Ketika Calon Guru Tak Mau Lagi Mengajar: Sinyal Bahaya di Hari Guru

Wait 5 sec.

Ilustrasi Selamat Hari Guru , 25 November. Sumber: PixabayBayangkan seorang mahasiswa pendidikan yang lulus, tapi tidak ingin menjadi guru. Kenapa hal ini bisa terjadi? Setiap Hari Guru, kita merayakan dedikasi para pendidik. Tapi di balik perayaan itu, ada fakta yang sulit diabaikan: banyak mahasiswa pendidikan kini ragu menempuh profesi yang seharusnya menjadi panggilan hati. Fenomena ini bukan sekadar soal pilihan karier, tapi cerminan masalah sistemik dalam pendidikan kita.Di kampus, cerita ini sudah bersahabat di telinga. Ada teman yang lebih tertarik bekerja di korporasi atau industri kreatif. Ada pula yang takut menghadapi dunia sekolah karena gaji kecil, beban administratif yang menumpuk, dan tuntutan yang tak pernah berhenti. Survei Bank Dunia 2024 mencatat lebih dari separuh tenaga pendidik muda menilai profesi guru kurang menarik secara ekonomi dan tidak menawarkan jalur karier yang jelas. Kemdikbudristek juga mencatat kekurangan ratusan ribu guru di berbagai daerah. Fakta-fakta ini bukan sekadar angka. Mereka adalah cerita nyata dari calon guru yang ragu melangkah ke kelas.Perubahan kurikulum yang terus-menerus menambah beban. Dari KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka, mahasiswa dan guru harus menyesuaikan diri berulang kali, sementara sekolah kadang belum siap menghadapi perubahan itu secara konsisten. Situasi ini membuat profesi guru tampak menantang tanpa kepastian, sehingga banyak mahasiswa memilih jalur lain yang lebih stabil dan terlihat lebih terukur.Gambar Guru dan Murid. Sumber: PixabayDari perspektif Pendidikan Pancasila, profesi guru melekat pada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Guru bukan sekadar penyampai materi, tapi pendidik karakter. Sila kedua menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi bagaimana nilai itu bisa diteladani anak-anak, jika guru sendiri kelelahan menghadapi beban administrasi dan perubahan kurikulum yang terus-menerus? Guru mengajarkan gotong royong dan persatuan, tetapi di lapangan sering berjuang sendiri. Jika kondisi ini terus berulang, bagaimana mungkin mahasiswa termotivasi meneladani profesi yang seharusnya menjadi cermin Pancasila?Jurang antara teori di kampus dan praktik di sekolah semakin nyata. Mahasiswa mengaku canggung menghadapi kelas besar atau tuntutan digitalisasi pembelajaran, sementara sekolah masih berjalan dengan sistem lama. Sila kelima tentang keadilan sosial relevan di sini. Keadilan bukan hanya soal gaji, tapi juga kesempatan berkembang, lingkungan kerja yang manusiawi, dan penghargaan atas dedikasi.Meski begitu, masih ada harapan. Program Guru Penggerak, pelatihan digital, dan peningkatan tunjangan di beberapa wilayah menunjukkan arah perbaikan. Kampus juga bisa mendukung dengan memberi pengalaman praktik nyata, bukan hanya teori. Mahasiswa perlu merasa kompetensi mereka benar-benar berguna di kelas, sehingga motivasi menjadi guru kembali tumbuh.Keputusan mahasiswa pendidikan yang enggan menjadi guru bukan sekadar cerminan kurangnya idealisme. Ini adalah alarm bagi sistem yang perlu diperbaiki. Hari Guru seharusnya menjadi momen untuk menengok masalah ini secara jujur, bukan sekadar merayakan. Guru adalah representasi nilai Pancasila dalam praktik. Jika profesi ini ingin kembali diminati, negara dan masyarakat harus memberikan penghargaan setara dengan peran yang mereka emban.Sudah waktunya memastikan calon guru memiliki masa depan yang layak dan dihargai. Jika tidak, kita bukan hanya kehilangan tenaga pengajar, tapi juga fondasi pendidikan yang lebih manusiawi, adil, dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila.