Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid memberikan keynote speech pada acara kumparan AI for Indonesia 2025 di The Ballroom at Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025). Foto: Aditia Noviansyah/kumparanIndonesia mengikuti jejak Australia, yang menerapkan pembatasan akses media sosial (medsos) untuk anak. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, menyebut kebijakan ini adalah bentuk perlindungan terhadap sekitar 80 juta anak di Tanah Air dari paparan industri digital yang semakin agresif menyasar usia muda.Hal itu disampaikannya dalam acara Puncak Anugerah Jurnalistik di Gedung Sapta Pesona, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (19/11).“Kita tengah memotong akses dari industri yang masuk kepada 80 juta kurang lebih anak-anak Indonesia. Artinya mungkin tidak semua senang dengan aturan ini, karena sekali lagi kita memutus akses dari industri untuk masuk ke 80 juta anak Indonesia yang sesuai undang-undang adalah anak-anak di bawah 18 tahun,” ujar Meutya.Ia menjelaskan, regulasi tersebut merupakan bagian dari PP Tunas (Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2025) yang diterbitkan pada Maret 2025. Mengikuti jejak Australia, Indonesia menetapkan periode transisi agar penyedia platform digital dapat menyesuaikan teknologi pembatasan usia.“Memang PP yang lahir di bulan Maret ini memberikan waktu untuk adanya penyesuaian-penyesuaian, sebagaimana Australia,” ujar Meutya.“Kita juga banyak belajar dari Australia sebagai negara pertama yang memiliki aturan pembatasan sosial media kepada anak, kemudian kita nomor dua. Benchmarking-nya memang menjadi agak menantang karena belum banyak negara yang memiliki langkah seperti ini,” lanjutnya.Ia menambahkan, Australia membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun sejak pengesahan hingga aturan benar-benar diterapkan. Indonesia juga akan mengikuti pola serupa agar implementasi di lapangan dapat berjalan baik.“Kemudian Australia itu dari diundangkan ada kurang lebih satu tahun, kemarin Desember baru betul-betul diterapkan. Karena selalu dalam PP atau undang-undang, kita memang memberikan waktu transisi,” jelas Meutya.“Jadi artinya kita masih punya banyak waktu. Karena kalau kita lihat memang tuntutannya semakin besar saat ini, bahayanya juga semakin di depan mata,” sambung dia.Menurut Meutya, edukasi menjadi kunci utama. Pemerintah masih perlu menggencarkan sosialisasi kepada orang tua, pemerintah daerah, hingga anak-anak itu sendiri.“Kita masih perlu edukasi ke orang tua, kita masih perlu edukasi kepada pemda-pemda, kita perlu edukasi kepada anak-anaknya dan juga banyak pihak lainnya,” tegasnya.Meutya menjelaskan bahwa sistem pembatasan di Indonesia memiliki pendekatan berbeda dengan negara lain. Alih-alih menetapkan satu batasan usia, Indonesia menerapkan rentang 13 hingga 18 tahun yang ditentukan berdasarkan profil risiko masing-masing anak.“Indonesia agak berbeda dengan negara lain di mana kita membagi dari 13 sampai 18 tahun tergantung profil risiko. Australia misalnya pukul rata di 16 tahun. Tapi atas masukan banyak dari pemerhati anak yang memang fokusnya atau keahliannya adalah melihat tumbuh kembang anak, maka di Indonesia ini kita berikan range 13 sampai 18 tahun dengan profil risiko yang saat ini sedang kita sortir satu-satu,” ujar Meutya.Ia menyebut pemetaan risiko ini akan menentukan kelompok anak yang membutuhkan proteksi lebih ketat.“Mana yang profil risiko tinggi, mana yang dengan profil risiko bisa di 13 tahun dan sebagainya. Jadi akan banyak sekali ruang untuk kita bekerja sama, dan sekali lagi kerja sama kita ini bukan untuk Komdigi, bukan untuk pemerintah,” tutur Meutya.“Tapi untuk anak-anak kita, untuk cucu-cucu kita, untuk sahabat-sahabat kita, saudara-saudara kita, agar kita semua bisa memanfaatkan teknologi dengan baik dan juga dengan selamat,” tandasnya.