Dopamin dan Ego Depletion: Sisi Lain dari Pilihan Sehari-hari

Wait 5 sec.

Ilustrasi olahraga bersama pasangan. Foto: ShutterstockWalaupun kita menyadari bahwa berolahraga itu baik untuk kesehatan dan makanan cepat saji merugikan, banyak orang yang memilih untuk bersantai atau mengonsumsi makanan tidak sehat. Begadang pun masih dilakukan meskipun ada kesadaran akan dampak negatifnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh kurangnya keinginan, tetapi juga karena cara kerja otak kita yang cenderung mencari kesenangan dan menghindari ketidaknyamanan.Dalam psikologi, sistem penghargaan otak memiliki peran penting dalam membentuk perilaku kita. Saat kita melakukan aktivitas yang menyenangkan seperti makan, bersantai, atau berkumpul dengan orang lain, otak akan melepaskan dopamin yang memberikan rasa puas. Di zaman digital ini, sistem ini bekerja terlalu keras karena adanya rangsangan instant dari media sosial dan makanan cepat saji, sehingga otak kita terbiasa dengan kepuasan instan dan mengabaikan manfaat jangka panjang (Volkow dan Morales, 2015).Dopamin menguatkan tindakan yang memberikan kenyamanan. Ketika seseorang merasa bahagia, dopamin akan dilepaskan di nucleus accumbens, yang akan mendorong orang tersebut untuk mengulangi perilaku tersebut. Hal ini terjadi sebelum bagian rasional otak sempat menganalisis konsekuensinya. Ketika sistem penghargaan ini terlalu dominan, korteks prefrontal, yang berfungsi mengatur pengendalian diri, menjadi lemah. Oleh karena itu, keputusan yang diambil cenderung berdasarkan dorongan sesaat ketimbang pertimbangan logis. Fenomena ini dikenal sebagai ego depletion (Baumeister dan Vohs, 2007).Saat mengalami stres, kita lebih cenderung mencari pelarian instan seperti menonton serial atau bermain game. Aktivitas-aktivitas ini memicu pelepasan dopamin yang memberikan rasa lega sementara. Jika dilakukan tanpa henti, bisa menimbulkan keinginan yang berlebihan. Sistem opioid di otak juga berperan dalam perasaan bahagia, baik melalui aktivitas sehat maupun yang tidak sehat. Ketika otak terbiasa mencari kenyamanan tanpa alasan, kemampuan untuk menikmati hal-hal sederhana dan pengendalian diri akan menurun (Le Merrer et al. , 2009).Skinner dengan teori pengondisian operan menjelaskan bahwa perilaku yang membawa kebahagiaan akan cenderung diulang. Bila bersantai memberikan kepuasan instan, otak kita akan mendorong kita untuk melakukannya lagi. Van Steenbergen et al. (2019) menambahkan bahwa sistem opioid juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, terutama ketika stres. Jika pelarian eksternal menjadi kebiasaan, kemampuan untuk mengatur emosi akan menurun dan mengarah pada perilaku adiktif.Media sosial semakin memperburuk situasi ini. Garland (2020) menyatakan bahwa notifikasi dan like memicu pelepasan dopamin yang mirip dengan efek dari zat adiktif. Pola kecanduan pun terbentuk: rasa ingin tahu, kepuasan sementara, dan keinginan untuk sekali lagi. Nilai budaya yang mengutamakan kebahagiaan membuat orang sulit untuk menunda kepuasan. Eksperimen marshmallow oleh Mischel menunjukkan bahwa kemampuan menunda kepuasan berkorelasi positif dengan keberhasilan akademis dan sosial (Mischel, 2025).Paparan pada rangsangan instan menyebabkan sistem dopamin bekerja berlebihan. Individu yang mengalami kecanduan seringkali memiliki aktivitas dopamin dasar yang rendah, sehingga merasakan kekosongan saat tidak mendapatkan stimulasi. Otak yang telah terbiasa dengan rangsangan tinggi menjadi cemas saat tidak mendapatkan umpan balik, seperti ketika tidak dapat mengakses ponsel (Volkow dan Morales, 2015). Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah mahasiswa yang menonton film sebelum belajar sebagai cara untuk meredakan stres. Jika terus dilakukan, otak akan mengaitkan tekanan dengan hiburan instan, bukan mencari solusi. Secara evolusi, kecenderungan terhadap kenyamanan dianggap adaptif, di mana otak dirancang untuk menghemat energi dan menghindari bahaya. Namun, di era modern ini, mekanisme tersebut menjadi tidak produktif.Ketika otak terbiasa dengan dopamin dari kegiatan tertentu, ia akan terus mencari pengalaman tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa sulit untuk menghentikan penggunaan ponsel meskipun sudah larut malam. Skinner menyebut perilaku ini sebagai penguatan positif, di mana aktivitas menggulir atau makan cemilan saat stres memberikan rasa lega temporer. Sistem penghargaan serta opioid juga saling berinteraksi untuk mengatur perasaan sakit dan kesenangan. Saat tubuh mulai terbiasa dengan kenyamanan dari luar, kepekaan terhadap kenyamanan alami akan berkurang. Akibatnya, ambang batas rasa sakit menjadi lebih rendah dan kebutuhan akan rangsangan meningkat. Istilah ini dikenal sebagai toleransi (Le Merrer et al. , 2009).Dalam psikologi kognitif, pola ini diartikan sebagai perilaku penghindaran. Otak memberikan "hadiah" berupa rasa lega ketika berhasil menghindari stres, memperkuat siklus penghindaran tersebut. Dampaknya terlihat pada penundaan dalam belajar atau menyelesaikan tugas, yang bisa memicu gangguan kecemasan. Saat mengalami kelelahan mental, kemampuan untuk mengatur diri menurun dan dorongan mencari kenyamanan meningkat (Baumeister dan Vohs, 2007). Penelitian oleh Montag dan Walla (2016) menunjukkan bahwa media digital mengaktifkan sistem dopamin seolah kita mendapatkan hadiah nyata. Notifikasi menciptakan pengalaman penghargaan kecil yang mendorong kita untuk terus mengecek ponsel. Sebagai hasilnya, muncul ketergantungan ringan yang berkontribusi pada kelelahan mental.Di sisi lain, rasa sakit memiliki peran penting sebagai sinyal untuk belajar dan berkembang. Jika kita terus menghindarinya, kita kehilangan kesempatan untuk memahami diri dan membangun rasa empati. Rasa kesepian seringkali dipandang negatif, padahal bisa menjadi waktu yang berharga untuk refleksi. Garland (2020) mengusulkan praktik mindfulness sebagai solusi. Aktivitas ini mendukung kita untuk menyadari sensasi dan emosi tanpa reaksi terburu-buru, sehingga mengurangi respons dopamin terhadap rangsangan instan. Penelitian oleh Tang et al. (2015) menunjukkan bahwa mindfulness meningkatkan aktivitas di korteks prefrontal, yang memperkuat kemampuan pengendalian diri dan pengambilan keputusan.Sebagai kesimpulan, kecenderungan untuk memilih kenyamanan bukan berasal dari kurangnya niat, tetapi karena sistem biologis dan emosional kita beroperasi secara otomatis. Tantangan yang dihadapi bukanlah untuk memahami konsekuensinya, melainkan untuk mengelola dorongan tersebut. Memahami cara kerja otak memungkinkan kita untuk membuat pilihan yang lebih bijaksana dan menemukan keseimbangan antara kesenangan sesaat dan manfaat jangka panjang.