Ilustrasi Bahasa-bahasa di Dunia Foto: Getty ImagesBeberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan gagasan untuk memasukkan bahasa Portugis ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia. Ide ini muncul setelah pertemuannya dengan Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, sebagai bentuk penghargaan atas hubungan baik antara kedua negara. Secara sekilas, gagasan ini tampak sebagai langkah diplomatik yang ramah dan berwawasan global.Namun, jika ditelaah lebih dalam, kebijakan semacam ini berpotensi menjadi bentuk diplomasi tanpa arah strategis yang jelas. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis gagasan tersebut dari perspektif diplomasi budaya, kerja sama Selatan–Selatan, serta efektivitas kebijakan pendidikan dalam mendukung strategi politik luar negeri Indonesia.Bahasa merupakan salah satu instrumen diplomasi budaya yang efektif. Melalui bahasa, suatu negara dapat membangun jembatan persahabatan, memperluas pemahaman lintas budaya, dan memperkuat kehadiran globalnya.Namun demikian, menjadikan bahasa Portugis sebagai mata pelajaran di sekolah Indonesia tidak serta merta akan memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Brasil. Kebijakan tersebut lebih tampak sebagai simbol diplomatik daripada strategi yang memiliki nilai praktis terhadap kepentingan nasional.Ilustrasi Bendera Indonesia dan Brazil. Foto: Shutter StockBrasil memang merupakan negara besar di kawasan Amerika Latin, tetapi penguasaan bahasa Portugis belum memiliki urgensi yang signifikan dalam konteks hubungan ekonomi maupun politik Indonesia. Dalam praktiknya, mitra dagang utama Indonesia masih didominasi oleh Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara ASEAN.Sementara itu, hubungan ekonomi dengan Brasil masih terbatas pada ekspor-impor komoditas mentah, seperti kelapa sawit, karet, dan daging sapi. Dengan demikian, pengenalan bahasa Portugis secara nasional tidak serta merta akan meningkatkan kapasitas diplomatik Indonesia di kawasan Amerika Latin.Antara Simbolisme dan Strategi DiplomasiKebijakan pengajaran bahasa Portugis—apabila tidak diiringi dengan arah strategis yang jelas—justru berpotensi menjadi beban baru bagi sistem pendidikan nasional. Saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan mendasar dalam hal peningkatan kualitas literasi, kompetensi dasar siswa, dan kapasitas tenaga pendidik. Diplomasi budaya yang bersifat simbolik tanpa dukungan strategi substantif hanya akan memperlihatkan ketidakefisienan dalam perumusan kebijakan luar negeri.Dalam konteks kerjasama Selatan–Selatan (South–South Cooperation), hubungan antara Indonesia dan Brasil semestinya diarahkan pada kolaborasi substantif antarnegara berkembang, bukan sekadar simbolik. Kerjasama Selatan–Selatan menekankan aspek capacity building, pertukaran teknologi, serta solidaritas pembangunan yang saling menguatkan.Ilustrasi Brasil Foto: Shutter Stock Oleh karena itu, momentum hubungan diplomatik dengan Brasil seharusnya dimanfaatkan untuk memperdalam kolaborasi di bidang yang lebih produktif, seperti pertanian tropis, bioenergi, transisi energi bersih, serta pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati.Alternatif Strategi Diplomasi yang Lebih ProduktifPendekatan strategis yang dapat memperkuat hubungan Indonesia dengan Brasil dan negara-negara Amerika Latin lainnya dapat diwujudkan melalui beberapa langkah konkret.Pertama, program pertukaran pendidikan dan riset terapan di bidang bioenergi, teknologi pertanian, serta konservasi hutan tropis. Kedua, kemitraan UMKM dan ekonomi hijau yang menghubungkan pelaku bisnis inovatif dari Indonesia dan kawasan Amerika Latin.Kemudian, forum tahunan Indonesia–Amerika Latin dalam kerangka Selatan–Selatan, yang membahas isu-isu global, seperti pangan, iklim, dan ekonomi digital. Terakhir, penguatan diplomasi budaya dan ekonomi kreatif, melalui kolaborasi film, musik, serta seni kontemporer yang memiliki jangkauan publik lebih luas dan nilai ekonomi yang nyata.Ilustrasi ragam budaya di berbagai lokasi wisata Indonesia. Foto: Oka diana/ShutterstockLangkah-langkah tersebut jauh lebih efektif dalam memperkuat posisi Indonesia di tataran diplomasi internasional dibandingkan sekadar memperkenalkan bahasa yang tidak memiliki relevansi global yang kuat. Dalam konteks Amerika Latin, bahasa Spanyol bahkan lebih strategis untuk diperkenalkan karena digunakan oleh sebagian besar negara di kawasan tersebut, termasuk mitra potensial, seperti Meksiko, Chili, dan Kolombia.Aspek Teknis dan Tantangan ImplementasiDari sisi teknis, gagasan memasukkan bahasa Portugis ke dalam kurikulum nasional menghadapi tantangan yang cukup serius. Indonesia saat ini kekurangan guru dengan kompetensi bahasa Portugis, belum memiliki bahan ajar yang memadai, serta belum menyiapkan sistem pembelajaran yang mendukung.Implementasi program baru seperti ini akan membutuhkan biaya besar yang berpotensi mengalihkan fokus dari prioritas pendidikan yang lebih mendesak, seperti peningkatan kualitas guru, literasi digital, serta kesiapan menghadapi tantangan ekonomi global berbasis inovasi.Dalam konteks efisiensi kebijakan publik, penambahan mata pelajaran baru harus mempertimbangkan manfaat jangka panjang terhadap penguatan daya saing nasional. Tanpa analisis kebutuhan yang komprehensif, kebijakan tersebut hanya akan menjadi beban administratif dan finansial bagi sektor pendidikan.Diplomasi Budaya dan Rasionalitas KebijakanIlustrasi berjabat tangan. Foto: peoplemages/ShutterstockDiplomasi budaya yang efektif bukan hanya bergantung pada niat baik, melainkan juga pada rasionalitas strategi dan relevansi kebijakan. Bahasa memang dapat menjadi sarana soft power, tetapi soft power yang berhasil selalu berpijak pada kebutuhan nasional dan kepentingan geopolitik yang terukur. Dengan demikian, gagasan pengajaran bahasa Portugis di sekolah perlu dinilai bukan semata dari aspek simbolik, melainkan dari sejauh mana kebijakan tersebut memberikan nilai tambah terhadap tujuan diplomasi dan pembangunan nasional.Diplomasi sejati menuntut strategi yang konsisten dan terarah, bukan sekadar gestur simpatik. Dalam era global yang menuntut efisiensi, relevansi, dan dampak nyata, diplomasi tanpa strategi hanya akan menjadi retorika tanpa arah. Indonesia perlu memastikan bahwa setiap kebijakan luar negeri, termasuk diplomasi budaya, mendukung posisi strategisnya dalam arsitektur global Selatan–Selatan.KesimpulanGagasan memasukkan bahasa Portugis ke dalam kurikulum sekolah Indonesia memang lahir dari semangat mempererat hubungan bilateral dengan Brasil. Namun, tanpa strategi yang jelas, langkah tersebut berisiko menjadi simbol diplomasi tanpa substansi. Pengenalan bahasa asing harus didasarkan pada urgensi geopolitik, relevansi ekonomi, dan kesiapan sistem pendidikan nasional.Sebagai alternatif, diplomasi Indonesia dengan Brasil dan kawasan Amerika Latin sebaiknya difokuskan pada program-program yang memperkuat kolaborasi ilmiah, ekonomi hijau, serta inovasi teknologi. Dengan demikian, diplomasi Indonesia tidak hanya bersifat seremonial, tetapi benar-benar mendukung pembangunan nasional dan memperkuat solidaritas global Selatan–Selatan.