Ilustrasi pemuda dan masa depan. Generated with Gemini.Sebanyak 38% orang dewasa di dunia kini mengalami kekhawatiran yang signifikan dan 37% mengalami stres berat setiap hari. Demikian antara lain hasil survei Gallup (12/10/2025) tentang kesehatan emosional global yang dilakukan di 144 negara/teritori. Emosi negatif ditemukan masih terus meningkat, lebih tinggi dibandingkan satu dekade lalu, dengan membawa implikasi pada kesehatan maupun perdamaian.Dalam data Gallup ini, Indonesia cukup beruntung karena mencatatkan skor pengalaman positif yang relatif tinggi. Sebagai gambaran, sebanyak 91% responden Indonesia menyatakan dapat merasakan enjoyment, dan 86% merasakan cukup istirahat (well-rested).Namun, survei yang dilakukan oleh Good News from Indonesia—GoodStats (8/8/2025) memberikan temuan turunnya optimisme di kalangan generasi muda Indonesia. Skor optimisme kelompok umur 17-25 tahun tercatat paling rendah, yakni 5,45, jauh dari skor tertinggi yang didapatkan oleh kelompok usia 46-55 tahun sebesar 6,21 (dalam skala 10).Interpretasi hasil survei yang dilakukan Juni-Juli 2025 ini adalah generasi muda Indonesia yang biasanya penuh harapan kini dilanda pesimisme yang lebih parah ketimbang generasi yang lebih tua. Inilah buah dari ketidakpastian ekonomi, angka PHK yang tinggi, harga barang kebutuhan pokok yang meninggi, serta ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada.Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penurunan optimisme ini antara lain ketidakpastian ekonomi, tingginya angka PHK, kenaikan harga barang kebutuhan pokok, dan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada.Alarm Masa DepanIni adalah alarm masa depan. Masih begitu banyak pemuda Indonesia yang hari ini merasa tidak memiliki ruang dalam masa depan ekonomi Indonesia—seperti muncul dalam pesimisme di atas.Janji politik memang berlimpah, bahkan terus diproduksi nyaris tiap hari, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, misalnya lapangan kerja terbatas. Yang terjadi adalah diskrepansi antara harapan dan realitas. Makin tajam diskrepansi tersebut, makin kuat pula kegagalan sistemik tata kelola pemerintahan. Anak muda lantas bisa makin apatis untuk berpartisipasi dalam politik, hal yang dapat menjadi sumber instabilitas sosial dan politik suatu bangsa di masa berikutnya.Saat kampanye pemilihan presiden, ada janji menciptakan 19 juta lapangan kerja dalam lima tahun; lalu program Makan Bergizi Gratis (MBG) Koperasi Merah Putih ataupun ekspansi magang lulusan baru disebutkan sebagai basis ekonomi kerakyatan. Semua ini dinarasikan sebagai mesin-mesin kencang yang akan mampu menyerap tenaga kerja muda.Masalahnya, statistik tidak menunjukkan realitas yang seirama dengan janji-janji politik. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025, menurut BPS, mencapai 4,76%; namun untuk penduduk usia 15-24 tahun TPT mencapai 16,16% yang berarti dari 100 pemuda terdapat 16 orang yang menganggur, atau mencapai sekitar 3,6 juta. Padahal, setiap tahun Indonesia harus menyerap sekitar 10 juta pendatang baru di pasar tenaga kerja.Sebanyak 88% Gen Z dan 89% milenial Indonesia yang disurvei oleh Vero Advocacy dan Kadence International, akhir 2024 lalu, melihat pekerjaan sebagai masalah yang krusial dalam hidup mereka. Ada ketidakyakinan yang akut akan masa depan karier mereka. Kepuasan mereka terhadap kesempatan kerja juga hanya 42%, membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan kesempatan kerja yang paling rendah di Asia Tenggara. Akses pekerjaan yang berkualitas, penghasilan yang layak dan adil, serta mobilitas ekonomi adalah hal-hal yang diresahkan anak muda.Keresahan seperti ini konsekuensi struktural dari ekonomi yang belum berpihak pada pemuda yang justru akan menjadi penentu arah negara, bukan sentimen emosional belaka.Padahal, dari perspektif ekonomi, pemuda—dengan potensinya untuk menghasilkan inovasi maupun kefasihannya mengadopsi teknologi—adalah penentu produktivitas jangka panjang untuk mengatasi perlambatan produktivitas maupun jebakan pendapatan menengah (middle-income trap).Menagih kejujuran dan janjiSebagai kelompok demografi terbesar pemilih baru, para pemuda dapat saja kemudian merasa masa depan mereka telah dirampas. Pengalaman di banyak negara menunjukkan frustasi ekonomi generasi muda sering menjadi pemicu gejolak sosial dan retaknya demokrasi.Maka, persoalan pengangguran anak muda tersebut bukanlah sekedar statistik, melainkan dapat menjadi ancaman strategis terhadap keberlanjutan pembangunan.Pemerintah perlu jujur atas kemampuan yang ada, demi menjaga kepercayaan para pemuda, dan agar janji penyerapan kerja pemuda tidak menjadi poster kampanye yang makin pudar. Hendaknya pemerintah juga makin menahan diri untuk tidak terus memajang angka-angka target yang secara riil sulit untuk dicapai.Dimulai dengan Sumpah Pemuda berpuluh tahun lalu, pemuda melahirkan generasi yang berani mengubah arah nasib bangsa, dengan ongkos yang sangat mahal. Kini saatnya, negara dituntut untuk membayar kembali keberanian itu, bukan dengan retorika tetapi dengan memulihkan keyakinan akan kepastian masa depan para pemuda. Inilah harapan yang sebaiknya ditanggapi secara serius.