Gubernur Riau, Abdul Wahid terlihat menyapa awak media, saat di gedung KPK (Sumber: Kumparan.com)Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid, alih-alih memunculkan rasa puas karena penegakan hukum yang berjalan, kasus ini malah menimbulkan tanya: kenapa semua terasa janggal? KPK memang punya wewenang luar biasa. Mereka bisa menangkap siapa pun yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi dalam setiap penangkapan, KPK juga punya kewajiban moral: memastikan semuanya transparan, proporsional, dan tidak melanggar hak asasi seseorang.Masalahnya, OTT kali ini justru menyisakan kabut tebal. Publik tidak diberi penjelasan yang utuh soal barang bukti, nominal suap, atau konstruksi kasusnya. Keterangan yang muncul di media hanya sebatas “dugaan penerimaan uang.” Tidak ada kejelasan tentang siapa yang memberi, kapan transaksi terjadi, dan apakah benar itu masuk kategori suap sebagaimana diatur undang-undang.Kalau begitu, pertanyaan sederhananya: di mana bukti permulaan yang cukup?OTT atau Sekadar Pertunjukan?Dalam teori hukum pidana, penangkapan harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP menyebutkan penyidik berwenang menangkap jika terdapat bukti cukup bahwa seseorang melakukan tindak pidana. Artinya, tindakan penangkapan tanpa dasar kuat bisa melanggar asas due process of law.Sayangnya, praktik OTT belakangan ini terasa lebih seperti pertunjukan hukum ketimbang proses hukum. Gaya KPK seolah tak berubah: tangkap dulu, klarifikasi belakangan. Begitu juga dengan kasus Gubernur Riau. Setelah kabar penangkapan muncul, tak ada konferensi pers resmi yang menjelaskan duduk perkara. Bahkan, status hukumnya pun masih menggantung: apakah sudah tersangka atau masih saksi?Padahal, di era keterbukaan informasi, publik berhak tahu. Apalagi yang ditangkap adalah kepala daerah, sosok publik yang dipilih oleh rakyat. KPK tidak boleh memperlakukan hukum seperti panggung sandiwara.Masalah KPK sebenarnya sudah dimulai sejak revisi UU KPK tahun 2019. Sejak itu, independensi lembaga ini mulai tergerus. Keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, hingga mekanisme birokratis yang panjang membuat KPK kehilangan taringnya.OTT yang dulu menjadi simbol keberanian, kini lebih sering dianggap langkah politis. Apalagi jika dilakukan terhadap tokoh-tokoh daerah tertentu menjelang momentum politik. Kecurigaan itu sulit dihindari. Apakah ini penegakan hukum, atau penataan peta kekuasaan?Krisis kepercayaan terhadap KPK memang nyata. Data survei Indikator Politik Indonesia tahun 2024 mencatat, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK anjlok menjadi 60 persen, jauh dari masa keemasan di era Agus Rahardjo yang mencapai 85 persen. OTT Gubernur Riau seolah menjadi upaya mengembalikan citra, tapi sayangnya dilakukan dengan cara yang justru memperdalam luka.Riau dan Luka Kolektif yang Tak Kunjung SembuhRiau tampaknya selalu sial dalam hal kepala daerah. Hampir semua gubernur di sana pernah bersentuhan dengan kasus korupsi. Dari Rusli Zainal hingga Annas Maamun, kini giliran Abdul Wahid. Tapi pertanyaannya: apakah ini kebetulan, atau ada pola?Jika setiap kepala daerah Riau diakhiri dengan OTT, sementara akar persoalan korupsi daerah tak pernah dibereskan, maka KPK hanya memadamkan api di permukaan, bukan mencegah kebakaran di bawah tanah.Kita butuh penegakan hukum yang mengubah sistem, bukan sekadar menangkap figur. Apalagi jika OTT itu ternyata cacat prosedur. Dampaknya bukan cuma pada pribadi yang ditangkap, tapi juga pada citra daerah. Riau kembali distigma sebagai provinsi korup, padahal tak semua pejabatnya seperti itu.Secara hukum, OTT memang diizinkan dalam konteks “tertangkap tangan”, yakni ketika pelaku sedang melakukan tindak pidana. Namun, jika penyelidikan dilakukan jauh hari sebelumnya dan KPK sebenarnya sudah tahu adanya transaksi, mengapa harus menunggu saat tertentu untuk melakukan OTT?Pertanyaan ini penting karena menyangkut asas proporsionalitas. Dalam hukum administrasi, tindakan penegak hukum juga harus tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Salah satu asas pentingnya adalah proporsionalitas artinya, tindakan harus seimbang antara tujuan dan cara. Jika KPK bisa menempuh proses pemeriksaan tanpa drama tangkap tangan, mengapa memilih jalan paling sensasional?Kita tidak sedang menolak OTT. Tapi publik berhak tahu: apakah ini penegakan hukum yang benar, atau sekadar panggung politik yang dikemas rapi?Hukum yang Berkeadilan, Bukan Sekadar TegasHukum yang baik bukan hanya yang tegas, tapi juga adil dan transparan. KPK harus kembali ke jalan yang berlandaskan nurani, bukan sekadar prestise.OTT bukan tujuan, melainkan alat untuk membongkar sistem korupsi yang lebih besar. Jika alat itu digunakan secara berlebihan, maka hukum kehilangan makna moralnya.Bayangkan jika nanti terbukti bahwa bukti-bukti dalam OTT Gubernur Riau lemah. Apa jadinya? Kredibilitas KPK bisa makin terjun bebas. Dan publik akan semakin skeptis terhadap setiap langkah pemberantasan korupsi.Sebab, dalam benak masyarakat, “KPK hanya menangkap orang, bukan menegakkan kebenaran.”KPK harus segera menjelaskan duduk perkara kasus ini secara terbuka. Sebab, keadilan tak hanya untuk mereka yang ditangkap, tapi juga untuk masyarakat yang berhak tahu kebenaran. KPK boleh berkuasa, tapi kekuasaan itu tak berarti apa-apa tanpa nurani.Kita semua ingin korupsi diberantas, tapi bukan dengan mengorbankan asas keadilan. OTT Gubernur Riau seharusnya jadi pelajaran penting: penegakan hukum yang tak transparan justru melahirkan kecurigaan baru.Hukum bukan sekadar alat untuk menghukum, melainkan sarana untuk menjaga martabat manusia dan negara. Maka jika KPK ingin kembali dipercaya, mulailah dengan satu hal sederhana: jujur pada prosesnya.Sebab di mata rakyat, keadilan tidak hanya soal siapa yang ditangkap tapi siapa yang benar-benar ditegakkan.