Kapal di Laut Tangkolak Karawang. Foto: Dok. IstimewaSuara mesin perahu meraung pelan, mendorong lambung kayu menjauh dari bibir pantai Dusun Tangkolak, Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, Karawang.Ombak kecil memukul-mukul badan kapal, menimbulkan bunyi berderak yang menyatu dengan angin laut utara. Bau solar dan amis ikan bercampur menjadi satu, mengiringi perjalanan pagi itu.Dari kejauhan, garis pantai Karawang tampak samar. Rerimbunan pohon mangrove pemecah ombak berbaris di daratan, berdiri kaku seolah menjaga desa nelayan yang sederhana.Di perahu, seorang lelaki paruh baya, kulit legam terbakar matahari, duduk di bangku panjang beratap terpal merah. Namanya Kartalim, 47 tahun, nelayan yang sejak kecil hidup bersama laut.“Di laut sini bukan cuma tempat cari ikan. Banyak sejarahnya,” katanya sambil menyalakan rokok kretek. Asapnya terbang terbawa angin.Sejarah yang dimaksud bukan sekadar perkara tangkapan ikan hari ini atau besok. Laut Tangkolak menyimpan dua dunia yang saling bertumpuk: Satu dunia sejarah maritim yang pernah menjadikan Karawang simpul niaga penting di pesisir utara Jawa, satu lagi dunia ekologi bawah laut yang dulu kaya terumbu karang, lalu hancur karena kerakusan manusia.Bagi orang luar, pantai Karawang mungkin tak sepopuler Pangandaran atau Karimunjawa. Garis pantainya panjang, tapi air lautnya kerap keruh karena sedimentasi; namun di kedalaman, kapal-kapal karam, pecahan keramik, koin kuno, juga bongkah karang yang jadi rumah ikan.Tangkolak boleh jadi cermin perjalanan panjang manusia pesisir. Sebelum era 2000-an, Tangkolak sempat dikenal sebagai “laut yang terkoyak”. Bongkah karang diangkut dengan truk, ikan-ikan lenyap, dan nelayan harus melaut lebih jauh demi membawa pulang tangkapan.Jalur Niaga di Masa Lampau KarawangLima abad lalu, sebelum Karawang dikenal sebagai lumbung padi, wilayah ini sudah menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan Nusantara. Letak geografis di pesisir utara Jawa menjadikannya strategis.Dalam artikel Arti Penting Situs-Situs Pelabuhan Kuna di Karawang, Jawa Barat sebagai Jalur Transportasi yang diterbitkan Purbawidya, peneliti Libra Hari Inagurasi, mencatat bahwa pantai-pantai di Karawang, termasuk Cilamaya, dahulu memiliki peran vital.Dari arah timur, kapal-kapal dari Jepara, Tuban, dan Gresik melintas. Dari barat, lalu lintas dari Sunda Kelapa, Banten, dan Malaka berlayar melewatinya.Arus Laut Jawa dikenal ganas, badai kerap menghantam kapal layar besar, membuat sebagian di antaranya karam. Tangkolak adalah salah satu titik yang menyimpan “kuburan kapal” itu. Temuan kayu kapal berusia abad ke-13, lampu kapal abad ke-19, serta fragmen keramik menguatkan dugaan tersebut.Pelabuhan kuno di Karawang berfungsi ganda. Ia bukan hanya tempat bertukar barang, tetapi juga pintu masuk budaya dan agama. Dari sinilah pengaruh Islam menyebar ke pedalaman Jawa Barat, jauh sebelum pusat-pusat Islam berdiri kokoh di Cirebon atau Banten.Ketika kapal-kapal milik Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) menguasai jalur perdagangan pada abad ke-17, Karawang tetap memainkan peran. Kapal-kapal dagang dan kapal patroli kerap melintasi laut Tangkolak. Jejak itu tersimpan di dasar laut: Bangkai kapal, pecahan guci, hingga koin perunggu.Hari ini, jejak tersebut tidak hanya menjadi bahan kajian arkeologi. Ia juga membentuk identitas Tangkolak sebagai “museum bawah laut”—tempat di mana sejarah maritim bisa dilihat, meski dengan mata selam.Masuk ke dekade 1980-1990-an, laut Tangkolak dikenal bukan karena sejarah, melainkan karena rumor “kuburan kapal” berisi harta karun.Kartalim masih kecil waktu itu, tapi ia ingat jelas. Orang-orang dari luar Karawang datang dengan kapal, menyelam berhari-hari. Mereka mencari koin kuno, guci keramik, perhiasan, apa saja yang bernilai.“Waktu itu benar-benar ramai. Semua dari kota-kota luar datang ke sini buat berburu barang antik,” ujar Kartalim.Teknik yang digunakan serampangan. Kompresor, mesin yang biasanya dipakai tukang tambal ban, dijadikan alat suplai udara. Selang panjang disambungkan ke mulut penyelam. Udara kotor tanpa regulator. Namun, dengan cara itu, mereka bisa bertahan puluhan menit di dasar laut.Kapal di Laut Tangkolak Karawang. Foto: Dok. IstimewaWarga lokal meniru. Satu kapal berisi empat orang: Dua berjaga di atas—salah satunya mengoperasikan mesin, dua lainnya menyelam dengan palu dan pahat.Hasil buruan keramik asal Tiongkok, koin VOC, serta fragmen kapal kayu seakan menjadi bukti bagaimana Karawang terhubung dengan jaringan perdagangan global.Ironisnya, mereka yang tak puas mendapatkan buruan benda peninggalan kapal juga mencungkil bongkah terumbu karang yang belakangan mereka tahu sebagai Gugusan Karang Sendulang.Bukan apa-apa, nelayan lokal dulu memandang terumbu karang bukan sebagai benteng alami laut, melainkan sebagai ladang batu hidup yang bisa dijual.“Kami congkel terumbu karang pakai pahat dan palu, ambil yang kecil-kecil, yang bagus untuk dijual,” ungkap Nanang, nelayan lain di desa tersebut.Era 1990-2000-an adalah masa paling gelap bagi terumbu karang Tangkolak. Setiap minggu, satu truk penuh bongkahan karang diangkut ke permukaan—cukup untuk dijadikan pondasi rumah di darat.“Ukuran kepalan tangan, laku tiga ribu sampai lima ribu rupiah,” ungkap Nanang Sai, nelayan lainnya di wilayah itu. “Seminggu bisa satu truk penuh. Itu bisa sampai lima ribu batu.”Perburuan masif ketika itu menghasilkan uang cepat. Ada yang menjual ke tengkulak lokal, ada pula yang masuk jalur ekspor. Namun risikonya besar. Tidak sedikit penyelam lumpuh, bahkan meninggal karena keracunan udara kompresor.Kerusakan yang berlangsung bertahun-tahun ini baru terasa dampaknya ketika hasil tangkapan ikan anjlok hingga 60 persen. Nelayan yang dulunya makmur mulai merasakan kesulitan ekonomi.Aktivitas perburuan berhenti total pada 2012, tapi kebiasaan menyelam menggunakan kompresor masih berlanjut, terutama untuk memasang bubu—alat perangkap ikan yang dirancang agar ikan masuk tapi sulit keluar.Ahli terumbu karang Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Ir. Wazir Mawardi, M.Si, dalam penelitiannya mencatat luas Gugus Terumbu Karang Sendulang di Tangkolak mencapai 4.020 hektare. Namun, sebagian besar sudah rusak akibat eksploitasi manusia.Hal itu pertama kali dia ketahui saat menyelami langsung lokasi pada tahun 2019—persis saat kawasan tersebut ditetapkan oleh Pemkab Karawang dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Museum Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).“Saya awalnya tidak pernah tahu di sekitar sana ada terumbu karang. Kondisi lautnya berbeda jauh dari pantai di Jakarta. Visibilitas saat itu rendah, hanya satu meter di dalam air, tapi ternyata masih ada karang,” ujarnya.Wazir menjelaskan bahwa sebagian terumbu karang yang tersisa adalah karang tua, yang disebut bayorok, hasil tumpukan karang lama.Beberapa bahkan menutupi artefak sejarah seperti guci yang terkubur di dasar laut, bukti bahwa laut Tangkolak bukan hanya ekosistem, tapi juga museum sejarah yang hidup. Namun, karang tua ini juga rapuh dan mudah rusak ketika manusia mencongkelnya untuk dijual atau untuk mencari harta karun.Sama halnya dengan Wazir, Komarudin, penyelam dari Dinas Perikanan Karawang, pernah turun mendokumentasikan biodiversitas di Kawasan Karang Sendulang.Dengan kamera di tangan, ia menembus kekeruhan air, merekam karang masif yang menyerupai otak, sebagian hidup, sebagian rapuh.Sesekali, ikan badut atau ikan ekor kuning muncul di celah-celah karang, seperti memberi isyarat bahwa ekosistem ini masih berdetak meski luka dan rapuh.Temuan itu lantas ia bawa ke komunitas penyelam dan dikonsultasikan dengan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).“Saya bilang ke warga, karang di sini jauh lebih berharga kalau tetap dibiarkan hidup. Bisa jadi rumah ikan, bahkan menjadi wisata,” ujarnya.Paranje di Laut Tengkolak Karawang. Foto: Dok. IstimewaSituasi ekologis di Karang Sendulang menarik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ). Mereka menawarkan jalan keluar.Pada 2022, mereka bersama warga setempat dan para peneliti IPB membentuk kelompok PAS (Pandu Alam Sendulang). Komunitas PAS memegang tiga misi: Mengembalikan habitat terumbu karang, meningkatkan hasil tangkap ikan, serta mengembangkan wisata bahari sebagai sumber penghasilan alternatif.Program konservasi yang diberi nama Otak Jawara (Orang Tua Asuh Karang di Laut Utara Jakarta dan Jawa Barat) pun dimulai—meski sebelumnya, program serupa pernah dilakukan di Pulau Biawak Indramayu pada kurun 2016 hingga 2018.PHE ONWJ menyediakan sertifikasi selam dan fasilitas. Warga yang dulu nekat menyelam dengan selang kompresor dilatih teknik dasar diving dengan tabung oksigen, memahami pentingnya dekompresi, hingga mengerti ekologi dasar.Bersama IPB dan kelompok PAS, PHE ONWJ sempat melakukan berbagai percobaan. Berbagai bentuk modul dan bahan dicoba. Tidak langsung berhasil memang, beberapa kali sempat gagal karena terhempas arus bawah laut.Kemudian setelah mendapat bentuk modul paranje yang cocok, pihaknya mencoba transplantasi karang. Upaya itu sempat gagal, banyak fragmen yang tidak tumbuh.Alhasil, mereka lebih dulu melakukan pendataan fragmen terumbu karang yang bisa tumbuh. Setelah mempatenkan modul transplantasi dan mengaplikasikannya, pihaknya melakukan berbagai pendataan habitat.ParanjeParanje di Laut Tengkolak Karawang. Foto: Dok. IstimewaModul paten ini disebut paranje, menyerupai kurungan ayam raksasa, terbuat dari campuran pasir laut dan semen.“Bobotnya cukup berat untuk menahan hempasan gelombang, namun porositas dan rongga-rongga di dalamnya menyediakan ruang bagi karang yang ditransplantasikan untuk menempel dan tumbuh,” ucap Atikah Shahab, Community Development Officer PHE ONWJ.Setiap modul memuat empat fragmen karang yang akan berkembang, bercabang, dan menutupi permukaan modul. “Modul ini lebih kokoh. Ada kaki penahan, jadi enggak mudah terguling dihantam arus,” katanya.Sejak 2022, ratusan paranje ditenggelamkan di Karang Sendulang. Setiap tahun lebih dari 100 modul rutin diturunkan.Monitoring tahunan menunjukkan dampak positif. Pertumbuhan karang berlangsung cepat: Koloni kecil yang ditanam pada 2022 kini sudah menutupi modul. Kelimpahan ikan juga meningkat signifikan.Data pada 2025 mencatat, total luasan area di Karang Sendulang yang berhasil direvitalisasi mencapai 1.700 meter persegi. Sebanyak 3.479 fragmen karang berhasil ditanam, serta kelimpahan ikan di sekitar ekosistem karang mencapai 950 ekor.Ratusan spesies ikan yang ditemui pun bervariasi, mulai dari ikan badut, ikan dori, ikan kepe, ikan kakatua, ikan sersan mayor, hingga ikan karnivora seperti tenggiri dan tuna.“Dampaknya terlihat pada tangkapan nelayan yang kembali meningkat, sehingga ikut mendongkrak ekonomi mereka,” kata Ahmad Salman Alfarisi, Associate Monitoring Pemulihan Lingkungan PHE ONWJ.Paranje di Laut Tengkolak Karawang. Foto: Dok. IstimewaDama Saputra, pemimpin kelompok Pandu Alam Sendulang (PAS), terlibat langsung dalam upaya konservasi itu.“Awalnya (karang) ukuran 6-7 sentimeter. Alhamdulillah dari awal tahun 2022 sampai sekarang udah mencakup luas. Bahkan saking gedenya karang itu pada patah semua. Jadi kami iket lagi pakai tali, dilem biar kuat,” tuturnya dengan nada bangga.Bagi Dama, karang bukan lagi sekadar batu bernilai jual. Ia melihatnya sebagai modal potensi wisata bahari.“Harapan kita, kalau terumbu karangnya udah bagus, arahnya ke wisata. Snorkeling, diving. Ada pengunjung memang, tapi belum dominan. Kita juga masih hati-hati, takut kalau karang belum jadi total, malah rusak lagi,” ujarnya.Di sisi lain, Bupati Karawang, Aep Syaepuloh, melihat geliat baru ini sebagai peluang daerah. “Selain gunung dan sawah, kami punya laut, dengan 10-11 titik terumbu karang. Tidak semua kabupaten punya kekayaan ini. Kami tengah genjot pariwisata, koordinasi dengan dinas pariwisata, Bappeda, agar tidak mubazir,” ujarnya.Aep ingin laut Karawang tidak lagi dipandang sebelah mata, melainkan menjadi destinasi bahari. Namun, ia juga menegaskan agar warga tak lengah.“Jangan tergiur apa yang belum pasti. Terumbu karang yang sudah bagus jangan dihancurkan karena ketidakpastian. Kalau rusak, ekosistem susah diperbaiki. Saya imbau masyarakat, jangan dirusak. Rugi bukan hanya kita, tapi juga generasi kita.”Karang yang dulu dihancurkan palu dan pahat, kini diikat tali agar tak patah. Yang dulu ditimbun jadi pondasi rumah, kini dijaga jadi pondasi ekosistem.Laut Tangkolak, dengan segala luka dan ceritanya, perlahan kembali menjadi rumah—bukan hanya bagi ikan, tapi juga bagi harapan manusia.