Ilustrasi Beban Kerja. Foto oleh Tara Winstead/PexelsWork-life balance sering dipandang sebagai kunci menjaga kesehatan mental. Doktrin ini menekankan pentingnya membagi waktu secara seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kedengarannya sederhana: bekerja sesuai porsi, punya waktu untuk keluarga, menjaga kesehatan, dan tetap bisa menikmati hobi.Namun, dalam kenyataan hidup yang penuh tekanan dan tuntutan, mengejar work-life balance justru bisa membuat kita gagal hidup bahagia. Alih-alih merasa tenang, kita malah sibuk menilai apakah hidup kita sudah “seimbang” atau belum.Fenomena ini mengingatkan pada paradox of hedonism disebut juga paradox of happiness. Seorang Filsuf Utilitarian, Henry Sidgwick, menyebut paradoks ini sebagai kondisi di mana semakin keras kita berusaha mengejar kebahagiaan secara langsung, semakin sulit kebahagiaan itu diraih.Kebahagiaan biasanya muncul sebagai efek samping dari aktivitas yang bermakna, bukan dari usaha obsesif untuk mencarinya. Dalam bahasa sederhana: ketika kita terlalu fokus pada hasil, kita kehilangan kenikmatan dari proses.Ilustrasi Work Life Balance. Foto: ShutterstockDalam konteks kerja, menjadikan work-life balance sebagai tujuan utama bisa membuat kita kehilangan makna karena terjebak pada bentuk, bukan pada substansi bekerja.Kita sibuk menghitung jam kerja, jam istirahat, dan jam bersama keluarga, seolah hidup adalah timbangan yang harus selalu seimbang.Padahal, hidup tidak pernah statis. Ada masa ketika pekerjaan menuntut lebih banyak energi, ada masa ketika keluarga menjadi prioritas, dan ada masa ketika diri sendiri perlu mendapat perhatian lebih.Memaksakan keseimbangan yang kaku justru membuat kita frustrasi karena standar itu tidak pernah benar-benar tercapai.Ilustrasi mata lelah. Foto: Prostock-studio/ShutterstockParadox of hedonism memberi pelajaran penting: kebahagiaan tidak bisa dikejar secara langsung.Ia hadir ketika kita terlibat penuh dalam aktivitas yang bermakna. Misalnya, seorang peneliti yang tenggelam dalam proses riset mungkin merasa lelah, tetapi juga merasakan kepuasan mendalam. Atau seorang guru yang mencurahkan waktu untuk muridnya mungkin kehilangan “waktu pribadi”, tetapi menemukan kebahagiaan dari keberhasilan murid.Dalam kasus seperti ini, kebahagiaan muncul bukan karena mereka mengejar keseimbangan, melainkan karena mereka hidup sesuai nilai yang diyakini.Ilustrasi bekerja. Foto: ShutterstockWork-life balance tetap relevan sebagai pengingat bahwa hidup tidak hanya soal bekerja.Namun, menjadikannya standar dalam bekerja berisiko menjerumuskan kita ke dalam jebakan paradoks. Kita bisa terjebak dalam obsesi untuk “hidup seimbang” dan akhirnya merasa gagal ketika standar itu tidak tercapai.Padahal, yang lebih penting adalah kejujuran terhadap diri sendiri: apakah pekerjaan kita memberi makna, apakah relasi kita sehat, dan apakah kita mampu menerima kondisi yang tidak selalu ideal.Keseimbangan sejati bukanlah hasil akhir yang bisa diukur dengan angka, melainkan proses dinamis yang berubah sesuai konteks. Ada saat ketika pekerjaan menuntut fokus penuh, dan itu sah; ada saat ketika keluarga menjadi prioritas, dan itu juga sah; ada saat ketika diri sendiri perlu dimanjakan, dan itu pun sah.Ilustrasi karyawan yang bekerja. Foto: wichayada suwanachun/ShutterstockDengan cara ini, kita tidak lagi terjebak pada doktrin keseimbangan yang kaku, tetapi menjalani hidup dengan fleksibilitas dan kejujuran.Akhirnya, menjadikan work-life balance sebagai tujuan utama dalam bekerja justru bisa gagal membuat hidup bahagia.Sama seperti paradox of hedonism, kebahagiaan tidak datang dari mengejar keseimbangan secara obsesif. Ia hadir sebagai konsekuensi dari hidup yang otentik, penuh makna, dan terbuka pada ketidaksempurnaan.Dengan perspektif ini, kita bisa lebih realistis: menerima naik-turun kehidupan, sambil tetap menjaga kesehatan mental dengan cara yang kontekstual dan manusiawi.