Sumber : Pixabay “compass-3408928_1280” URL: https://pixabay.com/photos/compass-old-world-map-rose-3408928/ (diakses 15 November 2025)Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik. Namun, di balik potensi besar sektor maritim, regulasi hukum shipping nasional masih berlayar dalam arus yang bergejolak: tumpang tindih aturan, lemahnya koordinasi antarinstansi, serta penegakan hukum yang belum tegas.Tumpang Tindih Regulasi dan Lemahnya KoordinasiSektor pelayaran nasional diatur oleh banyak lembaga Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, hingga Otoritas Pelabuhan. Kompleksitas ini menimbulkan overlapping authority dan memperlambat proses perizinan.Kapal yang hendak berlayar, misalnya, harus mengantongi sejumlah izin seperti port clearance dan dokumen bongkar muat yang dikeluarkan oleh instansi berbeda. Proses yang berbelit ini tidak hanya menghambat efisiensi, tetapi juga membuka celah praktik pungutan liar yang masih marak di pelabuhan-pelabuhan besar.Laporan Indonesia Logistic Performance Index (World Bank, 2023) menempatkan Indonesia di peringkat 61 dunia jauh di bawah Singapura dan Malaysia salah satunya karena kompleksitas regulasi maritim dan pelabuhan.UU Pelayaran 2008: Kompas yang Belum EfektifUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dimaksudkan menjadi payung hukum utama sektor maritim Indonesia. Namun, implementasinya masih tersendat. Beberapa peraturan pelaksana tidak sinkron, sementara pengawasan di daerah sangat bergantung pada kapasitas SDM yang terbatas.Kecelakaan kapal di perairan Indonesia yang masih tinggi seperti kasus tenggelamnya KM Cahaya Arafah di Maluku Utara (2022) menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap aspek keselamatan pelayaran (ship safety management). Padahal, UU Pelayaran secara tegas mewajibkan setiap operator menjamin kelaiklautan kapal.Kepatuhan terhadap Konvensi Internasional Masih LemahSebagai anggota International Maritime Organization (IMO), Indonesia wajib menyesuaikan regulasinya dengan standar global seperti SOLAS 1974 (Safety of Life at Sea) dan MARPOL 73/78 (Prevention of Marine Pollution). Namun, penerapannya belum merata.Masih banyak kapal berbendera Indonesia yang belum memenuhi standar safety equipment atau pollution control, sehingga mengalami kendala saat berlayar di perairan internasional. Padahal, kepatuhan terhadap konvensi internasional sangat menentukan kredibilitas dan daya saing pelayaran nasional.Asas Cabotage: Antara Proteksi dan EfisiensiKebijakan asas cabotage yang ditegaskan melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2011 bertujuan melindungi industri pelayaran nasional dengan melarang kapal asing mengangkut kargo domestik. Namun, pelaksanaannya masih menuai kritik.Keterbatasan armada berbendera Indonesia terutama untuk kapal khusus seperti LNG carrier dan offshore vessel membuat biaya logistik meningkat. Laporan Indonesian National Shipowners’ Association (INSA, 2024) menyebut, kebijakan cabotage memang memperkuat industri dalam negeri, tetapi belum diimbangi dengan peningkatan kapasitas teknis dan investasi armada nasional.Sengketa Maritim dan Kekosongan HukumIndonesia hingga kini belum memiliki sistem peradilan maritim tersendiri. Sengketa pelayaran mulai dari tabrakan kapal, pencemaran laut, hingga wanprestasi kontrak pengangkutan (bill of lading) masih disidangkan di pengadilan umum yang tidak memiliki keahlian teknis hukum laut.Negara-negara maritim seperti Singapura dan Inggris sudah memiliki maritime court atau admiralty jurisdiction tersendiri yang mempercepat penyelesaian sengketa dan menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha. Indonesia perlu mengadopsi langkah serupa agar investasi di sektor pelayaran lebih terjamin.Digitalisasi Shipping: Regulasi yang Belum SiapDunia logistik laut global bergerak ke arah digitalisasi penuh penggunaan e-bill of lading, port community system, hingga teknologi blockchain. Namun, Indonesia masih tertinggal.Belum ada regulasi nasional yang mengatur keabsahan dokumen pengiriman digital secara komprehensif. Padahal, digitalisasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga transparansi. Dengan sistem elektronik yang terintegrasi, pengawasan kapal dan arus barang akan jauh lebih akurat serta meminimalkan praktik korupsi di pelabuhan.Menata Haluan BaruUntuk menakhodai sistem pelayaran nasional ke arah yang lebih efisien dan berkeadilan, Indonesia perlu menempuh reformasi regulasi maritim secara menyeluruh. Langkah utama meliputi:1. Harmonisasi seluruh peraturan antarinstansi agar tidak saling tumpang tindih.2. Pembentukan peradilan maritim nasional untuk menjamin kepastian hukum.3. Adopsi penuh terhadap konvensi IMO dan penerapan standar keselamatan internasional.4. Percepatan digitalisasi pelabuhan dan dokumen shipping.Hukum pelayaran yang kuat bukan sekadar instrumen administrasi, melainkan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang berorientasi laut. Jika Indonesia ingin sungguh menjadi Global Maritime Fulcrum, maka regulasi hukum shipping harus menjadi jangkar yang kokoh, bukan beban yang menenggelamkan.