Budaya "ngangguk saja" di kalangan PNS adalah warisan panjang dari doktrin Orde Baru yang belum sepenuhnya hilang dari mentalitas birokrasi kita. (Gambar: Shutterstock)Di telinga publik, citra Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering kali terbagi dua. Di satu sisi, mereka adalah profesi "aman" dan stabil. Di sisi lain, mereka terlanjur lekat dengan stigma sebagai sekelompok individu yang kaku, harus "nurut", dan tidak boleh kritis terhadap pemerintah. Sebuah anggapan bahwa menjadi abdi negara berarti harus siap "ngangguk-ngangguk saja" pada apa pun arahan atasan dan kebijakan penguasa.Celetukan ini bukan sekadar stereotip. Stigma ini adalah sebuah produk sejarah, sebuah warisan budaya yang jejaknya bisa kita telusuri kembali ke era Orde Baru. Akar masalahnya satu: sebuah doktrin politik yang dikenal sebagai monoloyalitas.Bagi generasi yang tidak mengalami masa Orde Baru, mungkin sulit membayangkan sebuah sistem di mana loyalitas seorang pegawai bisa diatur secara tunggal. Orde Baru menetapkan Golkar (Golongan Karya) bukan sebagai partai politik, melainkan sebagai "Golongan Fungsional", sebuah payung besar yang mewakili semua elemen fungsional dalam masyarakat, termasuk elemen birokrasi, yakni seluruh PNS.Melalui wadah KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia), seluruh PNS se-Indonesia secara sistematis "dianjurkan" untuk menjadi anggota dan menyalurkan aspirasi politiknya hanya kepada Golkar. Tentu saja, kata "dianjurkan" di era itu adalah sebuah eufemisme untuk "diwajibkan". Tidak ada pilihan lain.Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparanKebijakan ini diperkuat oleh payung hukum. Akbar Tandjung dalam The Golkar Way (2007:102) mencatat bahwa untuk memenangkan Golkar, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 12 tahun 1969. Peraturan ini melarang PNS aktif dalam partai politik dan secara eksplisit mengarahkan aspirasi politik mereka hanya kepada Golkar. Peraturan inilah yang menjadi fondasi bagi penerapan monoloyalitas.Menteri Dalam Negeri saat itu, Jenderal Amirmachmud, yang dijuluki Buldoser, berargumen bahwa kedudukan dan peranan pegawai sangat penting dan menentukan karena mereka adalah aparat pelaksana pemerintah (H. Amirmachmud: Prajurit Pejuang, 1987).Di sinilah cetak biru stigma itu dimulai. Sebuah persamaan yang kaku dan mengikat akhirnya tercipta di benak publik dan di dalam struktur birokrasi itu sendiri: PNS adalah Golkar dan Golkar adalah Pemerintah.Implikasinya sangat besar. Ketika identitas seorang pegawai negeri dilebur menjadi satu dengan mesin politik penguasa, konsep netralitas birokrasi otomatis lenyap. Ruang untuk perbedaan pendapat, apalagi kritik, tertutup rapat. Mengkritisi kebijakan pemerintah sama artinya dengan melawan Golkar, yang berarti insubordinasi terhadap atasan.Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: ShutterstockBukti konkret dari paksaan ini tersebar dalam banyak catatan sejarah. Darmaningtyas dalam Pendidikan Rusak-rusakan (2005:136) mencatat bahwa kewajiban memilih Golkar ini juga berlaku bagi para guru PNS. Risiko bagi guru yang tidak mendukung Golkar adalah dikucilkan atau dimutasi ke pelosok. Lebih lanjut, Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 (2006:105) menulis bahwa pegawai negeri beserta keluarganya dipaksa masuk Golkar, sebab jika menolak, risiko terberatnya adalah dipecat dengan tuduhan 'tidak loyal' kepada pemerintah.Kisah nyata seorang PNS di Badan Litbang Agama, MM Billah, bahkan tercatat diberhentikan dari jabatannya hanya karena menolak mencoblos Golkar pada masa Pemilu, sebagaimana dicatat Ahmad Gaus dalam Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi (2009:374).Untuk bertahan hidup dalam sistem seperti itu, strategi paling logis adalah kepatuhan. Berkembanglah sebuah budaya kerja yang mengutamakan loyalitas ke atas. Inilah yang melahirkan mentalitas "Asal Bapak Senang" (ABS). "Ngangguk" dan "menurut" bukan lagi pilihan, melainkan sebuah mekanisme pertahanan diri yang esensial. Fokus birokrasi bergeser: dari melayani rakyat menjadi mengamankan posisi dan menyenangkan penguasa.Ilustrasi masyarakat. Foto: Djem/ShutterstockWaktu bergulir, Reformasi 1998 datang dan meruntuhkan tatanan tersebut. Doktrin monoloyalitas secara resmi dihapus. Golkar dideklarasikan sebagai partai politik murni pada tahun 1999. Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baru pun dengan tegas mewajibkan PNS untuk netral secara politik.Namun, di sinilah letak permasalahannya. Mengubah undang-undang di atas kertas jauh lebih mudah daripada membongkar budaya yang telah mendarah daging selama lebih dari tiga puluh tahun. Apalagi, kewajiban birokrat untuk patuh dan taat kepada pemerintah masih diatur ketat hingga kini.Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), PNS adalah aparat pelaksana jabatan pemerintahan. Kewajiban perilaku ini diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP 53/2010).Dalam Pasal 3 angka 3 PP 53/2010, ditegaskan bahwa PNS wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah. Penjelasan dari pasal tersebut menggarisbawahi bahwa PNS berkewajiban melaksanakan kebijakan negara dan pemerintah serta dilarang mempermasalahkan atau menentang Pancasila dan UUD 1945.Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty ImagesBahkan, prosedur penyampaian kritik atau informasi yang merugikan diatur melalui mekanisme berjenjang. Pasal 8 angka 8 PP 53/2010 mewajibkan PNS untuk segera melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.Jika kewajiban pelaporan ini diabaikan, PNS tersebut dapat dijatuhi hukuman disiplin, mulai dari ringan hingga berat. Dengan demikian, jika seorang PNS ingin menyampaikan kritik, secara hukum hal itu harus disalurkan melalui prosedur pelaporan kepada atasan, bukan disampaikan secara bebas.Fakta ini menunjukkan bahwa stigma "ngangguk saja" masih bertahan. Bukan hanya karena inersia budaya lama, melainkan juga karena struktur birokrasi dan aturan disiplin saat ini masih sangat menekankan pada hierarki, ketaatan, dan pelaporan berjenjang. Alhasil, meski politik monoloyalitas telah tumbang, mentalitas "patuh pada pimpinan" masih menjadi tuntutan.Ada satu hal mendasar yang sering terlewatkan, yaitu mengenai sumber gaji PNS. Stigma kepatuhan buta sering kali ditegakkan dengan dalih bahwa PNS digaji oleh negara, sehingga harus loyal kepada pemerintah. Padahal, gaji PNS berasal dari uang rakyat.Ilustrasi PNS. Foto: AgungKurnia Yunawan/ShutterstockGaji PNS dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang sumber dananya bersumber dari pajak dan penerimaan negara lain yang dipungut dari masyarakat. Oleh karena itu, PNS, meskipun aparat pemerintah, esensinya adalah pelayan publik yang digaji oleh publik itu sendiri.Dalam hal ini, tidak ada salahnya jika seorang PNS yang juga adalah bagian dari masyarakat menyampaikan kritik atau mengingatkan atasannya (pemerintah) demi perbaikan. Justru, ancaman atau sanksi berupa mutasi yang keliru—hanya karena perbedaan pandangan—menunjukkan bahwa warisan budaya monoloyalitas masih disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk menjaga disiplin pelayanan.Budaya "ngangguk saja" yang kita lihat hari ini adalah gema dari masa lalu. Ini adalah residu dari sebuah sistem yang pernah memaksa seluruh abdi negaranya untuk memiliki loyalitas tunggal. Memahami sejarah ini penting, tidak untuk menyalahkan individu PNS, tetapi untuk menyadari bahwa stigma itu adalah produk dari sebuah desain politik yang terstruktur. Tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa reformasi birokrasi tidak hanya berhenti pada aturan administrasi, tetapi juga menyentuh "software" mentalitas yang diwariskan oleh era monoloyalitas tersebut dan mengembalikannya pada kesadaran bahwa PNS adalah pelayan rakyat.