Mengapa Kita Bermimpi: Perspektif Biopsikologi terhadap Tidur REM

Wait 5 sec.

Ilustrasi Tidur (sumber : Pinterest) Mimpi selalu punya tempat istimewa dalam hidup manusia. Dalam banyak budaya, mimpi seringkali dianggap sebagai pertanda masa depan atau pesan dari alam lain. Walaupun demikian, ilmu neurosains modern menunjukkan bahwa mimpi bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa kehilangan keajaibannya.Dari perspektif biopsikologi, mimpi adalah hasil dari kerja otak yang tetap aktif bahkan saat tubuh beristirahat. Salah satu fase tidur yang paling terkait dengan mimpi adalah fase Rapid Eye Movement (REM). Tidur REM bukan hanya sekadar fase tidur, melainkan momen di mana otak aktif membentuk, mengolah, dan “memainkan ulang” pengalaman kita. Kita akan mencoba menelusuri bagaimana fase tidur REM membuat kita bisa bermimpi, sekaligus melihat bagaimana tubuh dan pikiran bekerja sama di balik proses yang menarik ini.Fase Tidur REM: Saat Tubuh Diam, Otak Justru SibukTidur tidak hanya berlangsung dalam satu tahap, melainkan melewati beberapa siklus. Dalam satu malam, seseorang bisa melewati fase tidur ringan (NREM 1 dan 2), tidur pulas (NREM 3) , lalu tidur REM sebanyak beberapa kali. Menariknya, semakin lama kita tidur, fase REM cenderung semakin panjang, itulah sebabnya mimpi sering terasa lebih intens menjelang pagi.Di fase ini, mata bergerak cepat di balik kelopak, napas menjadi tidak teratur, dan detak jantung meningkat. Namun, dalam kondisi yang tampak berlawanan, sebagian besar otot tubuh justru berada dalam keadaan lumpuh sementara (muscle atonia). Ini adalah mekanisme alami agar kita tidak benar-benar menirukan gerakan dalam mimpi.Otak yang Bercerita: Bagaimana Mimpi TerbentukPada saat REM berlangsung, bagian otak bernama pons mengirimkan sinyal ke korteks serebral, lapisan otak yang bertanggung jawab atas kesadaran dan persepsi. Sinyal tersebut diterjemahkan menjadi gambar, suara, dan sensasi yang membentuk mimpi. Sementara itu, amigdala yaitu pusat pengatur emosi, menjadi sangat aktif sehingga membuat mimpi terasa emosional atau menegangkan. Yang menarik, korteks prefrontal, yang biasanya menangani logika dan penilaian, justru cenderung “pasif”, sehingga hal-hal aneh dalam mimpi terasa wajar bagi kita.Dalam proses ini, hippocampus menyuplai potongan memori, amigdala menambahkan muatan emosional, dan korteks menyusunnya menjadi narasi mirip “film internal”. Dari sinilah terbentuk campuran antara kenangan, imajinasi, dan keinginan bawah sadar.Salah satu teori klasik, Activation–Synthesis, menyebut bahwa mimpi muncul karena otak mencoba memberi makna pada sinyal listrik acak. Namun penelitian modern menunjukkan bahwa mimpi juga berperan dalam penguatan memori, penataan emosi, dan penyelesaian konflik batin.Mimpi, Emosi, dan Keseimbangan MentalSecara biologis, mimpi dipandang sebagai cara otak menjaga keseimbangan emosi. Saat REM, kadar asetilkolin meningkat sehingga aktivitas otak tetap tinggi, sementara norepinefrin dan serotonin menurun sehingga reaksi stres dapat ditekan. Kombinasi ini membuat otak bisa memproses emosi dengan lebih tenang, sekaligus memberi ruang bagi otak untuk mengolah pengalaman dengan cara yang lebih bebas dan kreatif tanpa tekanan dunia nyata.Jika tidur terganggu misalnya karena stres, kecemasan, atau pola tidur tidak sehat, ritme sirkadian bisa ikut kacau. Gangguan ritme ini dapat memicu mimpi buruk lebih sering karena otak kehilangan waktu optimal untuk menata ulang aktivitas emosionalnya. Kondisi ini bahkan bisa membuat otak kesulitan menyaring pengalaman harian, sehingga muncul mimpi yang lebih kacau, intens, atau sulit dijelaskan. Hal ini menunjukkan bahwa mimpi buruk berulang dapat menjadi tanda bahwa mekanisme pengatur emosi di otak sedang tidak seimbang.Mimpi: Ruang Kerja Sunyi di Dalam OtakDengan memahami mimpi lewat biopsikologi, kita melihat bahwa Dengan memahami mimpi lewat biopsikologi, kita melihat bahwa mimpi bukan sekadar fenomena aneh, tetapi bagian dari cara otak merawat dirinya. Pada fase REM, otak memanfaatkan momen sunyi itu untuk mengurai emosi, memperkuat ingatan yang penting, dan menata kembali pengalaman hidup secara simbolik. Meski logika sedang mereda, bagian otak lain justru menjadi lebih aktif, menciptakan hubungan baru antara pengalaman lama dan baru, sebuah proses yang membantu kita memahami diri secara lebih mendalam.Pada akhirnya, mimpi mengingatkan kita bahwa bahkan ketika tubuh beristirahat, otak tidak pernah benar-benar berhenti bekerja. Hal ini menjadi bukti bahwa tidur adalah salah satu cara alamiah otak untuk menjaga kita tetap seimbang dan siap menghadapi hari berikutnya.