Dari Becak Konvensional ke Becak Listrik: Cerita Magang di Setda Kota Yogyakarta

Wait 5 sec.

Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya sekaligus kota wisata yang lekat dengan identitas transportasi tradisionalnya, salah satunya becak. Selama puluhan tahun, becak menjadi moda transportasi rakyat yang tidak hanya fungsional, tetapi juga ikonik. Namun, di tengah perkembangan zaman dan kebutuhan akan transportasi ramah lingkungan, muncul gagasan untuk mengonversi becak konvensional menjadi becak listrik.Sebagai mahasiswa yang berkesempatan melakukan magang di Bagian Perekonomian dan Kerja Sama Sekretariat Daerah Setda Kota Yogyakarta, saya mendapat pengalaman langsung dalam mengkaji dan menyusun business plan terkait konversi ini. Kegiatan magang tidak hanya memberi kesempatan belajar tentang dinamika pemerintahan, tetapi juga melibatkan saya dalam proses perencanaan ekonomi berbasis inovasi.Bagian Perekonomian dan Kerja Sama Setda Kota Yogyakarta. Foto: Dokumentasi Pribadi. Ada banyak alasan mengapa konversi becak listrik menjadi sebuah isu penting di Yogyakarta. Pertama, dari sisi lingkungan. Becak listrik jelas lebih ramah karena hampir tanpa emisi, berbeda dengan becak motor atau kendaraan bermotor lainnya. Kedua, dari sisi kesejahteraan pengemudi. Motor listrik membuat kayuhan menjadi lebih ringan sehingga mereka tidak lagi terlalu mengandalkan tenaga fisik. Hasilnya, pengemudi menjadi lebih sehat dan lebih produktif.Selain itu, pariwisata Yogyakarta juga bisa ikut naik kelas. Becak listrik memberi sentuhan modern tanpa menghilangkan kearifan lokal dan membuat pengalaman wisata terasa lebih unik dan berkesan. Tak kalah penting, dari sisi ekonomi lokal, konversi ini membuka peluang baru—mulai dari bengkel konversi, penyewaan, hingga bisnis perawatan becak listrik.Selama menjalani magang di Bagian Perekonomian dan Kerja Sama Setda Kota Yogyakarta, saya ikut terlibat dalam penyusunan business plan konversi becak konvensional menjadi becak listrik. Prosesnya cukup menarik karena melibatkan lima aspek di dalamnya. Puluhan becak listrik dengan penguat tenaga alternatif mulai uji coba beroperasi di Kota Yogyakarta saat libur Lebaran ini, Senin (8/4/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparanAspek pertama, analisis pasar: menghitung berapa banyak jumlah becak aktif di Yogyakarta, siapa saja pengguna jasa utamanya, dan bagaimana tren wisata ramah lingkungan bisa menjadi daya tarik baru. Aspek kedua, analisis finansial: menghitung biaya konversi per unit, menimbang skema pembiayaan, apakah lewat sewa, cicilan, atau subsidi, serta memperkirakan return on investment (ROI).Aspek ketiga, model bisnis: membuat Business Model Canvas (BMC) yang memetakan peran pemerintah, investor, bengkel konversi, hingga komunitas pengemudi becak. Aspek keempat, strategi implementasi: menyusun tahap konversi yang dimulai dari pilot project beberapa unit becak listrik sebelum diperluas secara bertahap. Aspek terakhir, dampak sosial ekonomi: mengukur bagaimana konversi ini bisa langsung membantu pengemudi, mengurangi polusi, sekaligus memperkuat daya tarik wisata Yogyakarta.Pengalaman ini membuka mata saya bahwa membuat business plan di sektor publik tidak bisa hanya melihat angka, tetapi terdapat nilai sosial, budaya, dan lingkungan yang harus jalan beriringan. Pemerintah daerah berperan besar sebagai fasilitator dan katalisator; memastikan bahwa inovasi bisa benar-benar menyentuh masyarakat.Bagi saya, terlibat dalam proyek konversi becak ini menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk menghadirkan solusi nyata. Becak listrik bukan sekadar teknologi baru, tetapi simbol transformasi ekonomi hijau yang sedang digerakkan di Yogyakarta.