Simbol Solidaritas (foto: Jacob Wackerhausen/istockphoto)Kita sering mengira demonstrasi adalah letupan emosi sesaat. Padahal, ia adalah proses komunikasi yang berlapis: siapa berkata apa, kepada siapa, dengan cara apa, dan bagaimana semua itu dipantulkan kembali oleh media, aparat, dan publik. Dalam kacamata autopoiesis ala Niklas Luhmann, masyarakat bukan sekadar kumpulan individu, melainkan jejaring komunikasi yang mereproduksi dirinya sendiri. Krisis terjadi ketika jejaring itu memusatkan perhatian pada tema tertentu, mengulanginya, menegaskannya, lalu mengubah arah makna yang beredar.Kasus demonstrasi besar di akhir Agustus 2025 menunjukkan hal ini dengan gamblang. Isu awal yang teknokratis tentang fasilitas dan tunjangan berubah cepat menjadi krisis legitimasi. Di jalan, di ruang redaksi, di platform digital—komunikasi saling memantul dan memperkuat. Visual kekerasan, headline yang menekankan keamanan, komentar warga yang bernada marah: semuanya menjadi bahan bakar bagi produksi makna berikutnya. Sistem sosial pun merespons—pernyataan resmi, koreksi kebijakan, penegakan ketertiban—sebagai upaya menstabilkan identitasnya di hadapan publik.Agar tidak jatuh pada narasi melingkar (“krisis menimbulkan krisis”), kita perlu memetakan mekanisme lima tahap. Pertama, pemicu: keputusan atau wacana kebijakan yang dinilai melukai rasa keadilan. Kedua, amplifikasi: media arus utama menyusun bingkai, media sosial menambah daya sebar melalui visual dramatis dan ekonomi emosi. Ketiga, pergeseran makna: dari isu fasilitas bergeser ke soal kepercayaan pada negara; tafsir moral bertemu sentimen ketidakadilan. Keempat, respons institusional: klarifikasi, peninjauan ulang kebijakan, hingga penertiban di lapangan. Kelima, umpan balik legitimasi: apakah kepercayaan pulih, atau justru muncul defisit baru yang menunggu pemicu berikutnya.Di titik ini, kebudiluhuran penting bukan sebagai slogan moral, melainkan sebagai kriteria seleksi makna yang dilembagakan. Nilai luhur—anti-adigang, adigung, adiguna; andap asor; memayu hayuning bawana—baru berdampak bila hadir sebagai prosedur komunikasi: protokol dialogis sebelum, saat, dan sesudah aksi; pedoman pemberitaan yang menempatkan martabat warga setara dengan kebutuhan keamanan; tata tutur pejabat yang menghindari diksi yang memicu rasa direndahkan. Tanpa pelembagaan, seruan “jaga ketertiban” mudah kalah oleh logika spiral aksi-reaksi.Autopoiesis mengingatkan kita: hanya komunikasi yang dapat melanjutkan komunikasi. Karena itu, “pemulihan ketertiban” tak cukup didefinisikan sebagai penghentian kerumunan, melainkan pembukaan kanal-kanal komunikasi yang menghadirkan rasa didengar dan dihormati. Leksikon kebijakan yang jelas, mekanisme keberatan yang mudah diakses, ruang mediasi yang transparan—ini semua adalah cara konkret menanamkan kebudiluhuran ke dalam operasi sistem politik, hukum, dan media.Ada yang berkeberatan: bukankah nilai moral bersifat pribadi, bukan urusan sistem? Justru sebaliknya. Nilai menjadi publik ketika diterjemahkan ke aturan main. Kita tidak menuntut semua orang seragam secara batiniah; yang kita perlukan adalah infrastruktur komunikasi yang membuat tutur santun, penghargaan pada martabat, dan anti-kekerasan menjadi pilihan rasional—karena prosedurnya disiapkan, insentifnya jelas, dan sanksinya tegas.Mahasiswa Universitas Riau (Unri) kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Riau, Senin (1/9/2025). Foto: kumparanDari demonstrasi Agustus 2025, pelajaran besarnya adalah ini: krisis bukan sekadar benturan kehendak, melainkan kompetisi produksi makna. Pemerintah, media, aktivis, warganet—semuanya agen komunikatif. Ketika makna yang dominan hanya berporos pada “siapa menang–siapa kalah”, kita masuk ke lingkaran pendek kekuasaan. Saat makna bergeser ke “bagaimana kita memperbaiki tata kelola dan saling menghormati”, kita membuka lingkaran panjang perbaikan.Apa yang perlu dilakukan? Pertama, standardisasi protokol dialog krisis lintas lembaga—sebelum terjadi eskalasi. Kedua, pedoman bahasa publik untuk pejabat dan juru bicara yang mengutamakan klaritas, empati, dan akuntabilitas. Ketiga, pedoman pemberitaan krisis yang menyeimbangkan kepentingan keselamatan dengan hak publik atas informasi—tanpa sensasionalisme. Keempat, jalur pengaduan dan evaluasi kebijakan yang cepat, terbuka, dan terukur. Inilah bentuk operasional kebudiluhuran di abad digital.Krisis akan datang lagi; itu sifat masyarakat kompleks. Namun jika kebudiluhuran kita tanam sebagai investasi emosi, bukan sekadar ajakan moral, maka setiap guncangan menjadi kesempatan mematangkan demokrasi, bukan meretakkannya. Pada akhirnya, masyarakat yang dewasa bukan masyarakat tanpa konflik, melainkan masyarakat yang membangun cara berkomunikasi yang menjaga martabat, mengelola perbedaan, dan menata ulang makna secara etis.