Kemunculan Bobibos, Inovasi atau Sensasi?

Wait 5 sec.

BBM Bobibos diperkenalkan kepada publik di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/11/2025). (Istimewa)JAKARTA – Publik ramai membicarakan Bobibos, produk yang diklaim sebagai bahan bakar nabati dengan nilai oktan hingga 98 persen. Namun muncul kekhawatiran Bobibos hanya akan menjadi sensasi semata seperti para pendahulunya.Bobibos adalah kependekan dari Bahan Bahar Original Buatan Indonesia Bos, yang dikembangkan oleh Ikhlas Thamrin, alumni Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.Produk inovasi ini diperkenalkan kepada publik oleh PT Inti Sinergi Formula di Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (11/11).Sejak saat itu, warga pun ramai-ramai membicarakan Bobibos. Katanya, bahan bakar ini ramah lingkungan. Selain itu, inovasi ini juga diklaim mampu membuka peluang ekonomi di daerah pertanian seperti Jawa Barat. Tapi tak sedikit juga yang skeptis karena produk tersebut belum teruji.Ramah Lingkungan dan BerkelanjutanBBM Bobibos merupakan bahan bakar minyak organik yang terbuat dari tanaman atau biofuel. Dalam hal ini, tanaman yang digunakan adalah jerami, yang merupakan limbah pertanian yang selama ini sering kali hanya dibakar pasca-panen.Bobibos disebut-sebut menjadi salah satu solusi energi alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ikhlas Thamrin mengaku sudah melakukan riset Bobibos sejak 2014. Menurutnya, produk ini dapat menjadi alternatif di tengah isu kelangkaan dan tingginya harga BBM di Indonesia.“Padi merupakan komoditas pangan yang sangat dibutuhkan. Sisanya, yakni jerami, bisa kami pakai untuk bahan baku Bobibos," kata Ikhlas Thamrin.Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, BBM Bobibos memiliki tingkat oktan mendekati Research Octane Number (RON) 98 atau setara dengan BBM milik Pertamina.Djoko Suprapto memperagakan penggunaan bahan bakar air untuk mesin diesel di Ngadiboyo, Nganjuk, Jawa Timur, Kamis (18/6/2008). (ANTARA/Arief Priyono/ss/pd/08)Di tengah sensasi ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memberi dukungan penuh kepada PT Inti Sinergi Formula, produsen bahan bakar Bobibos."Salaman @bobibos_, kita kerja sama," demikian yang ditulis Dedi Mulyadi dalam kolom keterangan unggahan di video Instagram pribadinya, Rabu (12/11).Mantan Bupati Purwakarta itu bahkan mendorong pembuatan nota kesepahaman (MoU) antara entitas pencipta bahan bakar dan investor. Kehadiran Bobibos diklaim mampu membuka peluang ekonomi yang masif di daerah pertanian, seperti Jawa Barat.Kabarnya, satu hektare sawah bisa menghasilkan 3.000 liter Bobibos. Jika ini benar terjadi, maka petani akan mendapatkan penghasilan berlipat, yaitu saat panen dan limbah Jerami yang diolah jadi Bobibos.Butuh Pengujian PemerintahKeberadaan Bobibos kini menarik perhatian dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri. Ia mendorong masyarakat untuk tetap berhati-hari dalam masalah bahan bakar, termasuk dengan munculnya Bobibos.Ia menilai, klaim bahan bakar alternatif harus diuji oleh pemerintah melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi atau Lemigas supaya aman dipakai masyarakat.Pengujian yang dilakukan bisa menyangkut kesesuaian dengan spesifikasi bahan bakar, uji simulator, dyno test yang mengukur kinerja mesin kendaraan dengan bahan bakar alternatif.“Masyarakat harus berhati-hati dalam masalah bahan bakar seperti ini,” ujar Tri.Menurut dia, limbah Jerami yang difermentasi bisa menghasilkan etanol yang nilai oktannya mencapai angka 110-120. Sedangkan bahan campuran bisa menurunkan nilai oktan etanol, misalnya dengan memakai bensin RON rendah.“Masih banyak pertanyaan, kita tunggu saja perkembangannya,” ujar Tri.Bicara soal energi alternatif, Bobibos bukan yang pertama muncul ke publik. Di Indonesia, heboh bahan bakar alternatif setidaknya sudah dua kali terjadi, yaitu Blue Energy dan Niku Banyu (Nikuba). Namun, keduanya berakhir tak menggembirakan.Pendahulu BobibosBakar bakar Blue Energy ditemukan Djoko Suprapto pada 2008. Ia mengaku sebagai alumnus Fakultas Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM). Waktu itu, Djoko mengaku mampu menciptakan listrik hanya dari air. Blue Energy bisa dijadikan bahan bakar alternatif pengganti solar, bensin, atau minyak tanah.Temuan Djoko mendapat dukungan dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan dipamerkan dalam ekspedisi Jakarta-Bali menjelang United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) Desember 2007 di Bali.Inovasi Djoko rencananya akan diproduksi massal dengan kapasitas produksi 10 liter per detik atau setara dengan 5 ribu barel per hari. Rencananya, penemuan yang dinamai Blue Energy ini akan bisa dinikmati masyarakat umum sekitar April 2008. Bila berhasil, produk ini akan dijual sekitar Rp3 ribu per liter.Inovasi Djoko ini mendapat masalah ketika ia mempresentasikan pembangkit listrik yang bisa menghasilkan listrik tanpa henti selamanya kepada pihak UGM. Ia tidak dapat membuktikan klaim tersebut, dan pihak kampus menyatakan proposal tersebut sebagai sebuah penipuan dan berusaha memperingatkan banyak pihak untuk tidak percaya ide Djoko. Namun terlambat karena idenya malah dipercaya tim istana.Aryanto Misel dengan mesin Nikuba. (Istimewa)Kasus ini membawa Djoko ke meja hijau dan ia divonis 3,5 tahun penjara pada Januari 2009.Heboh energi alternatif kembali menyeruak pada Mei 2022. Kali ini Aryanto Misel memperkenalkan Nikuba Hidrogen, sebuah alat yang diklaim dapat mengubah air menjadi hidrogen dan dapat digunakan sebagai bahan bakar. Melalui media sosialnya, Aryanto menyebut bahwa satu tetes air rata-rata bisa untuk menjalankan motor sejauh 45-50 kilometer.Ia juga mengklaim pernah menggunakan 1 liter air untuk melakukan perjalanan Cirebon-Semarang pulang pergi. Aryanto mengaku temuannya mendapat perhatian dari beberapa perusahaan otomotif global seperti Ferrari dan Lamborghini.Nikuba bahkan diklaim digunakan oleh Kodim dan Koramil Lemahabang. Tapi sensasi Nikuba kemudian meredup karena Aryanto selaku penemu tidak pernah mau membuka hasil risetnya atau mempublikasikannya di jurnal ilmiah.Akankah kemunculan Bobibos benar-benar menjadi inovasi, atau malah mengikuti jejak pendahulunya, hanya sensasi semata?