Pelaku Rekrutmen Teroris Online Mau Beraksi di DPR, Densus Ungkap Pola Ajakannya

Wait 5 sec.

Tangkapan layar Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 Anti Teror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana dalam acara Diskusi Global Terrorism Index 2025, yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (10/4/2025). Foto: YouTube/BNPTDensus 88 Antiteror Polri mengungkap adanya ancaman nyata dari salah satu pelaku dari lima orang yang merekrut anak-anak sebagai anggota jaringan terorisme melalui media sosial dan game online.Pelaku disebut sudah memiliki keinginan untuk melakukan aksi teror di Gedung DPR RI, sehingga Densus harus segera melakukan penindakan.“Dan yang terakhir kemarin kami temukan, salah satu dari pelaku ini juga berkeinginan untuk melakukan aksi di Gedung DPR RI. Nah, ini yang membuat harus segera dilakukan penegakan hukum,” ujar Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, dalam konferensi pers Penanganan Rekrutmen Online Terhadap Anak-Anak oleh Kelompok Terorisme di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11).Ia mengatakan, para tersangka ini kebanyakan berasal dari jaringan ISIS. Namun, mereka menggunakan metode baru untuk merekrut anak-anak tersebut."Jadi, untuk pemain lama yang ditangkap pertama kali oleh Densus 88, diketahui jaringannya berasal dari jaringan ISIS atau Ansharu Daulah ya," jelasnya.Hingga saat ini, ada 110 orang anak di 26 provinsi di Indonesia yang berhasil mereka rekrut. Pola Ajakan dengan Membandingkan Pancasila dan Kitab SuciKonferensi Pers Penanganan Rekutmen Online Terhadap Anak-anak oleh Kelompok Terosisme di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparanMayndra kemudian memberi contoh dari 5 pelaku yang merekrut anak-anak lewat media sosial dan game online. Ia menyebut, para pelaku merupakan pemain lama di jaringan terorisme, namun menggunakan metode baru saat merekrut.“Pertama, pemain lama yang juga mencoba merekrut anak-anak kembali ya, dia sudah menjalani proses hukum, kemudian setelah lepas, dia coba lagi merekrut beberapa anak,” ujar Mayndra.Terkait proses perekrutan, Mayndra memaparkan bahwa para pelaku memanfaatkan ruang digital, mulai dari platform terbuka hingga grup privat yang terenkripsi.“Jadi, tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia ya, yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik,” jelasnya.Di dalam grup privat itulah proses indoktrinasi berlangsung. Pola yang digunakan antara lain mendorong anak-anak membandingkan ajaran dan ideologi, seperti pertanyaan “Mana yang lebih baik, Pancasila atau kitab suci?”Dari pertanyaan seperti itu, proses penanaman ideologi ekstrem kemudian dimulai. Mayndra menegaskan bahwa metode rekrutmen ini berlapis.Ilustrasi game online. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan“Anak-anak dibikin tertarik dulu, kemudian mengikuti grup, kemudian diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin ini ya. Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung.”Untuk pencegahan, Densus 88, BNPT, dan Komdigi terus memperkuat publikasi konten positif serta memonitor potensi ancaman di ruang digital. Mayndra menyebut langkah pencegahan dilakukan baik secara fisik maupun ideologis.“Kami mendeteksi ada ancaman serangan, baik terhadap fasilitas vital atau seperti fasilitas keamanan,” ujarnya.Ia menutup dengan penegasan bahwa tindakan cepat Densus bukan hanya untuk melindungi objek vital negara, tetapi juga untuk menyelamatkan anak-anak yang direkrut.“Artinya, pencegahan atau preventive strike yang dilakukan oleh Densus dalam hal untuk melindungi keamanan objek vital negara dan keselamatan umum, termasuk juga keselamatan para pelaku dan anak-anak yang direkrut ini,” kata Mayndra.