Ketika Benang dan Jarum Menjadi Suara Buruh Garmen Perempuan di Masa Orba

Wait 5 sec.

Buruh perempuan garmen menjadi tulang punggung industri tekstil Indonesia pada masa Orde Baru. (Foto: gettyimages)Kemegahan industri garmen Indonesia di era Orde Baru menyimpan cerita kelam ribuan perempuan pekerja. Mereka bekerja dengan gaji minim, waktu kerja melampaui batas, dan tidak memiliki perlindungan hukum memadai. Namun, di tengah tekanan penguasa, benang dan jarum yang dipegang setiap hari justru berubah menjadi lambang perlawanan senyap dan persaudaraan yang kokoh.Industrialisasi dan Eksploitasi PerempuanStereotip gender dimanfaatkan untuk memilih buruh perempuan yang dianggap lebih telaten dan patuh. (Foto: gettyimages)Industrialisasi menjadi program utama pemerintah Orde Baru dalam membangun kemajuan ekonomi bangsa. Industri garmen tumbuh sangat cepat dan menyumbang devisa negara lewat ekspor, sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi kaum perempuan.Akan tetapi, kesuksesan tersebut menutupi kenyataan ketimpangan sosial yang tajam. Buruh perempuan dipilih karena dianggap lebih sabar, penurut, dan gampang diatur. Pandangan berbasis gender ini dipakai untuk memenuhi kebutuhan modal dan kepentingan ekonomi negara.Di sejumlah pabrik garmen Tangerang, Bandung, dan Semarang, mereka bekerja seharian penuh dengan upah rendah serta pengawasan ketat tanpa jaminan hukum. Keadaan ini menunjukkan pertentangan nyata antara semangat pembangunan ekonomi dengan realitas ketidakadilan yang dialami pekerja perempuan. Mereka menjadi penggerak utama industri, tetapi tidak mendapat balasan setimpal dari sistem yang mereka topang.Represi Politik dan Perlawanan TersembunyiSPSI menjadi satu-satunya serikat buruh yang diakui negara, namun lebih berfungsi sebagai alat kontrol politik. (Foto: gettyimages)Situasi politik yang menindas membuat ruang gerak buruh untuk memperjuangkan haknya sangat sempit. Pemerintah Orde Baru menekankan stabilitas sebagai syarat utama pembangunan nasional. Tiap bentuk unjuk rasa atau aksi protes dianggap mengganggu keamanan dan bisa berakhir dengan tindakan represif aparat.Untuk mengendalikan dunia kerja, pemerintah mendirikan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai satu-satunya organisasi buruh resmi yang diakui negara. Sayangnya, organisasi ini hanya menjadi alat pengawasan politik. Buruh perempuan kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan haknya secara terbuka. Mereka tidak punya wadah aspirasi yang bebas dan mandiri.Dalam kondisi seperti ini, muncullah berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan secara diam diam di dalam pabrik. Para buruh melakukan aksi kecil seperti memperlambat kecepatan kerja, menolak lembur tanpa upah tambahan, atau saling melindungi rekan kerja agar terhindar dari hukuman.Meski terlihat sepele, tindakan tindakan ini memperlihatkan munculnya kesadaran kelas, rasa persaudaraan, dan semangat bersama yang tumbuh secara alami di tengah penindasan kekuasaan.Benang dan Jarum sebagai Simbol PerjuanganBenang dan jarum menjadi simbol solidaritas dan keteguhan buruh perempuan garmen. (Foto: gettyimages)Benang dan jarum yang dipakai setiap hari di pabrik punya arti mendalam bagi kehidupan buruh perempuan. Benang melambangkan ikatan sosial yang menyatukan mereka dalam satu nasib dan perjuangan yang sama. Sementara jarum menggambarkan keteguhan dan keberanian untuk menembus tembok ketidakadilan.Setiap jahitan yang dihasilkan bukan sekadar produk industri, tetapi juga simbol ketekunan, ketahanan, dan harapan. Di balik setiap pakaian yang diekspor ke luar negeri, tersimpan kisah panjang tentang kerja keras perempuan Indonesia yang berjuang tanpa suara.Di bawah tekanan sistem kapitalis dan kekuasaan negara yang menindas, mereka menjadikan benang dan jarum sebagai alat komunikasi tanpa kata, sebagai suara yang menjahit kebersamaan di antara sesama pekerja.Krisis, Reformasi, dan Kebangkitan Gerakan BuruhMenjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, krisis ekonomi Asia tahun 1997 mengguncang sektor industri secara besar besaran. Banyak pabrik garmen tutup dan meninggalkan ribuan buruh perempuan tanpa pesangon serta jaminan sosial.Namun, pengalaman panjang menghadapi eksploitasi dan penindasan selama lebih dari tiga dekade justru membentuk kesadaran baru di kalangan buruh perempuan. Setelah reformasi 1998, mereka mulai membangun serikat pekerja mandiri, memperjuangkan upah layak, dan menuntut kesetaraan gender di dunia kerja.Dari tangan tangan yang setiap hari memegang benang dan jarum, tumbuh kesadaran baru tentang pentingnya persatuan dan keberanian dalam memperjuangkan hak hak mereka.Refleksi Sejarah SosialDalam sudut pandang sejarah sosial, perjuangan buruh perempuan di industri garmen mencerminkan dinamika kekuasaan, kelas, dan gender dalam proses industrialisasi Indonesia. Melalui pengalaman mereka, kita memahami bahwa pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru tidak hanya menghasilkan pertumbuhan angka, tetapi juga melahirkan ketegangan antara kekuasaan dan kemanusiaan.Benang dan jarum akhirnya menjadi simbol perjuangan yang menenun sejarah keteguhan, persaudaraan, dan keberanian perempuan Indonesia di tengah kerasnya industrialisasi Orde Baru. Kisah mereka mengingatkan kita bahwa di balik setiap produk industri, ada wajah wajah manusia dengan perjuangan dan harapan yang layak didengar dan dihormati.