Hukum Internasional: Pengambilalihan Ruang Udara Natuna dari FIR Singapura

Wait 5 sec.

Bakamla RI Usir Coast Guard China di Perairan Natuna Utara. Foto: Dok. Humas Bakamla RIDalam Investor Daily Summit 2025, Oktober lalu, Menteri Keuangan RI, Purbaya, menyentil sedikit mengenai pengalamannya dalam aksi lobbying dan negosiasi pengambilalihan Flight Information Region (FIR) Indonesia di ruang udara Natuna dari FIR Singapura pada tahun 2024. Kisah ini penting untuk kita pelajari sebagai strategi unggul yang bisa terus Indonesia pakai untuk memenangkan sengketa dalam hubungan internasional. Utamanya, karena ruang udara Natuna selama ini merupakan ruang udara strategis Indonesia, namun pengelolaannya selama ini "dipinjamkan" ke Singapura sejak Indonesia baru merdeka. Mengapa FIR Natuna Bukan Sekadar Masalah Navigasi BiasaFIR adalah area di mana suatu negara bertanggung jawab memberikan layanan navigasi, informasi penerbangan, dan keselamatan. Awalnya, karena keterbatasan infrastruktur dan SDM, wilayah FIR di atas Natuna ini didelegasikan pengaturannya ke Singapura. Melalui keputusan itu diambil melalui International Civil Aviation Organization (ICAO), penetapan 'kavling-kavling' pelayanan navigasi udara sudah terbentuk pada 1946 saat Indonesia baru merdeka. Secara kasat mata, ini mungkin hanya terlihat sebagai masalah teknis penerbangan. Tapi di mata Hukum Internasional, ini adalah isu kedaulatan yang fundamental. Salah satu prinsip paling mendasar dalam Hukum Udara Internasional yang termuat dalam Konvensi Chicago 1944 adalah "Setiap negara berdaulat penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya"Wilayah udara di atas Natuna yang jelas merupakan bagian dari Republik Indonesia diatur negara lain, secara de jure (hukum), Indonesia tetap berdaulat. Tapi, secara de facto (praktik), ada pendelegasian yang membuat kedaulatan itu tidak secara penuh dimiliki oleh Indonesia.Salah satu dampak buruk dari kondisi ini adalah karena "traffic control dikuasai oleh Singapura maka jika Presiden hendak pergi ke Riau perlu izin dari Singapura, TNI AU hendak ke Natuna dikendalikan oleh Singapura" Jelas Purbaya.Diplomasi Total: Strategi yang Mengembalikan KehormatanPerjuangan mengambil alih FIR ini bukanlah proses yang singkat dan mudah. Negosiasi ini sudah dimulai sejak lama, dan melibatkan strategi yang disebut Diplomasi Total, yakni semua elemen negara bergerak untuk mencapai tujuan nasional.Usaha-usaha untuk mengembalikan ruang udara Natuna ke dalam wilayah FIR Jakarta sudah banyak diupayakan. Namun, kemenangan ini baru dicapai melalui jalur diplomatik yang elegan, bukan dengan gertakan. Pada tahun 2022, Indonesia dan Singapura menyepakati penyesuaian batas FIR. Lalu, kesepakatan itu dibawa ke meja hijau International Civil Aviation Organization (ICAO). Dengan putusan ICAO di Desember 2023, Indonesia resmi mengambil alih tanggung jawab layanan navigasi penuh di wilayah Natuna, yang mulai berlaku efektif pada 21 Maret 2024.Terlihat mudah, namun perlu digarisbawahi bahwa proses mendapatkan kata sepakat dari pihak Singapura untuk melakukan realignment dan membawa kesepakatan ini untuk disahkan di ICAO ini tidak mudah. Perlu dipahami bahwa Singapura sebagai negara maju pun memiliki kepentingan yang besar di ruang udara ini.Hukum Internasional, ya, inilah senjata Indonesia dalam proses negosiasi tersebut. Pihak Singapura menyebutkan bahwa wilayah ruang udara Natuna dahulunya diberikan kepada Singapura sebagai reward yang dijanjikan pihak Indonesia. Namun, melalui satu statement pamungkas yang dilontarkan oleh Purbaya saat negosiasi tersebut berlangsung, kesepakatan mau tidak mau harus disetujui oleh Sigapura. "Kalau Indonesia pernah berjanji demikian, dulu perjanjian ini dilakukan dengan siapa (dari pihak Indonesia)? Yang Kedua, dimana surat perjanjiannya?"Kemenangan Indonesia di ICAODua hal tersebut merupakan bukti konkrit yang bisa membuktikan ketidakabsahan praktik de facto yang selama ini dijalankan di ruang udara Natuna. Dengan tidak adanya kedua hal tersebut, maka kemenangan yang kuat bagi Indonesia untuk membawa kesepakatan ini ke tingkat ICAO. Dengan disetujuinya penyesuaian batas oleh ICAO, dunia mengakui bahwa Indonesia telat memperkuat statusnya sebagai negara kepulauan yang berhak atas ruang udaranya. ICAO sebagai lembaga resmi dibawah PBB pun memiliki pengakuan yang mengikat dan final di dunia penerbangan internasional.Dampak Nyata: Dari Pendapatan Negara sampai State dignityPengambilalihan ini membawa dampak yang multifaset, dan tentunya menguntungkan Indonesia:1. Semakin Luasnya FIR IndonesiaBerdasarkan data dari Airnav Indonesia, terdapat penambahan luas ruang udara FIR yang signifikan, yakni 249.575 Km2 setelah terjadinya realignment. Secara esensial, kondisi ini bukan sekedar penambahan angka, namun semakin kuatnya Indonesia di mata dunia melalui keberhasilannya untuk mempertahankan kedaulatannya tidak hanya di darat dan laut, namun juga udara.Perubahan FIR Ruang Udara Natuna, AirNav Indonesia (2024)2. Penguatan Kedaulatan di NatunaIni adalah penegasan kembali bahwa di atas wilayah Natuna, kendali penuh ada di tangan Indonesia. Hal ini sejalan dengan spirit tidak boleh ada Impunity (kekebalan dari hukuman) dalam konteks penguasaan wilayah, termasuk udara. Kedaulatan di ruang udara Natuna kini tidak boleh luput dari kontrol Indonesia.3. Keuntungan Ekonomi (PNBP)Setiap pesawat yang melintas di wilayah FIR yang baru dikuasai ini kini membayar biaya layanan navigasi (RANS Charges) ke AirNav Indonesia. Langit yang telah lama dikuasai oleh Singapura tersebut, kini kahirnya dapat menyumbang pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).4. Keselamatan PenerbanganKontrol langsung oleh Indonesia dalam memastikan layanan navigasi berjalan sesuai standar keselamatan internasional terbaik. Jika dahulu, penerbangan dari Jakarta ke Natuna harus kontak ke Singapura. Sekarang, AirNav Indonesia lah yang mengambil alih. Selain, lebih efisien, kondisi ini juga meningkatkan keamanan. Utamanya, saat pesawat kepresidenan atau angkatan bersenjata Indonesia melewati area tersebut.Jadi, pengambilalihan FIR Natuna ini lebih dari sekadar berita. Ini adalah bukti nyata bahwa upaya diplomasi yang konsisten, berlandaskan prinsip Hukum Internasional yang kuat, akan selalu berhasil mengembalikan hak dan kedaulatan negara.