Realitas UMKM dalam Ekosistem Halal

Wait 5 sec.

Ilustrasi gambar UMKM sedang fokus mengelola usahanya dengan melayani pesanan pembeli. Sumber: ShutterstockPemerintah telah menunjukkan niat baik yang luar biasa dengan membangun berbagai fasilitas digital untuk sertifikasi halal. Dengan adanya platform seperti SIHALAL dan program fasilitasi self-declare, pintu menuju pasar halal yang lebih luas seolah terbuka lebar bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).Namun, berdasarkan pengalaman para konsultan yang setiap hari mendampingi para pengusaha di lapangan, terdapat jurang antara narasi “kemudahan” di atas kertas dan realitas yang dihadapi para pelaku usaha kecil. Banyak UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional, justru merasa proses ini masih menjadi sebuah tantangan besar. Artikel ini bukan dimaksudkan untuk mengkritik, melainkan untuk memetakan realitas tersebut agar kita bisa menavigasinya bersama.Antara Mengembangkan Usaha dan Urusan AdministratifTantangan pertama yang paling sering muncul adalah pecahnya fokus. Seorang pemilik usaha katering atau produsen kue rumahan seharusnya bisa mencurahkan seluruh energinya untuk menciptakan produk yang lezat dan mengembangkan bisnisnya. Namun, saat memasuki portal sertifikasi digital, fokus mereka terpaksa terbelah.Mereka menghadapi dilema dalam membagi waktu dan energi antara dapur dengan urusan administratif yang tidak familiar: berhadapan dengan formulir, istilah teknis, dan alur birokrasi digital yang sering kali memakan waktu. Waktu berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk melayani pelanggan atau berinovasi produk kini banyak tersita. Ini adalah beban pikiran dan waktu yang sering kali tidak terlihat dari luar. Ilustrasi perempuan pemilik UMKM. Foto: ShutterstockBiaya TersembunyiProgram self-declare yang digagas sebagai solusi cepat dan gratis adalah sebuah terobosan. Namun, dalam dunia usaha, aset yang paling mahal bukanlah sekadar modal uang, melainkan waktu dan ketenangan pikiran. Jika tidak dipahami sepenuhnya, proses mandiri ini bisa memiliki biaya tersembunyi. Kesalahan kecil dalam pengisian data atau pemahaman alur bisa berujung pada penolakan atau proses yang berlarut-larut.Bagi UMKM, penundaan seperti ini bisa berarti kehilangan momentum bisnis. Istilah “gratis” dalam biaya pendaftaran menjadi tidak ada artinya jika harus dibayar dengan waktu berbulan-bulan yang penuh ketidakpastian.Menemukan Pendamping yang TepatPemerintah telah menyediakan ribuan Pendamping Proses Produk Halal (P3H) sebagai konsultan untuk membantu pengajuan proses sertifikasi supaya memperoleh legalitas. Hal tersebut merupakan sebuah langkah positif. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa setiap UMKM itu unik. Tantangan sebuah warung makan berbeda dengan produsen keripik skala rumahan.Menemukan pendamping—yang tidak hanya paham regulasi, tetapi juga memahami alur bisnis spesifik, sabar membimbing, dan bisa menjadi rekan diskusi—adalah kunci keberhasilan. Tanpa pendamping yang "manusiawi", sertifikasi tetap terasa sebagai beban.Sistem Formal, Realitas UMKMSecara struktural, sistem sertifikasi halal kita cukup lengkap — adanya SEHATI, SIHALAL, fasilitas self-declare — serta komitmen BPJPH dalam melindungi UMK dari tekanan pasar luar negeri adalah sinyal kuat bahwa pemerintah mencoba hadir di sisi pelaku usaha.Melalui kabar yang disampaikan kumparan, Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hasan menyampaikan bahwa kuota SEHATI sebanyak satu juta sertifikat halal gratis tahun 2025 disiapkan untuk UMK agar mereka bisa memasuki pasar yang lebih luas tanpa harus terbebani biaya pengurusan sertifikasi.Ilustrasi UMKM. Foto: Kemenkop dan UKMNamun kenyataannya, banyak UMKM masih merasa proses ini melelahkan: beban dokumen yang tidak sederhana, waktu administratif yang panjang, dan ketidakpastian yang menggerus fokus dari inti usaha mereka.Wakil Ketua KADIN, Angga A. Adinegoro menyebut bahwa bagi UMKM yang tidak masuk self-declare, tetapi omzetnya belum memadai, biaya menjadi beban berat dan literasi masih rendah. Maka dari itu, mereka bingung membedakan mana ruang produksi yang syarat-syarat halalnya memadai. Namun ironisnya, di saat pelaku usaha terkecil ini berjuang demi sekadar bertahan, gambaran di tingkat makro menunjukkan potensi besar yang belum tergarap sepenuhnya.Merancang Sistem yang Memanusiakan UMKMJika pemerintah serius ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia, maka fondasinya harus dimulai dari unit terkecil: UMKM. Itu berarti merancang sebuah ekosistem yang tidak hanya efisien di atas kertas, tetapi juga manusiawi dalam praktiknya.Digitalisasi melalui SIHALAL harus benar-benar memperhatikan beban kognitif sebagai musuh utama. Edukasi harus digencarkan dengan bahasa yang membumi dan bukan sekadar jargon hukum. Skema self-declare harus disederhanakan hingga ke tahapan paling intuitif. Selain itu, peran pendamping proses produk halal harus diperkuat sebagai mitra strategis yang menemani UMKM; bukan sekadar petugas teknis.Apabila sinergisitas tersebut dapat dilakukan dengan berkesinambungan, maka pelaku usaha/UMKM kita tidak hanya akan terlindungi dari serbuan produk luar, tetapi juga merasa diberdayakan oleh sistemnya sendiri. Sertifikat halal tidak lagi menjadi selembar kertas yang diperoleh dengan keringat dalam proses yang bersifat administratif, tetapi sebagai simbol kemitraan sejati antara negara dengan denyut nadi ekonominya.