Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Presiden Prabowo Subianto melakukan perombakan atau reshuffle jilid dua di jajaran Kabinet Merah Putih. Keputusan yang paling mengejutkan publik tentu pergantian menteri ekonomi dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa.Pengamat ekonomi, Tubagus Raditya Indrajaya punya pandangan sendiri terkait pencopotan Sri Mulyani. Menurutnya, Sri Mulyani lengser bukan karena tersandung korupsi, bukan karena gagal menjaga fiskal, apalagi bukan karena APBN yang ‘bocor’. Tapi justru karena terlalu disiplin, terlalu IMF, terlalu World Bank bahkan mungkin terlalu Amerika.Di saat bersamaan, Presiden Prabowo pulang dari Beijing dengan senyum tipis dan dada tegap. Meski tak banyak bicara, presiden seperti harimau tua yang kembali dari rimba raksasa Tiongkok dan hutan salju Rusia, dengan membawa lebih dari sekadar oleh-oleh diplomatik. Ya, Prabowo seperti membawa sinyal pergeseran poros dunia.“Selama ini, posisi Indonesia dalam ekonomi global mirip tamu VIP dalam pesta IMF, dihargai, dipuji, tapi tetap disuruh cuci piring. Sri Mulyani adalah duta besar kebanggaan pesta itu. Dengan jargon defisit 3 persen, tax ratio, dan “confidence investor”, beliau menjaga citra Indonesia di mata Barat,” ujar Raditya yang akrab disapa Kang Didit.Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) bersama Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva di Amerika Serikat (Foto: Dok. Kemenkeu) Sayangnya, ‘pesta’ itu sekarang sepi seiring dengan perubahan dunia. Amerika sedang demam utang, Eropa terengah-engah, dan IMF kehilangan pamor di negara-negara Selatan. Di sisi lain, BRICS tumbuh dengan kepercayaan diri, terlihat dari Yuan, Rubel, Rupee, bahkan Real Brazil, mulai berbicara dengan bahasa baru, yakni kolaborasi tanpa kolonialisasi.“Prabowo melihat itu dan telah menjatuhkan pilihan. Tidak ada penguasa yang mengganti menteri seberat Sri Mulyani tanpa alasan besar. Publik hanya melihat reshuffle. Tapi orang dalam mengetahui kalau ini adalah ‘reset fiskal’ yang memerlukan dukungan strategis dari dua raksasa dunia, China dan Rusia,” terangnya.Dalam analisis Kang Didit, saat bertemu dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin, bisa jadi Prabowo memberi isyarat bahwa pemerintahannya ingin mengubah cara mengelola ekonomi dengan prioritas membelanjakan uang untuk rakyat.“Kami tak bisa terus dikekang aturan Washington. Apakah Anda akan mendukung saya? Dan jawaban mereka mungkin sederhana, Silakan. Kami siap bantu. Tapi keluarkan dulu ‘penjaga gerbang IMF’ itu,” begitu kira-kira dialog imajiner antara Prabowo, Xi Jinping dan Putin dalam pandangan Kang Didit.Perbedaan Ideologi Prabowo dan Sri MulyaniDia menilai, pencopotan Sri Mulyani bukan persoalan pribadi tapi sebuah tanda pergeseran ideologi ekonomi Indonesia dari austerity ke sovereign spending, dari defisit ketat ke investasi masif, dari Barat ke Timur. Karena itu, target pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan lagi slogan. Kredit murah dari China mengalir deras untuk pangan, energi, dan industri. Oligarki baru mungkin lahir, tapi kali ini bukan dari Harvard Club, melainkan dari sekolah kader Beijing dan pabrik baja Vladivostok (Poros Baru).“Kita tidak sedang membenci Sri Mulyani. Kita hanya sedang membaca perubahan zaman. Siapa pun yang mengerti sejarah tahu, ada masanya ekonom seperti Soemitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo) memikirkan hal serupa, yakni kemandirian,” tuturnya.Presiden Prabowo Subianto berdampingan dengan Vladimir Putin dan Xi Jinping. (Foto: Tim Media Prabowo) “Kini sejarah berputar. Prabowo seperti ingin menuntaskan ide lama itu, bukan dengan teori semata, tapi dengan tindakan konkret. Dan tindakan pertama itu adalah mencopot simbol rezim fiskal lama, Sri Mulyani. Jadi, selamat datang di Indonesia versi 2025. Tempat di mana geopolitik menentukan fiskal, dan pertemuan bilateral bisa mengganti menteri keuangan,” sambung Kang Didit.Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, menganggap pencopotan Sri Mulyani bukan sesuatu yang mengejutkan di saat situasi ekonomi Indonesia terus menjadi sorotan, terutama dengan meningkatnya defisit APBN serta menurunnya pendapatan perpajakan. Pasalnya, kondisi tersebut bukan hanya soal defisit, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana anggaran negara dikelola untuk memantik pertumbuhan ekonomi.“APBN seharusnya menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dengan memastikan distribusi dan alokasi anggaran yang tepat. Namun, jika APBN gagal menjalankan fungsi ini, maka kekayaan hanya akan berputar di kalangan elite tertentu tanpa memberikan dampak luas bagi perekonomian,” ungkapnya.Dia melihat sudah ada bibit ketidakcocokan antara Sri Mulyani dan Prabowo sejak ‘audisi’ calon menteri di kediaman Prabowo, terutama terkait kebijakan fiskal. Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah gagasan pembentukan Internal Revenue Services (IRS), yang tidak mendapatkan dukungan penuh.“Saat itu, begitu keluar dari rumah Prabowo di Kertanegara, Sri Mulyani langsung menyatakan tidak ada badan penerima negara. Itu kan menunjukkan dia nggak terima gagasan berdirinya Internal Revenue Services,” jelasnya.Ekonom INDEF, Ariyo Irhamna juga menyebut bahwa perbedaan ideologis menjadi alasan utama dibalik perubahan posisi menteri keuangan. Selama ini, Sri Mulyani dianggap cenderung lebih fokus pada mekanisme pasar dan meminimalkan peran pemerintah. Sementara Presiden Prabowo menginginkan peran aktif pemerintah melalui instrumen fiskal, pembiayaan, dan penguatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).“Pergantian menteri keuangan ini menjadi langkah konsisten untuk memastikan kebijakan fiskal sejalan dengan visi pembangunan nasional yang inklusif dan berdaulat seperti diharapkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” tandasnya.