Mengenal Female Breadwinners dan Peran Baru Perempuan dalam Ekonomi Keluarga. Foto oleh Chevanon Photography: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-memakai-bagian-kendaraan-memegang-topi-keras-kuning-1108101/Pernah dengar istilah female breadwinners? Istilah ini sedang banyak dibicarakan karena mencerminkan perubahan besar dalam cara masyarakat melihat peran perempuan. Kalau dulu perempuan lebih sering dipandang sebagai pengurus rumah tangga, sekarang banyak di antara mereka yang justru menjadi pencari nafkah utama bagi keluarga. Mereka bukan hanya membantu, tapi benar-benar menjadi tumpuan ekonomi rumah tangga.Siapa Sebenarnya Female BreadwinnersSelama bertahun-tahun, banyak orang menganggap mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki, sementara perempuan berperan di rumah. Sekarang, kenyataannya berubah. Di banyak tempat, perempuan bukan hanya ikut membantu ekonomi keluarga, tapi justru menjadi sumber penghasilan utama. Mereka disebut sebagai female breadwinners.Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), female breadwinners adalah perempuan yang bekerja dan menerima penghasilan paling besar di rumah tangga mereka, termasuk yang menjadi satu-satunya anggota keluarga yang bekerja.Fenomena ini bukan hanya tren sosial tetapi juga hasil dari perubahan ekonomi global. Di Amerika Serikat, laporan Center for American Progress (2023) menunjukkan bahwa sekitar 45 % ibu bekerja menjadi pencari nafkah utama keluarga mereka. Di Kanada, hampir sepertiga pasangan menikah kini memiliki istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami.Sementara itu, studi Population Europe (2024) menemukan bahwa rumah tangga female breadwinner di Eropa sering berada dalam kondisi ekonomi yang lebih rentan karena beban ganda dan tekanan sosial yang masih kuat.Kondisi Female Breadwinners di IndonesiaDi Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 14,37 % pekerja Indonesia merupakan perempuan yang menjadi pencari nafkah utama keluarga. Artinya satu dari sepuluh pekerja di Indonesia adalah perempuan yang berpenghasilan paling besar di rumah tangganya, bahkan kadang satu-satunya yang bekerja.Sebagian besar dari mereka tinggal di perkotaan (64%), sedangkan sisanya di pedesaan. Wilayah perkotaan seperti DKI Jakarta mencatat proporsi tertinggi, sementara daerah seperti Papua Pegunungan masih rendah karena faktor budaya dan ekonomi lokal.Latar Belakang dan PendidikanBPS mencatat bahwa 55,84 % female breadwinners hanya menamatkan pendidikan dasar. Sekitar 27,97 % memiliki pendidikan menengah, dan hanya 16,19 % yang berpendidikan tinggi.Artinya, peran sebagai pencari nafkah utama banyak dijalankan oleh perempuan berpendidikan rendah yang bekerja di sektor informal, bukan hanya oleh mereka yang berkarir profesional.Hal ini menunjukkan kesenjangan akses pendidikan. Perempuan berpendidikan tinggi cenderung memiliki pasangan dengan penghasilan lebih tinggi, sedangkan perempuan berpendidikan rendah sering kali harus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.Status Keluarga dan Tanggung JawabMenurut data BPS, 39,82 % female breadwinners berstatus kepala rumah tangga dan 40,77 % berstatus istri. Lebih dari 51 % sudah menikah, sedangkan 22,29 % adalah janda cerai mati dan 8,89 % janda cerai hidup.Sebagian besar tinggal bersama dua hingga empat anggota keluarga. Ini berarti mereka tidak hanya menanggung diri sendiri, tapi juga anak, pasangan, dan orang tua. Beban ganda yang mereka tanggung masih tinggi karena selain bekerja, 84,4 % tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga.Jenis dan Sektor PekerjaanSebagian besar female breadwinners bekerja dengan status berusaha (47,53 %) seperti pedagang kecil, diikuti buruh atau karyawan (44,95 %). Sektor pekerjaan terbanyak adalah perdagangan (23,61 %), pertanian (17,86 %), dan industri pengolahan (17,37 %).Sebagian besar atau 60,79 % bekerja di usaha perorangan, dan 75,68 % bekerja di rumah atau tempat tertutup. Ini menunjukkan banyak yang memilih pekerjaan dengan fleksibilitas tinggi agar tetap bisa mengurus keluarga.Dari sisi jam kerja, 45,26 % bekerja 35–49 jam per minggu, sementara 21,07 % bekerja lebih dari 49 jam per minggu. Meski begitu, 84,4 % tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga setelah pulang kerja.Faktor yang Mendorong Munculnya Female BreadwinnersMengenal Female Breadwinners dan Peran Baru Perempuan dalam Ekonomi Keluarga. Foto oleh Anna Tarazevich: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-berkemeja-putih-lengan-panjang-menggunakan-macbook-pro-5196818/Fenomena female breadwinners tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor yang membuat perempuan kini semakin sering menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, baik karena kebutuhan ekonomi maupun perubahan sosial yang terjadi.Tekanan Ekonomi dan Biaya Hidup Yang MeningkatKebutuhan rumah tangga yang makin tinggi membuat dua sumber pendapatan menjadi hal wajar. Banyak keluarga akhirnya mengandalkan perempuan untuk ikut menopang keuangan, bahkan menjadi sumber utama.Perubahan Struktur Pekerjaan dan Meningkatnya Partisipasi PerempuanKesempatan kerja untuk perempuan semakin terbuka, baik di sektor formal maupun informal. Perempuan kini memiliki akses lebih luas terhadap pendidikan, teknologi, dan kewirausahaan.Kondisi Pasangan Atau Perubahan Dalam Rumah TanggaTidak sedikit perempuan yang menjadi breadwinner karena pasangan mereka kehilangan pekerjaan, mengalami penurunan pendapatan, atau masalah kesehatan. Dalam banyak kasus, perempuan juga menjadi kepala keluarga karena perceraian atau kehilangan pasangan.Perubahan Norma Sosial dan Pandangan Terhadap Peran GenderGenerasi muda semakin terbuka terhadap pembagian peran yang fleksibel. Perempuan tidak lagi dibatasi pada urusan rumah tangga saja, sementara laki-laki mulai menerima kenyataan bahwa peran ekonomi bisa dibagi.Perubahan Gaya Hidup dan Nilai Kemandirian PerempuanBanyak perempuan kini lebih mandiri dan memilih untuk tetap bekerja meskipun sudah menikah. Mereka tidak hanya mencari penghasilan, tapi juga mengejar aktualisasi diri. Fenomena ini terlihat jelas di kalangan perempuan muda dan profesional yang menolak bergantung sepenuhnya pada pasangan.Fenomena female breadwinners menunjukkan bahwa perempuan kini tidak lagi sekadar membantu ekonomi keluarga, tetapi justru menjadi pondasi utama yang menjaga kestabilan rumah tangga. Di balik angka statistik dan data survei, ada kisah nyata tentang ketekunan, tanggung jawab, dan keberanian untuk menghadapi tekanan hidup.Perubahan ini seharusnya tidak berhenti pada apresiasi, tetapi juga menjadi dorongan untuk menciptakan sistem yang lebih adil. Dunia kerja perlu lebih ramah terhadap perempuan, kebijakan sosial harus lebih inklusif, dan pembagian peran di rumah tangga seharusnya tidak lagi dibatasi oleh stereotip lama.