Menko PM Singgung Kemacetan Struktural: Pertumbuhan Makro Jalan, Pendapatan Keluarga Tetap Rapuh

Wait 5 sec.

Menko PM Muhaimin Iskandar (Foto: Antara)JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar menilai perekonomian Indonesia tak bisa lagi hanya dilihat dari deretan angka statistik.Kata dia, selama ini Indonesia terlalu lama terjebak dalam euforia laporan pertumbuhan, padahal denyut kesejahteraan berada di kehidupan masyarakat sehari-hari.“Ketika berbicara tentang perekonomian Indonesia sering kali kita terpaku pada angka-angka yang muncul dan terjadi. Kita larut dalam bahasa lingkaran eksklusif, bangga dan merasa takut saat angka-angka menunjukkan pertumbuhan lesu,” kata Muhaimin dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi 2026 secara virtual, Kamis, 20 November.Cak Imin sapaan akrabnya bilang berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi kuartal III sebesar 5,04 persen. Sementara, laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 4,9 persen pada 2026, atau lebih tinggi dibanding estimasi pertumbuhan global sebesar 2,9 persen.Lebih lanjut, Cak Imin mengatakan tanpa bermaksud mengesampingkan pandangan para analis dan ekonom, situasi ekonomi Indonesia juga harus dilihat langsung dari denyut kehidupan masyarakat.“Bukan berarti angka-angka statistik itu salah dan pendapat para analis sekadar analisa saja. Namun saatnya kita melihat perekonomian Indonesia bukan lagi sebatas deretan angka, melainkan langsung dari sumber denyutnya yaitu kehidupan masyarakat,” ujarnya.Cak Imin memaparkan sejumlah fakta lapangan yang menggambarkan jarak antara pertumbuhan nasional dengan keseharian masyarakat. Pendapatan pekerja masih sulit mengejar kenaikan harga kebutuhan, petani dan nelayan bekerja dengan pola produksi stagnan, sementara pekerja informal hidup dengan perlindungan kesejahteraan yang minim.“Para pelaku UMKM yang diliputi kecemasan penghasilan. Inilah fakta-fakta situasi dan tentangan yang kita hadapi satu dekade terakhir,” katanya.Menurutnya, desa menjadi contoh paradoks tersebut. Potensinya besar, tetapi kemiskinan juga mengakar. Dari total 23,85 juta penduduk miskin, 2,38 juta di antaranya hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan separuhnya berada di desa.“Kita juga menyaksikan angka gini rasio terus turun, saat ini 0,38 tetapi di saat yang sama kita juga mendapati bahwa 1 persen orang terkaya di negeri menguasai hampir 50 persen total kekayaan nasional kita,” ujarnya.Menurut Cak Imin, kondisi ini sebagai kemacetan struktural, di mana pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan seluruh lapisan masyarakat.“Makro tumbuh, mikro bertahan, pdb naik tetapi pendapatan keluarga rapuh ekonomi berkembang tetapi aksesnya tidak selalu merata. Ini yang saya sebut sebagai kemacetan struktural, ekonomi tidak menetes dari atas ke bawah, ia bertahan di kantong-kantong sebagian orang, sementara sebagian lain yang tetap hidup dengan kantong yang kosong,” katanya.Dia juga menyoroti pendekatan penanggulangan kemiskinan yang selama ini kehadiran negara hanya memberikan perlindungan dasar tanpa menggerakkan pemberdayaan jangka panjang.“Negara hanya bertindak sebagai penyedia perlindungan sosial dasar tetapi tidak menuntun pemberdayaan. Atas dasar itulah Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan kita perlu memperbaiki desain ekonomi nasional menjadi pertumbuhan dari desa dan dari bawah,” ujarnya.