Ilustrasi Whoosh. Foto: KCICPolemik kereta cepat di Indonesia akhirnya menemukan sedikit titik terang. Dalam peresmian Stasiun Tanah Abang Baru di Jakarta, 4 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya melanjutkan pembangunan kereta cepat hingga ke Banyuwangi sekaligus menyatakan kesiapannya menyelesaikan prahara keuangan yang timbul akibat proyek Whoosh. Presiden berpandangan, Whoosh tidak bisa dinilai hanya berdasarkan untung-rugi karena keberadaannya terbukti bermanfaat dalam mengatasi kemacetan, mengurangi polusi, dan memperlancar perjalanan serta menjadi bagian penting dari sistem transportasi publik dan perkeretaapian nasional.Pernyataan kepala negara ini kurang-lebih senada dengan pandangan mantan presiden Joko Widodo selaku pencetus proyek Whoosh. Jokowi belum lama ini menyampaikan pembelaan dengan menyebut Whoosh sebagai investasi sosial bagi Indonesia. Untuk itu, menurut beliau, kita semestinya tidak memandang Whoosh dari sisi keuntungan (atau kerugian) finansial semata, tetapi juga harus melihat keuntungan sosial dari proyek ini. Dan karena itu pula, subsidi dari negara (dalam konteks ini adalah kucuran APBN kepada Whoosh) harus dipandang sebagai investasi, bukan beban apalagi kerugian bagi negara.Sebelumnya, respons serupa juga muncul dari pemerintah China. Dalam konferensi pers pada 20 Oktober 2025, China mengeklaim Whoosh telah memberikan manfaat sosial-ekonomi yang signifikan selama dua tahun beroperasi, termasuk melayani 12 juta penumpang, mendorong pertumbuhan ekonomi di koridor Jakarta-Bandung, serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Karena itu, menurut pemerintah China, penilaian terhadap Whoosh tidak boleh tertuju pada indikator keuangan dan ekonomi semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kemanfaatan publik secara komprehensif.Memang tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Whoosh sebagai kereta cepat pertama di Indonesia dan Asia Tenggara menjadi tonggak penting modernisasi infrastruktur dan transportasi nasional. Namun demikian, berbagai tafsiran maupun klaim soal manfaat Whoosh yang sempat dijuluki sebagai “barang busuk” ini tentu saja perlu ditelaah secara kritis dan mendalam.Klaim kemanfaatanSalah satu kajian yang sering muncul soal manfaat Whoosh adalah hasil studi dari Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi dan Layanan Rekayasa Universitas Indonesia (POLAR UI). Studi ini berkali-kali dikutip oleh KCIC dalam berbagai kesempatan untuk menunjukkan kisah sukses Whoosh, antara lain dalam menghemat biaya bahan bakar minyak, mengurangi emisi kendaraan bermotor, serta menekan biaya kecelakaan maupun perbaikan infrastruktur dengan nilai mencapai triliunan rupiah. Namun begitu, dokumen hasil kajian yang amat penting ini tidak tersedia di laman resmi KCIC maupun POLAR UI sehingga publik tidak dapat mempelajari lebih lanjut soal metodologi, pendekatan, data yang digunakan, hingga analisis yang dilakukan dalam penelitian ini.Yang terbaru, KCIC dalam siaran pers pada 17 Oktober 2025 kembali memamerkan berbagai capaian selama dua tahun perjalanan Whoosh. Capaian tersebut antara lain menuntaskan 40 ribu perjalanan, melayani 12 juta penumpang, serta mencatatkan tingkat ketepatan waktu hingga 99,9 persen dengan nol kecelakaan. KCIC juga kerap menekankan adanya peningkatan nilai kawasan dan kemunculan permukiman baru di sekitar stasiun dan di sepanjang jalur Whoosh yang melahirkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Menurut KCIC, berbagai raihan ini menegaskan posisi Whoosh sebagai moda transportasi kelas dunia yang berkontribusi terhadap perekonomian bangsa.Tentu saja kita layak angkat topi dan memberikan apresiasi terhadap prestasi-prestasi yang telah ditorehkan KCIC. Namun demikian, ketika berbicara soal Whoosh yang sejak awal bermasalah, kita justru perlu mempertanyakan kembali apakah manfaat yang didapat dari Whoosh sepadan dengan beban maupun pengorbanan yang harus kita tanggung secara kolektif sebagai sebuah bangsa dan negara. Selain itu, kita juga harus berefleksi soal keadilan sosial yang menjadi amanat dan cita-cita luhur dalam Pancasila dan UUD 1945 yang mestinya kita pedomani termasuk dalam pembangunan infrastruktur.Keputusan pemerintah untuk membangun Whoosh sebetulnya sah-sah saja. Namun, keputusan ini menjadi problematik ketika negara akhirnya menggelontorkan APBN untuk menyelamatkan Whoosh yang diambang mangkrak akibat pembengkakan biaya dan keterlambatan jadwal penyelesaian. Selain nyata-nyata melanggar janji soal pendanaan non-APBN, pembangunan Whoosh tidak sejalan dengan visi Indonesia-sentris dalam pembangunan infrastruktur. Pasalnya, pembangunan yang mestinya dilakukan secara masif dan merata di seluruh Indonesia justru kembali bersifat Jawa-sentris bahkan Jakarta-sentris karena Whoosh.Keputusan membangun Whoosh dengan APBN harus terus dipersoalkan mengingat koridor Jakarta-Bandung selama ini relatif sudah terlayani dengan baik oleh beragam alternatif seperti jalan nasional, jalan tol, hingga kereta api sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan dalam bermobilitas. Di sisi lain, masih banyak saudara-saudara kita di penjuru Indonesia yang bahkan tidak memiliki pilihan untuk bertransportasi secara layak, dan masih banyak pula wilayah yang sangat tertinggal dari sisi infrastruktur dan konektivitas terutama di luar Pulau Jawa. Daerah-daerah inilah yang mestinya mendapatkan prioritas dukungan dan intervensi melalui APBN.Artinya, keberadaan Whoosh yang membebani APBN sangat bertentangan dengan visi Indonesia-sentris, bahkan menjadi cerminan pembiaran negara atas ketimpangan dan ketertinggalan antarwilayah di Indonesia. Padahal, APBN mestinya berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan keadilan yang seyogyanya disalurkan untuk program-program dan proyek-proyek yang lebih penting dan mendesak. Kenyataannya, anggaran yang terbatas malah digunakan untuk memenuhi ambisi kemajuan sembari mengorbankan kepentingan banyak daerah dan masyarakat yang lebih membutuhkan, tentunya dengan biaya mahal yang harus ditanggung satu negara dan seluruh seluruh rakyat Indonesia selama puluhan tahun ke depan.Bukan investasi sosialSelain itu, kita juga perlu mengkritisi pandangan yang menyebut Whoosh sebagai investasi sosial. Dalam perspektif kebijakan publik, investasi sosial memandang suatu kebijakan atau keputusan pemerintah sebagai investasi yang produktif dan bukan diperhitungkan sebagai biaya, pengeluaran, apalagi beban. Investasi sosial tersebut kemudian menjadi modal bagi negara untuk mencapai pertumbuhan, kesejahteraan, dan inklusivitas. Dalam praktiknya, investasi sosial lazimnya diwujudkan dengan membangun sumber daya manusia atau sektor-sektor yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak, misalnya pendidikan, kesehatan, atau perlindungan sosial.Pembangunan infrastruktur pun dapat dikategorikan sebagai investasi sosial sepanjang memenuhi tiga tujuan kunci tersebut: pertumbuhan, kesejahteraan, dan inklusivitas. Dalam konteks Whoosh, proyek ini memang dapat berkorelasi dengan pertumbuhan dan kesejahteraan, namun Whoosh sama sekali tidak memenuhi unsur inklusivitas karena keberadaannya justru mengorbankan hak masyarakat yang lebih luas atas transportasi dasar yang aman dan nyaman. Dengan kata lain, pernyataan yang menyebut Whoosh sebagai investasi sosial merupakan klaim yang tidak tepat dan tidak berdasar.Karena itu, jika negara betul-betul ingin melakukan investasi sosial melalui pembangunan infrastruktur khususnya sektor perkeretaapian, pemerintah ke depan sebaiknya lebih fokus menyasar infrastruktur yang sehari-hari digunakan oleh jutaan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, misalnya dengan memperbaiki pelayanan kereta komuter di Jabodetabek, mempercepat elektrifikasi jalur kereta perkotaan seperti di Bandung Raya dan Surabaya Raya, mengaktifkan kembali jalur kereta api yang telah lama mati di Jawa dan Sumatera, serta mengembangkan jaringan kereta api di pulau-pulau besar lainnya. Contoh-contoh ini tidak hanya memenuhi pilar pertumbuhan dan kesejahteraan, tetapi juga inklusivitas yang menjadi landasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Sebagai penutup, di tengah upaya mencarikan solusi atas beban utang yang membelit, publik harus tetap kritis dan bersuara agar pemerintah dapat belajar dari proyek Whoosh yang kontroversial. Presiden Prabowo Subianto memang sudah menyatakan “pasang badan” meskipun belum menyebutkan skema apa yang persisnya digunakan untuk menyelamatkan Whoosh. Namun begitu, dengan mengedepankan prinsip pemerataan dan keadilan, kita perlu mengingatkan agar APBN tidak lagi dikorbankan untuk proyek ini. Jikapun negara akan turun tangan, serahkan saja masalah ini kepada Danantara, dan anggap saja ini sebagai ujian pertama bagi badan pengelola investasi yang konon berisi orang-orang hebat itu.