Mengenal Guru Dalam Karier, Profesionalisme, dan Kontroversi

Wait 5 sec.

Guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar di SDN Gotong Royong, Bandar Lampung, Lampung, Jumat (29/11/2024). Foto: Ardiansyah/ANTARA FOTODalam lanskap profesi modern, guru seharusnya tidak dipandang hanya sebagai pelaksana kurikulum, tetapi juga sebagai karier yang memiliki nilai eksistensial dan strategis bagi masa depan bangsa. Pernyataan Menteri Keuangan yang menyinggung gaji guru sebagai kelebihan anggaran APBN memicu kontroversi luas, khususnya di media sosial. Polemik ini bukan hanya soal teknis fiskal, melainkan menyentuh ranah yang lebih dalam: bagaimana negara menempatkan guru dalam kerangka profesionalisme?—apakah sebagai aktor utama pembangunan peradaban atau hanya bagian administratif dari sistem pendidikan?Pertanyaan tersebut menyingkap masalah mendasar mengenai relasi antara profesi guru dan pengakuan negara. Jika pendidikan dipahami sebagai investasi jangka panjang, penghargaan terhadap guru semestinya dimaknai sebagai tanggung jawab moral, bukan beban fiskal. Dengan demikian, isu gaji guru bukan hanya persoalan alokasi anggaran, melainkan juga refleksi dari sejauh mana negara menghargai nilai luhur pendidikan dan peran strategis guru dalam mencetak generasi yang berkualitas.Dalam konteks ini, media sosial menjadi arena diskusi yang mempertemukan idealisme dan pragmatisme. Guru dituntut untuk terus profesional—meningkatkan kompetensi, menjaga integritas, dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, pengakuan negara terhadap profesionalisme itu justru dipertanyakan ketika narasi beban anggaran lebih dominan daripada narasi penghargaan atas peran guru sebagai karier mulia dan strategis bagi kemajuan bangsa.Fenomena ini menuntun kita pada pertanyaan mendasar: Apakah guru masih dipandang sebagai karier mulia, atau sekadar beban anggaran dalam kalkulasi ekonomi sempit? Negara semestinya menempatkan pendidikan sebagai investasi jangka panjang dan bukan pos pengeluaran belaka. Tulisan ini berupaya menelusuri ketegangan antara karier, profesionalisme guru, dan bagaimana narasi kebijakan publik—seperti pernyataan Menteri—dapat membentuk atau justru mereduksi nilai luhur pendidikan.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) I Tahun 2025 di Jakarta, Jumat (24/1/2025). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTOGuru di Persimpangan: Antara Dedikasi dan Realita EkonomiSejak dulu guru dianggap sebagai profesi mulia. Dedikasi mereka tak terukur di mana mereka bukan sekadar penyampai materi, melainkan juga sebagai penggerak peradaban. Banyak guru tetap berjuang dengan segala keterbatasan: mengajar di sekolah terpencil, merogoh kocek sendiri untuk membeli spidol, bahkan meminjam uang demi biaya transportasi ke sekolah. Dedikasi itu sulit dihitung dengan kalkulator APBN.Realita Ekonomi yang MenghimpitNamun, di balik kemuliaan itu, banyak guru—terutama honorer—harus bergulat dengan masalah ekonomi. Data Badan Kepegawaian Negara (2023) menunjukkan masih banyak guru yang bertahun-tahun stagnan di level awal karier, tanpa kepastian kenaikan pangkat maupun kesejahteraan.Bahkan, di kota besar, gaji guru honorer ada yang di bawah UMK. Tak heran, sebagian guru terpaksa mencari pekerjaan sampingan: ada yang menjadi ojek online atau membuka les privat hanya untuk menutup kebutuhan sehari-hari.Polemik yang Tak Pernah UsaiKontroversi soal gaji guru sebetulnya membuka perdebatan yang lebih besar tentang bagaimana negara memandang pendidikan. Apakah guru sekadar pos anggaran yang membebani, atau investasi jangka panjang yang menentukan kualitas generasi mendatang?Masyarakat di media sosial terbagi dua: ada yang menuntut guru lebih profesional dan ada juga yang menyoroti ketidakadilan sistem yang membuat kesejahteraan mereka tertinggal.Ilustrasi guru mengajar. Foto: ShutterstockAntara Ideal dan RealitasGuru dituntut untuk selalu profesional, meningkatkan kompetensi, melek teknologi, bahkan terus mengikuti sertifikasi dan pelatihan. Namun, penghargaan struktural sering kali tidak sebanding. Paradoks ini membuat profesi guru rawan dianggap sekadar “jalan pengabdian” tanpa jaminan karier yang jelas.Jika pendidikan benar-benar dipandang sebagai investasi jangka panjang, maka menghargai guru tidak boleh berhenti pada ucapan simbolis. Mereka butuh sistem karier yang lebih adil, gaji yang layak, dan penghormatan yang sesuai dengan peran strategisnya dalam mencetak masa depan bangsa.Investasi Pendidikan yang TerabaikanPernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut gaji guru sebagai anggaran berlebih pada APBN membuka perdebatan penting. Memang, masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan profesionalisme yang ideal dan terjebak dalam gaya hidup hedonistik. Namun, menyederhanakan masalah dengan label yang kurang pantas melewatkan konteks lebih luas. Guru adalah investasi jangka panjang bangsa yang harus dihargai. Tidak hanya secara finansial, tetapi juga melalui sistem penghargaan yang adil dan berkelanjutan. Negara perlu memperbaiki sistem karier, menguatkan habitus profesional guru, dan mendorong adaptasi yang bermakna. Sebagaimana ungkap Benjamin Barber bahwa guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembentuk masa depan. Jika negara gagal menghargai mereka, maka masa depan pendidikan dan bangsa pun akan suram.