Dari Fomo S2 Menuju Jomo S2

Wait 5 sec.

Ilustrasi gambar dibuat dari AI Chatgpt atas keinginan penulisSetiap pembukaan pendaftaran beasiswa LPDP linimasa selalu berubah menjadi ruang perayaan. Tahun ini keramaiannya terasa lebih padat lebih bising dan lebih emosional. Unggahan para penerima beasiswa muncul berlapis lapis. Ada yang menampilkan tangis bahagia saat menerima email LoA. Ada yang mengunggah foto di depan gedung kampus luar negeri sambil menuliskan kisah panjang perjuangan. Ada pula yang berulang kali membagikan tips lulus seleksi seakan pengalaman hidup mereka dapat diringkas dalam daftar langkah yang pasti berhasil. Dalam sekejap linimasa membentuk atmosfer yang menyampaikan pesan bahwa studi magister adalah pencapaian yang patut dikejar siapa saja yang ingin dianggap maju.Namun di balik gemerlap itu ada getaran lain yang tak kalah kuat. Banyak orang mulai merasa cemas merasa harus ikut serta atau setidaknya terlihat bergerak ke arah yang sama. Semakin sering mereka melihat anak muda lain berhasil semakin kuat pula rasa takut tertinggal. Inilah yang kemudian disebut sebagai Fomo S2. Kecemasan kolektif itu merembes masuk ke dalam obrolan harian. Bahkan mereka yang sedang fokus pada pekerjaan atau proyek personal pun akhirnya bertanya tanya apakah mereka perlu ikut mendaftar agar tidak tampak kurang ambisi.Fenomena ini tidak lahir dari ruang kosong. Dunia sedang mengalami lonjakan minat pada pendidikan pascasarjana. Dalam satu dekade terakhir jumlah mahasiswa S2 meningkat pesat di banyak negara. Inggris mencatat ratusan ribu lulusan magister setiap tahun ajaran. Lembaga pendidikan internasional melaporkan tren serupa. Gelar magister menjadi tanda bahwa seseorang siap memasuki dunia kerja yang semakin kompetitif. Arus besar ini mengalir cepat ke Indonesia apalagi ketika beasiswa luar negeri menjadi simbol mobilitas sosial bagi kelas menengah muda.LPDP menjadi salah satu lokomotif fenomena tersebut. Dari puluhan ribu pendaftar hanya sebagian kecil yang berhasil lolos. Namun setiap kali ada cerita tentang keberhasilan itu disebarkan melalui media sosial gaungnya terasa jauh lebih besar daripada jumlah sebenarnya. Data resmi menunjukkan hanya sedikit penduduk Indonesia yang menempuh pendidikan magister. Namun narasi tentang S2 justru memenuhi ruang digital seolah seluruh negeri sedang berlomba ke arah yang sama. Ketimpangan antara kenyataan dan narasi itulah yang memperkuat tekanan psikologis di kalangan anak muda.Tekanan Sosial dalam Dunia AkademikTekanan tidak berhenti pada linimasa. Sistem pendidikan tinggi ikut menambah beban. Banyak universitas membuka program internasional dengan biaya besar. Program magister kini lebih sering ditawarkan sebagai jalur profesional yang menjanjikan gelar cepat. Di balik tampilan modern itu riset mendalam cenderung makin tersisih. Kajian sosial dan humaniora yang menyentuh kehidupan masyarakat sering kalah oleh program yang lebih laku secara pasar.Dunia kerja mempertebal tekanan tersebut. Banyak perusahaan dan instansi pemerintah menetapkan gelar S2 sebagai syarat promosi. Karyawan yang sebenarnya sudah berpengalaman merasa perlu kembali kuliah untuk mengamankan posisi. Gelar menjadi semacam jaminan sekaligus simbol bahwa seseorang siap naik kelas. Padahal tidak semua pekerjaan menuntut kompetensi tingkat magister. Namun atmosfer sosial membuatnya tampak seperti keharusan.Di sisi lain kebijakan pendidikan tinggi semakin menekankan pencapaian simbolik. Kampus kampus mengejar peringkat global dan akreditasi internasional. Mereka berlomba menghadirkan citra sebagai lembaga modern dan berskala dunia. Persaingan ini sering kali menempatkan reputasi di atas substansi. Program beasiswa pun lebih sering diarahkan pada universitas luar negeri yang prestisius. Sementara kebutuhan riset dalam negeri yang mendesak tidak banyak tersentuh.Dalam suasana seperti ini gelar magister terasa seperti tiket utama menuju masa depan terang. Narasi itu mendorong orang untuk mengejar gelar tanpa sempat mempertanyakan apakah itu merupakan kebutuhan akademik atau hanya dorongan sosial. Tekanan itu tumbuh halus tetapi meresap dalam kehidupan sehari hari. Banyak yang akhirnya mendaftar beasiswa karena takut ketinggalan bukan karena arah studi mereka sudah jelas.JOMO S2 dan Kembalinya Kesadaran BelajarNamun di tengah arus deras itu muncul percikan kesadaran baru. Ada kelompok kecil yang memilih menepi sejenak dari kebisingan linimasa. Mereka tidak menolak pendidikan tinggi dan tidak menutup kemungkinan melanjutkan studi. Mereka hanya ingin memastikan bahwa keputusan belajar dibuat atas dasar kebutuhan yang jernih. Sikap ini dikenal sebagai Jomo S2 atau Joy of Missing Out pada studi magister.Mereka yang memilih Jomo biasanya datang dari pengalaman yang beragam. Ada pekerja muda yang ingin memperkuat praktik lapangan sebelum melanjutkan riset. Ada wirausaha yang merasa belajar paling efektif dilakukan melalui pengalaman langsung. Ada pula akademisi muda yang ingin memastikan arah risetnya sebelum memutuskan kampus dan negara tujuan. Mereka tidak terburu buru mengejar gelar. Mereka mengejar kedalaman pemahaman.Jomo S2 bukan sikap anti gelar. Ia adalah ajakan untuk menata ulang motivasi. Studi magister adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesiapan pikiran dan energi. Jika ditempuh karena tekanan sosial kemungkinan besar perjalanan itu tidak memberikan makna yang dalam. Jomo mengajak orang untuk memilih waktu yang tepat. Untuk menentukan bidang yang benar benar relevan dengan tujuan hidup. Untuk memahami bahwa belajar tidak harus mengikuti kalender viral di media sosial.Indonesia saat ini berada dalam situasi paradoks. Semangat belajar meningkat tetapi ekosistem pengetahuan belum sepenuhnya siap. Banyak lulusan S2 bekerja di bidang yang tidak sesuai kompetensi. Dukungan riset belum merata. Ruang publik bagi diskusi akademik masih terbatas. Jika Fomo S2 terus menjadi budaya kita hanya akan memperkuat ilusi bahwa banyaknya gelar berarti majunya bangsa padahal kualitas ilmu tidak tumbuh sebanding.Pendidikan tinggi perlu kembali pada tujuan dasarnya yaitu kemampuan berpikir yang kritis dan mendalam. Belajar bukan sekadar memoles citra diri tetapi mengasah cara pandang terhadap dunia. Di tengah riuhnya narasi S2 Jomo mengingatkan bahwa keberanian terbesar kadang adalah memilih langkah perlahan. Belajar bukan perlombaan. Belajar adalah perjalanan yang memerlukan kesadaran penuh. Dan tidak ada salahnya menunda bahkan memilih jalur lain jika itu membuat perjalanan pengetahuan menjadi lebih bermakna.