Potret Perempuan Afrika dalam Sastra Djaili Amadou Amal

Wait 5 sec.

Novel Para Perampang (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)“Munyal, Munyal”Buku Para Perampang dibuka dengan kata tersebut, berkali-kali pula kata tersebut diucapkan dalam buku ini. Munyal berarti sabar dalam bahasa Fulani di Kamerun. Munyal diucapkan kepada tiga tokoh utama dalam buku ini yakni Ramla, Hidou dan juga Safira, untuk mengingatkan mereka agar selalu bersabar dan menerima nasibnya, seberat apa pun penderitaan yang dialami.Novel karya Djaili Amadou Amal ini mengisahkan kehidupan tiga perempuan dengan perspektif yang berbeda.Pertama adalah Ramla, seorang gadis berusia 17 tahun yang bercita-cita untuk dapat sekolah setinggi-tingginya agar ia dapat menjadi Farmakolog namun impiannya harus pupus ketika ia dinikahkan dan menjadi istri kedua dari seorang lelaki paruh baya.Kedua adalah Hindou, adik dari Ramla. Ia dinikahkan di hari yang sama dengan Ramla. Bedanya, Hindou menikahi sepupunya sendiri. Setelah menikah, ia kerap menjadi korban kekerasan oleh suaminya. Ia dipukuli dan juga dirudapaksa. Ironisnya, setiap Hindou mengadukan nasibnya kepada keluarganya, ia justru dicambuk oleh sang ayah karena dianggap sebagai istri yang kurang ajar.Terakhir adalah Safira, ia adalah madu dari Ramla. Dari kisahnya, kita belajar bagaimana perempuan kerap dijadikan musuh bagi perempuan lain dalam sistem poligami, meski akar masalahnya sesungguhnya terletak pada kuasa laki-laki dan struktur patriarki.Kisah ketiganya adalah potret getir tentang perempuan-perempuan di Afrika yang kerap diminta untuk “Munyal”, bersabar, tanpa pilihan lain.Djaili Amadou Amal adalah seorang penulis asal Kamerun. Selain aktif sebagai penulis, Amal juga dikenal sebagai aktivis yang kerap menyuarakan isu-isu perempuan, khususnya terkait pernikahan paksa, poligami, kekerasan domestik hingga tradisi patriarki di Afrika. Sehingga tidak mengherankan jika beberapa karyanya mengangkat isu-isu perempuan di Afrika.Realitas di Afrika menunjukkan bahwa pernikahan anak masih menjadi persoalan besar. Berdasarkan data dari UNICEF pada tahun 2021, Di Sub-Sahara Afrika, rata-rata 54% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dengan prevalensi tertinggi di negara-negara seperti Niger (81,7%), Chad (77,9%), dan Mali (69%).Di Afrika Barat dan Tengah, sekitar 41% anak perempuan dinikahkan sebelum usia 18 tahun, menjadikannya wilayah dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia.Di Afrika Timur dan Selatan, prevalensinya sekitar 1 dari 3 perempuan muda.UNICEF bahkan memperingatkan bahwa jumlah pernikahan anak di Afrika bisa mencapai 310 juta pada tahun 2050 jika tren saat ini tidak berubah (UNICEF, Child Marriage Data, 2021).Data tersebut memperlihatkan bahwa kisah Ramla bukanlah sekadar cerita fiksi. Ia adalah representasi nyata dari jutaan anak perempuan Afrika yang dipaksa meninggalkan bangku sekolah dan impiannya, lalu masuk ke dalam pernikahan dini yang sarat ketidakadilan.Selain pernikahan anak, kasus kekerasan domestik seperti yang dialami oleh Hindou dalam novel ini, merefleksikan kenyataan pahit di Afrika. Menurut WHO (2021), Afrika memiliki prevalensi kekerasan pasangan intim tertinggi di dunia, yaitu sekitar 33–51% perempuan pernah mengalami kekerasan dari pasangannya. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang berada di kisaran 27% (WHO, Violence Against Women Prevalence Estimates, 2021).Faktor-faktor seperti budaya patriarki hingga lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan memperburuk kondisi ini.Oleh karenanya, novel ini lebih dari sekadar karya sastra yang memenangkan penghargaan prestisius seperti Prix Goncourt des Lycéens. Novel ini menyuarakan penderitaan perempuan-perempuan di Afrika sekaligus mengajak pembacanya untuk merenung, sampai kapan kata sabar dijadikan alasan untuk menormalisasi penderitaan yang dialami oleh perempuan di Afrika?