan pelatihan singkat (kursus) yang sifatnya singkat, bahkan dalam hitungan hari. Kursus ini diklaim mampu "meluluskan" seorang dokter umum menjadi mahir melakukan filler atau botox.Tindakan invasif yang seharusnya dilakukan oleh profesional terlatih, dengan jam terbang klinis dan pengetahuan anatomi mendalam di ruang bedah dan pendidikan spesialis, sering kali diserahkan kepada pihak dengan kualifikasi minimal yang hanya bermodal sertifikat kursus. Sertifikat tersebut, dalam banyak kasus, tidak memiliki legitimasi setara dengan pendidikan spesialis secara yang berbasikan pendidikan formal atau akademik dan tidak secara otomatis menjamin penguasaan terhadap penanganan komplikasi serius. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atau Kementerian Kesehatan seharusnya secara tegas dan mutlak membatasi tindakan estetik yang bersifat invasif hanya pada kompetensi spesialis. Ketika permintaan akan "kecantikan kilat" bertemu dengan regulasi yang bias, hasilnya adalah suburnya pasar gelap layanan estetik. Masalah ini tidak hanya sebatas pelanggaran administrasi, melainkan terkait dengan perlindungan konsumen. Maraknya klinik estetik dan salon kecantikan yang beroperasi tanpa izin lengkap menjadi permasalahan. Banyak tempat yang secara formal hanya terdaftar sebagai salon atau tempat perawatan kulit non-medis, namun secara faktual melakukan tindakan invasif seperti filler dan botox—prosedur yang hanya boleh dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) berizin dan oleh tenaga medis yang berwenang.Ancaman berikutnya bagi konsumen adalah perdagangan produk ilegal yang beredar bebas, terutama melalui jalur daring (media sosial dan e-commerce). Produk injeksi seperti filler, yang berfungsi mengisi volume wajah, sering kali dijual murah tanpa label BPOM dan tanpa prosedur distribusi resmi. Risiko akibat penggunaan produk ilegal ini sangat tinggi dan fatal. Bahan yang tidak biodegradable (tidak dapat diserap tubuh) dapat menyebabkan granuloma atau deformasi permanen. Penggunaan filler yang tidak tepat, terutama yang ilegal, meningkatkan risiko oklusi vaskular (penyumbatan pembuluh darah) di area wajah, yang dapat menyebabkan kematian jaringan kulit (nekrosis) dan, dalam kasus terburuk, kebutaan permanen jika arteri yang tersumbat terhubung dengan mata.Media sosial seperti Instagram dan TikTok telah menjadi etalase utama bagi layanan estetik. Fenomena promosi yang digerakkan oleh selebritas dan influencer didominasi oleh klaim-klaim yang fokus pada hasil akhir (before and after yang instan). Kritik mendasar harus diarahkan pada fakta bahwa promosi estetik, yang hakikatnya adalah layanan medis dan tindakan kesehatan, harus tunduk pada etika periklanan kesehatan, bukan etika pemasaran produk biasa. Etika tersebut secara fundamental melarang klaim yang berlebihan, menyesatkan, atau mengabaikan risiko. Tidak ada satu pun iklan obat atau tindakan medis yang diperbolehkan menampilkan testimoni hasil yang tidak realistis tanpa disertai informasi lengkap mengenai kontraindikasi, efek samping, dan kualifikasi klinisi. Namun, di ranah digital, etika ini seolah luntur oleh nilai komersial. Kunci untuk mengakhiri hal ini terletak pada keberanian otoritas tertinggi kesehatan untuk mendefinisikan secara tegas, siapa yang boleh melakukan tindakan estetik yang bersifat invasif? Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), harus mengambil langkah untuk memperjelas dan memperketat batas kewenangan dokter umum dan dokter spesialis dalam prosedur estetik yang bersifat invasif. Saat ini, regulasi menciptakan zona abu-abu. Secara normatif, dokter umum diizinkan melakukan tindakan estetik non-bedah tertentu, asalkan memiliki kompetensi yang dibuktikan melalui pelatihan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelatihan singkat tidak cukup untuk menjamin penguasaan pengetahuan anatomi mendalam yang mutlak diperlukan.Komplikasi serius dalam tindakan estetik yang bersifat invasif, seperti penyuntikan filler yang keliru hingga menyebabkan nekrosis (kematian jaringan) atau kebutaan, terjadi karena minimnya pemahaman klinisi non-spesialis tentang topografi pembuluh darah dan saraf di wajah. Tindakan yang mengancam nyawa jaringan seperti ini seharusnya menjadi domain eksklusif Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi (Sp.DVE.) atau Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik (Sp.BP-RE.), yang telah menempuh pendidikan formal bertahun-tahun, termasuk di kamar bedah dan anatomi.Oleh karena itu, Kemenkes dan KKI harus mengambil tindakan tegas berupa re-evaluasi standar kompetensi, yaitu melakukan evaluasi ulang standar kompetensi untuk prosedur estetik yang bersifat invasif. Tindakan seperti filler dan botox harus diklasifikasikan sebagai tindakan berisiko tinggi yang hanya boleh dilakukan oleh dokter yang memiliki bukti pendidikan formal yang memadai, atau setidaknya, membatasi jenis tindakan yang boleh dilakukan dokter umum secara ketat. Kemenkes dan KKI harus meninjau pengakuan terhadap sertifikat kursus sebagai pengganti kompetensi. Sertifikat pelatihan harus dibedakan secara tegas dari pengakuan kompetensi yang berasal dari program pendidikan formal. Kemenkes dan KKI harus mendorong transparansi agar publik dapat memverifikasi kualifikasi klinisi sebelum menjalani prosedur. Dokter wajib mencantumkan kualifikasi spesialisasi yang relevan dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. KKI, sebagai badan yang memiliki otoritas tertinggi dalam penentuan standar profesi, harus menggunakan kewenangannya untuk melindungi integritas profesi dan keselamatan publik.Kelemahan pengawasan di ranah digital harus segera diakhiri. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah harus segera membentuk Gugus Tugas Lintas Sektor yang memiliki kewenangan penindakan. Gugus Tugas Lintas Sektor, melibatkan Kemenkes, BPOM, Komdigi dan perwakilan masyarakat. Gugus tugas memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan, mulai dari memerintahkan penghapusan konten, memblokir akun yang secara sistematis menyebarkan klaim palsu, hingga memberikan rekomendasi kepada penegak hukum mengenai praktik yang melibatkan peredaran produk ilegal.Di tengah gempuran promosi digital yang masif, harapan terakhir untuk memutus rantai risiko tindakan estetik ilegal ada di tangan konsumen. Oleh karena itu, langkah mendesak dalam regulasi estetik harus mencakup penguatan literasi kesehatan estetik kepada konsumen. Literasi kesehatan estetik harus dimulai dengan mengubah pola pikir masyarakat bahwa tindakan invasif seperti filler dan botox adalah prosedur medis yang memiliki risiko medis. Konsumen mempunyai hak atas informasi yang jujur. Konsumen harus diajarkan cara yang mudah untuk memverifikasi izin praktik (SIP) dan kualifikasi dari dokter yang akan melakukan tindakan estetik. Konsumen harus diajak untuk selalu menuntut agar klinisi menunjukkan label produk yang akan diinjeksikan (misalnya filler). Produk tersebut wajib memiliki izin edar dari BPOM yang sah.