Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH)Konferensi Perubahan Iklim ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, menjadi panggung baru bagi Indonesia untuk menegaskan perannya dalam tata kelola iklim global. Melalui rencana ambisius untuk menghasilkan sekitar US$ 7,7 miliar per tahun dari perdagangan karbon, Indonesia berupaya memposisikan diri sebagai pusat pasar karbon berintegritas tinggi (high integrity carbon market).Namun, ambisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana proyek pasar karbon Indonesia dapat memenuhi standar high integrity yang diakui secara internasional, dan apakah strategi ekonomi karbon ini selaras dengan tujuan substantif mitigasi perubahan iklim?Pasar Karbon sebagai Instrumen Ekonomi IklimSecara konseptual, perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk menginternalisasi biaya eksternal dari emisi gas rumah kaca. Ia bekerja melalui prinsip ekonomi klasik yang memberikan insentif bagi pengurangan emisi di tempat yang paling efisien secara biaya (cost-effective mitigation).Indonesia, dengan potensi hutan tropis dan lahan gambut yang luas, memandang skema ini sebagai peluang strategis. Setelah moratorium empat tahun terhadap perdagangan karbon internasional, pemerintah membuka kembali ruang bagi ekspor kredit karbon melalui skema di artikel 6 paragraf 2 Paris Agreement dan mekanisme nilai ekonomi karbon (NEK).Namun, terdapat paradoks inheren dalam pendekatan ini. Di satu sisi, pasar karbon menawarkan insentif ekonomi yang dapat mempercepat konservasi hutan dan transisi energi. Di sisi lain, jika tanpa tata kelola yang ketat, kebijakan ini berisiko menjadi instrumen greenwashing yang memungkinkan aktor besar melanjutkan praktik emisi tinggi dengan membeli kompensasi karbon alih-alih mengurangi emisi secara riil.Konsep dan Tantangan “High Integrity Carbon”Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya menghasilkan “karbon berkualitas tinggi”, yakni kredit karbon yang benar-benar mewakili penurunan emisi yang nyata, terukur, tambahan, permanen, dan adil secara sosial. Dalam kerangka internasional, standar high integrity diukur melalui tiga dimensi utama, yakni integritas lingkungan, sosial, dan tata kelola.Integritas lingkungan mendasari bahwa setiap unit kredit karbon harus berhubungan langsung dengan pengurangan atau penyerapan emisi yang dapat diverifikasi melalui sistem Measurement, Reporting, and Verification (MRV) yang transparan dan bebas konflik kepentingan.Sedangkan, integritas sosial merupakan proyek karbon tidak boleh melanggar hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) wajib menjadi prasyarat dalam setiap proyek.Sementara itu, integritas tata kelola meliputi akuntabilitas lembaga pengelola, kejelasan yurisdiksi lahan, dan keterbukaan data emisi serta hasil verifikasi.Masalahnya, high integrity tidak dapat dideklarasikan secara sepihak. Hal ini harus diakui oleh komunitas internasional melalui kredensial lembaga sertifikasi, seperti Verra, Gold Standard, atau mekanisme transparansi Pasal 6 ayat 2 UNFCCC.Indonesia memang telah mengembangkan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) sebagai basis verifikasi domestik, tetapi sistem ini masih menghadapi kritik terkait transparansi, sinkronisasi data lintas sektor, serta keterlibatan publik. Jika isu-isu ini tidak diselesaikan, maka ambisi untuk menjadi carbon hub dunia berisiko kehilangan legitimasi global.Politik Ekonomi Iklim dan Risiko GreenwashingIlustrasi energi biogas. Foto: ShutterstockDari perspektif politik ekonomi, orientasi Indonesia terhadap pasar karbon mencerminkan upaya mencari sumber pembiayaan baru dalam kerangka ekonomi hijau (green growth). Narasi ini sejalan dengan logika pembangunan berkelanjutan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologis.Namun, ketika perdagangan karbon dijadikan instrumen utama alih-alih pelengkap kebijakan mitigasi, muncul risiko reduksionisme iklim dimana kompleksitas krisis iklim disederhanakan menjadi persoalan transaksi pasar.Kritik yang disampaikan oleh Greenpeace Indonesia dan Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mencerminkan kekhawatiran akan komodifikasi hutan dan lahan sebagai instrumen ekonomi semata. Dalam konteks agraria Indonesia yang masih sarat konflik, ekspansi proyek karbon dapat memperparah ketimpangan akses dan mengancam hak masyarakat adat, terutama jika tidak diiringi regulasi redistribusi manfaat yang adil.Dengan demikian, pasar karbon hanya akan bermakna bila diiringi oleh transformasi struktural, yakni penghentian investasi baru di sektor fosil, reformasi tata kelola hutan, dan peningkatan transparansi dalam distribusi manfaat ekonomi hijau.Menuju Legitimasi Global dan Keadilan IklimDalam teori legitimasi iklim global, kredibilitas sebuah negara tidak hanya diukur dari besaran komitmen finansial atau retorika diplomatik, tetapi dari koherensi antara kebijakan domestik dan kontribusi internasionalnya.Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pelopor global bagi negara-negara Selatan yang ingin membuktikan bahwa ekonomi karbon dapat berjalan seiring dengan keadilan iklim. Namun hal itu hanya mungkin apabila standar high integrity diinternalisasi dalam sistem nasional, bukan sekadar slogan. Mekanisme pasar karbon dikombinasikan dengan kebijakan pengurangan emisi langsung di sektor energi dan industri dan perlindungan hak masyarakat adat dijadikan fondasi etis setiap proyek karbon.Kepemimpinan Indonesia di arena iklim akan dinilai bukan dari jumlah dolar yang diperoleh, melainkan dari seberapa jauh negara ini mampu memperlihatkan bahwa ekonomi hijau tidak harus mengorbankan integritas ekologis dan keadilan sosial.