Ilustrasi cewek yang avoidant dia terlihat cuek dan tidak peduli dan cowo anxious yang peduli untuk menunggu. (foto: AI Gemini)Akhir-akhir ini, istilah avoidant dan anxious berseliweran di TikTok, Instagram, dan X. Banyak yang memakai dua istilah ini sebagai cara mudah untuk menjelaskan kenapa hubungan mereka terasa melelahkan. Ada yang berkata bahwa dirinya selalu mengejar seseorang yang justru menjauh, atau merasa bahwa setiap usaha untuk dekat justru membuat hubungan makin renggang. Fenomena ini viral karena semakin banyak orang merasa bahwa dua tipe ini adalah gambaran paling jujur dari relationship yang penuh intensitas, tapi minim kestabilan.Istilah ini tiba-tiba menjadi kacamata baru bagi generasi muda untuk memahami perasaan sendiri. Di era ketika hampir semua hal bisa dibagikan di media sosial, cara orang mendefinisikan hubungan pun ikut dipengaruhi oleh narasi-narasi viral tersebut. Banyak yang menjadikan “aku avoidant” atau “aku anxious” sebagai identitas emosional, seolah itu adalah jawaban dari seluruh kerumitan hubungan yang mereka alami.Apa Sebenarnya Avoidant dan Anxious?Istilah avoidant dan anxious berasal dari teori attachment dalam psikologi, yaitu pola ikatan emosional yang terbentuk sejak seseorang kecil dan berpengaruh besar pada cara ia berhubungan di masa dewasa. Avoidant mengacu pada individu yang cenderung menjaga jarak secara emosional. Mereka terlihat mandiri, tenang, atau bahkan tidak membutuhkan kedekatan, padahal di dalamnya terdapat ketakutan disakiti atau kehilangan kontrol. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mengandalkan orang lain itu berisiko, sehingga ketika hubungan mulai masuk ke tahap yang lebih dekat, respons otomatis mereka adalah mundur, menghindar, atau menahan perasaan.Sementara itu, anxious menggambarkan individu yang menginginkan kedekatan intens dan kepastian dalam hubungan. Mereka cenderung sensitif terhadap tanda-tanda penolakan, sehingga respons kecil seperti pesan yang lama dibalas bisa memicu kecemasan. Hal ini biasanya muncul dari pengalaman masa kecil yang tidak konsisten secara emosional, sehingga hubungan di masa dewasa menjadi tempat untuk mencari validasi dan rasa aman yang mereka tidak dapatkan dulu. Individu anxious bukan dramatis, mereka hanya sangat peka terhadap perubahan kecil dalam dinamika hubungan, karena kedekatan bagi mereka adalah sumber stabilitas diri.AvoidantOrang dengan tipe avoidant biasanya menjaga jarak saat mulai dekat sama pasangannya. Mereka kelihatan cuek, tenang, bahkan dingin. Tapi di balik itu sebenarnya mereka takut kehilangan kebebasan dan takut disakiti. Misalnya, pasangannya bilang “kamu kok akhir-akhir ini dingin banget”, dia malah jawab “aku cuma lagi pengin sendiri” padahal dalam hati bingung kenapa harus menjauh.Anxious Anxious kebalikannya. Mereka butuh banget kepastian dan perhatian. Kalau pesan gak dibales beberapa jam aja, udah panik duluan. Mereka mikirnya, “jangan-jangan dia udah gak sayang lagi”. Contohnya, pasangannya baru aja sibuk kerja, tapi si anxious langsung mikir yang aneh-aneh dan mulai nanya terus “kamu masih cinta gak sih?”.Dua tipe ini gak salah, cuma cara mereka mencintai memang beda. Yang satu takut kehilangan ruang, yang lain takut kehilangan orang.Saat Dua Tipe Ini Bertemu: Cinta Jadi Arena Tarik-UlurIlustrasi Cinta. Foto: ShutterstockTidak jarang dua tipe ini tertarik satu sama lain. Si avoidant yang terlihat dewasa, tenang, dan mandiri menjadi daya tarik bagi si anxious yang membutuhkan figur stabil. Sebaliknya, si anxious memberikan kehangatan emosional yang sebenarnya juga dicari oleh si avoidant, meski tidak pernah diakui secara langsung. Ironisnya, justru perpaduan ini membuat hubungan cepat berubah menjadi permainan tarik-ulur yang menguras energi emosional dua pihak, seolah cinta hanya berjalan ketika salah satu dari mereka sedang lelah mengejar atau lelah menghindar.Ketika si anxious ingin dekat dan membutuhkan kepastian, si avoidant merasa kewalahan dan mulai menjaga jarak untuk melindungi diri. Namun ketika si avoidant akhirnya ingin kembali setelah merasa aman, si anxious sudah terlalu terluka karena pola menjauh itu terulang lagi. Ritme keduanya tidak pernah benar-benar bertemu. Hubungan terasa seperti terus berlari mengejar waktu yang tidak sinkron, penuh harapan yang bertabrakan dengan ketakutan masing-masing. Pada akhirnya, bukan karena mereka tidak saling cinta, tetapi karena mereka belum mampu berdamai dengan pola lama yang selalu menarik mereka ke arah yang berlawanan.Fenomena Ini Viral Karena Dekat dengan RealitaGak heran kalau topik ini jadi viral banget. Banyak yang bikin video curhat di TikTok tentang pacarnya yang tiba-tiba ghosting, atau merasa selalu berjuang sendirian. Ada juga yang bilang “aku bukan gak cinta, aku cuma takut terlalu dekat”. Kalimat kayak gitu langsung rame karena banyak orang ngerasa itu juga yang mereka alami.Fenomena avoidant dan anxious ini kayak cermin bagi banyak anak muda sekarang yang masih belajar mencintai dengan cara yang sehat. Hubungan zaman sekarang gak cuma soal siapa yang setia, tapi juga siapa yang paham perasaan sendiri.Cinta yang Sehat Butuh KesadaranKalau dipikir-pikir, avoidant dan anxious itu sebenarnya sama-sama takut kehilangan. Bedanya cuma di cara mereka menanganinya. Yang satu lari dari hubungan, yang satu terlalu menempel di dalamnya.Padahal, hubungan yang baik itu gak harus nempel terus, tapi juga gak boleh menjauh terlalu jauh. Ada waktunya deket, ada waktunya tenang sendiri. Kalau dua-duanya bisa saling ngerti dan komunikasi dengan jujur, hubungan bisa lebih ringan. Karena cinta yang sehat itu bukan tentang siapa yang paling takut kehilangan, tapi siapa yang paling berani tetap tinggal tanpa saling menyakiti.Pada akhirnya, kita semua cuma pengin dicintai dengan cara yang bikin tenang. Gak harus selalu sempurna, gak harus selalu romantis. Kadang cukup punya seseorang yang ngerti, “aku gak selalu butuh kata cinta, aku cuma butuh kamu tetap di sini.”Hubungan itu bukan perlombaan siapa yang lebih butuh siapa, tapi perjalanan dua orang yang sama-sama belajar jadi lebih baik. Karena yang namanya cinta, bukan soal siapa yang datang paling cepat, tapi siapa yang tetap bertahan bahkan saat semuanya terasa pelan.Mungkin cinta yang paling dewasa adalah saat kita bisa berkata, “aku tetap di sini, tapi aku juga biarkan kamu punya ruang untuk jadi dirimu sendiri.”