Situasi SMAN 72 Jakarta yang menjalankan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan materi trauma healing pada hari kedua, Selasa 11 November 2025. (ANTARA-Mario Sofia Nasution)JAKARTA – Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor, menilai enggannya sejumlah siswa SMAN 72 Jakarta untuk kembali bersekolah pasca-ledakan pada Jumat, 7 November 2025, merupakan kondisi yang sangat wajar. Menurut Ida, insiden yang menimbulkan korban luka itu berpotensi memicu trauma mendalam, terutama bagi siswa yang berada di lokasi kejadian dan melihat langsung dampaknya. Ida menjelaskan, respons psikologis setiap anak bisa berbeda-beda. Karena itu, sekolah perlu melakukan pendataan psiko-sosial menyeluruh terhadap semua siswa, guru, dan staf yang juga mungkin mengalami ketakutan atau kecemasan setelah peristiwa tersebut. “Pendampingan psikologis sangat-sangat dipahami kebutuhannya. Mereka masih usia remaja, dan bagi yang berada di masjid atau mengalami luka fisik tentu membutuhkan perhatian lebih,” kata Ida kepada VOI, Minggu, 16 November. Pengalaman dari berbagai kasus ledakan yang terkait ekstremisme menunjukkan bahwa proses pemulihan korban biasanya membutuhkan waktu panjang dan pendampingan intensif. Situasi ini semakin kompleks karena pelaku ledakan di SMAN 72 merupakan siswa di sekolah tersebut. “Siswa yang pernah membully pelaku juga memerlukan pendampingan khusus,” ujarnya. Ida menilai kebijakan sekolah menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) merupakan langkah tepat sebagai tahap awal pemulihan. Masa ini idealnya berlangsung dua hingga tiga bulan sebelum siswa kembali ke sekolah secara bertahap melalui kegiatan ekstrakurikuler yang didampingi psikolog. Adapun bagi siswa yang mengalami trauma akut, ia menyarankan penempatan sementara di sekolah lain atau pemindahan dengan kesepakatan orang tua. Proses tersebut, kata dia, harus difasilitasi sepenuhnya oleh sekolah, termasuk pendampingan psikologis lanjutan. “Bagi siswa-siswi yang hasil pendataan menunjukkan trauma akut, sebaiknya dititipkan di sekolah lain dulu, atau dengan kesepakatan orang tua bisa dipindahkan, tentu harus difasilitasi pendampingan atau terapi psikisnya,” katanya. Ida menambahkan, salah satu pekerjaan berat sekolah dan pemerintah adalah memberikan keyakinan serta fasilitas memadai kepada orang tua yang memilih memindahkan anak ke sekolah lain demi alasan keamanan. “Padahal sekolah sebenarnya juga jadi korban,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya pelibatan seluruh orang tua, tidak hanya komite sekolah, dalam mencari solusi bersama demi kepentingan siswa. Anak-anak, menurut Ida, membutuhkan pendampingan intens dari keluarga, terutama untuk memulihkan rasa aman dan membangun kembali keberanian beraktivitas. Ida menilai kasus SMAN 72 harus menjadi momentum negara membangun ekosistem pendidikan yang lebih kondusif bagi perkembangan mental anak. Ia mendorong peninjauan beban kurikulum agar tidak hanya menekankan hard skills, tetapi juga soft skills. “Ada baiknya beban kurikulum ditinjau, tidak hanya fokus pada hard skills, tetapi justru soft skills. Apalagi siswa-siswi ini generasi digital yang perlu diberdayakan dengan keterampilan digital yang positif,” imbuhnya. Selain itu, negara perlu memperketat pengawasan terhadap akses anak pada konten bermuatan kekerasan, karena media dapat menjadi faktor yang mendorong perilaku imitasi pada usia remaja. “Media sering kali menjadi sumber inspirasi, atau ‘participating factor’. Pada kelompok anak dan remaja, ini justru dapat menjadi sumber peniruan (imitating behavior),” katanya. Ida juga menilai komunikasi institusional antara sekolah dan orang tua harus diperkuat agar perkembangan siswa dapat dipantau dua arah secara berkelanjutan. Namun ia menegaskan, kehangatan dan keterlibatan keluarga tetap menjadi fondasi pembentukan karakter dan konsep diri anak. “Kecerdasan intelektual saja tidak cukup, anak perlu kecerdasan emosional dan sosial,” ujarnya. Menurut Ida, akar persoalan yang dihadapi pendidikan Indonesia adalah belum terbangunnya ekosistem formal maupun informal yang benar-benar mendukung perkembangan psiko-sosial anak. “Kasus SMAN 72 ini menunjukkan pentingnya ekosistem pendidikan yang lebih aman, sehat, dan mendukung tumbuhnya karakter anak,” tutupnya.