Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta

Wait 5 sec.

Inilah senjata mainan yang ditemukan setelah ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta. (IST)Awal bulan lalu, tepatnya Jumat siang, 7 November 2025, SMA Negeri 72 Jakarta di Kelapa Gading berubah dari tempat belajar menjadi zona ledakan. Bom rakitan meledak. Tak ada korban jiwa, tapi setidaknya puluhan orang terluka, belasan di antaranya adalah siswa yang kini dirawat di rumah sakit. Ledakan itu tidak hanya merusak fisik bangunan, tetapi juga mengguncang keyakinan publik bahwa sekolah adalah tempat aman bagi anak-anak. Rasa aman itu ikut hancur bersama dentuman bom. Pelaku ternyata adalah siswa sendiri. Seorang remaja laki-laki. Ia bukan bagian dari jaringan radikal. Menurut keterangan polisi, pelaku merakit bom dari bahan yang dibeli secara daring. Beberapa bom bahkan belum sempat diledakkan karena ia keburu terluka oleh ledakan pertama. Motivasi pelaku masih diselidiki. Namun, bisa jadi itu adalah campuran rumit dari luka batin, kesepian, dan rasa tidak didengar. Polisi menyebut pelaku tidak memiliki tempat untuk mencurahkan isi hati. Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Iman Imanuddin, mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan, pelaku diduga mengalami tekanan emosional dan perasaan terisolasi dari lingkungan sekitarnya. "Yang bersangkutan merasa sendiri dan tidak memiliki tempat untuk menyampaikan keluh kesah, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun pergaulan," jelasnya. Ada kemungkinan ia korban perundungan, meskipun hal ini masih simpang siur. Yang jelas, pelaku aktif mengakses situs gelap (dark web) dan menonton tayangan kekerasan ekstrem. Menurut Dosen FISIP UGM, AB. Widyanta, tekanan psikologis pada seorang anak tidak muncul begitu saja, melainkan hasil akumulasi persoalan sosial yang menumpuk dan terinternalisasi. Dampak perundungan bisa sangat dalam dan personal. “Yang ia rasakan adalah sakit hati, amarah mendalam, serta keinginan membalas dendam. Ini menimbulkan agresivitas yang dipicu oleh pengalaman perundungan,” ucap Widyanta, dilansir dari situs resmi UGM. Ia juga menyoroti kegagalan keluarga, sekolah, dan negara dalam memenuhi kebutuhan afeksi anak. Ketidakhadiran nyata dari tiga lembaga ini membuka celah bagi masuknya kekerasan digital. “Anak ini korban. Ia tumbuh dalam ekosistem yang mereproduksi kekerasan,” jelasnya.Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan bahwa pelaku tidak murni korban perundungan, tapi terinspirasi dari konten kekerasan daring. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan. Benarkah tontonan kekerasan bisa menjadi pemicu utama? Atau justru, konten kekerasan itu masuk karena memang ada celah psikologis dan sosial yang kosong dan dibiarkan? Kasus ini menunjukkan bahwa sekolah bukan lagi ruang aman. Setidaknya, tidak bagi semua anak. Jika seorang siswa bisa membawa bom rakitan ke sekolah tanpa terdeteksi, berarti pengawasan sekolah longgar. Jika siswa lain terluka oleh ledakan, itu bukti mitigasi risiko diabaikan. Dan jika seorang siswa merasa tidak punya tempat bicara, maka sekolah telah gagal menciptakan sistem perlindungan psikososial. Kini, banyak siswa SMA 72 mengalami trauma. Beberapa ingin pindah sekolah karena takut. Kementerian Sosial dan KPAI turun tangan dan menjanjikan program rehabilitasi psikososial. Pemerintah menyebut salah satu pemicu adalah gim daring. Presiden Prabowo Subianto bahkan menyatakan akan membatasi gim online yang dianggap memicu kekerasan. Salah satu yang disebut adalah PUBG, gim battle royale asal Korea Selatan. Namun, pemerintah Korea menolak dikaitkan. Mereka menyatakan tidak ada bukti keterlibatan PUBG dalam insiden ini. Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian Untayana, menyebut wacana pembatasan gim daring terlalu reaktif dan cenderung mencari kambing hitam. “Dulu saat ada kasus penusukan, film disalahkan. Sekarang karena ada gim, maka gim dijadikan penyebab,” ujarnya, dikutip dari Media Indonesia. Pengamat pendidikan Ina Liem dan Retno Listyarti seperti dimuat di VOI, sepakat bahwa tontonan yang berisi kekerasan memang berpotensi memengaruhi anak mengulang tindakan serupa. Namun, gim daring tidak bisa dijadikan kambing hitam utama atas perilaku kekerasan pada anak. Menurut pandangan Ina Liem, akar masalah kekerasan pada anak bukan semata terletak pada gim daring. Menurutnya, kurangnya pengawasan, komunikasi, dan dukungan sosial di sekitar anak justru bisa menjadi penyebab. Jadi, seketat apa pun peraturan gim dibuat, anak akan berpindah ke bentuk pelarian lain jika faktor-faktor tersebut tidak dibenahi. Sementara pengamat pendidikan dan anak Retno Listyarti menyoroti pola pengasuhan di lingkungan sekolah yang belum berjalan dengan baik, sehingga mengakibatkan kekerasan anak yang berulang. Ia pun meminta pemerintah serius membenahi pola pengasuhan di sekolah, tak sekadar membatasi akses gim bermuatan kekerasan seperti tembak-menembak. Mungkin ada ruang kosong dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat yang tidak terisi. Anak-anak pun mencari pelarian. Ke gim, ke situs gelap, ke tayangan kekerasan. Gim bukan sebab utama, tetapi bisa menjadi pelengkap sempurna bagi anak-anak yang hidup dalam isolasi emosional. Karena bom semacam ini tidak dirakit di bengkel. Ia dirakit dari perasaan diabaikan, kesepian, marah yang tak tersalurkan, dan keputusasaan yang lama dipendam. Ketika gadget menjadi teman paling setia, bom itu bisa menemukan cara untuk meledak. Kasus SMA 72 bukan semata soal anak nakal atau tontonan kekerasan. Ini tentang sistem yang gagal membaca sinyal. Tentang ruang aman yang hanya jadi slogan. Tentang perhatian yang absen. Kita tidak bisa menyederhanakan tragedi seperti ini. Tidak cukup menyebutnya sebagai “kejadian luar biasa” lalu melupakannya. Ini adalah peringatan. Bahwa kita sedang membiarkan generasi muda tumbuh di ruang yang tidak aman—baik fisik maupun psikologis. Sekolah, rumah, bahkan internet, semuanya bisa menjadi ladang ledakan jika ruang dialog dan empati tidak dibangun. Fakta penting yang luput disorot, pelaku terdaftar sebagai penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP). Artinya, negara sebenarnya sudah hadir—setidaknya secara administratif dan finansial. Tapi itu juga menunjukkan bahwa kehadiran negara tidak cukup hanya dalam bentuk subsidi. Karena di balik bantuan pendidikan itu, ada anak yang merasa sendiri, tak punya suara, dan akhirnya merakit bom.