Ilustrasi bendera Indonesia dan Palestina berkibar berdampingan. em_concepts/Shutterstock● Prabowo pernah sebut akan mengakui Israel dan tidak menyebut yang terjadi di Gaza sebagai genosida.● Gestur diplomatik Prabowo menunjukkan indikasi pergeseran sikap Indonesia terhadap konflik Israel dan Palestina.● Sesedikit apapun perubahan posisi Indonesia terhadap Palestina akan membawa risiko besar.Prabowo sudah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan pertanyaan terkait sikapnya terhadap Gaza.Dalam pidatonya di rangkaian Sidang Umum PBB (22 September 2025), Prabowo tidak menyebut istilah genosida saat menyinggung Gaza. Ia mengungkapkan solusi dua negara dan menyatakan penderitaan warga sipil, tetapi tanpa mengecam langsung aksi militer Israel.Prabowo juga pernah menyatakan bahwa Indonesia hanya akan mengakui Israel jika Israel terlebih dahulu mengakui kedaulatan Palestina. Bulan lalu, Prabowo sempat mengusulkan penampungan pengungsi Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau, sebagai solusi darurat dan sementara.Dari gestur diplomatik Prabowo, tampaknya ia hendak menavigasi pergeseran sikap terhadap agresi Israel ke Palestina.Sikap ini mencerminkan logika dua kaki kebijakan luar negeri Indonesia. Ini tentu akan membawa implikasi bagi identitas politik dan posisi Indonesia di mata internasional.Negosiasi dua kaki: Ke luar dan ke dalamTeori diplomasi internasional mengemukakan bahwa para pemimpin nasional beroperasi pada dua tingkat secara bersamaan. Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai atas Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara yang digelar di Gedung Majelis Umum PBB, New York, Amerika Serikat, pada Senin, 22 September 2025. Biro Pers Sekretariat Presiden, CC BY Di tingkat internasional, para pemimpin bernegosiasi dengan negara lain untuk memajukan kepentingan nasional. Sementara di tingkat domestik, mereka harus mendapatkan dukungan politik dari konstituen untuk melegitimasi dan melaksanakan komitmen kebijakan luar negeri apa pun. Oleh karena itu, keberhasilan diplomasi bergantung pada kemampuan pemimpin menjembatani kedua arena ini.Di tingkat internasional: Mulai terbuka dengan IsraelPidato Prabowo sangat sesuai dengan kerangka negosiasi dua tingkat tersebut.Di tingkat internasional, ia memberi sinyal kepada aktor eksternal—terutama Amerika Serikat (AS), negara-negara Teluk, Uni Eropa, dan Israel sendiri—bahwa Indonesia mungkin terbuka untuk menyesuaikan posisinya terhadap Israel.Sinyal ini datang saat negara-negara Arab kunci, termasuk Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan berpotensi Arab Saudi, juga telah bergerak menuju normalisasi dengan Israel melalui Perjanjian Abraham atau diplomasi di balik layar.Keterbukaan bersyarat Prabowo seakan menandai bahwa Indonesia tidak ingin terisolasi secara diplomatik dalam dunia Muslim, tapi enggan terlihat kaku atau tidak bergerak secara ideologis.Namun, kondisi internasional juga berkembang ke arah yang berlawanan.Kala beberapa pemerintah Arab menjadi lebih pragmatis dalam berinteraksi dengan Israel, banyak negara Barat mulai menjauhkan diri secara publik. Sejak pecahnya konflik di Gaza pada 2023, sejumlah negara seperti Irlandia, Norwegia, dan Spanyol telah mengakui Negara Palestina. Gelombang dukungan ini terus meluas—hingga kini, semakin banyak negara termasuk Inggris, Australia, dan Kanada yang memberikan pengakuan resmi. Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Utusan Khusus Presiden Palestina di Istana Negara, Jakarta. Cahyo/Biro Pers Sekretariat Presiden, CC BY Bersamaan dengan itu, kritik terhadap kebijakan Israel di wilayah pendudukan kian menguat di Eropa, sementara di AS, perdebatan mengenai dukungan tanpa syarat terhadap Israel semakin intensif, baik di Kongres maupun di kalangan masyarakat sipil.Pernyataan bersyarat Prabowo mungkin juga dirancang untuk menjaga kredibilitas dengan koalisi negara yang lebih luas, yang bersimpati dengan perjuangan Palestina.Di level domestik: Ingin tetap bela PalestinaDi tingkat domestik, perhitungan politiknya sangat berbeda. Opini publik Indonesia tetap mendukung kuat Palestina. Prabowo tidak akan mampu menawarkan pengakuan tanpa syarat terhadap Israel tanpa memicu reaksi politik. Dengan menyatakan secara publik bahwa Israel harus terlebih dahulu mengakui kedaulatan Palestina, ia secara efektif mempersempit ruang untuk salah tafsir, mengelola ekspektasi publik, dan mencoba memelihara basis politiknya.Kendati begitu, Dalam istilah Putnam, “kumpulan kemenangan” (win-set) domestik—rentang hasil kebijakan yang dapat diterima oleh konstituen domestik—ini cukup sempit.Prabowo memberikan sinyal fleksibilitas di luar negeri sambil seakan memastikan bahwa setiap perubahan kebijakan tetap dapat diterima di dalam negeri. Dalam pengertian ini, kendala domestik menjadi sumber daya diplomatik. Landasan konstitusional dan ideologisKebijakan luar negeri Indonesia telah lama mengacu pada Pembukaan UUD 1945 bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa.” Ini menegaskan posisi diplomatik Indonesia, yaitu menjunjung keadilan global, antikolonialisme, dan antiimperialisme.Sejak pemerintahan Sukarno hingga periode demokrasi saat ini, Indonesia konsisten mendukung perjuangan Palestina sebagai kewajiban moral dan konstitusional.Pernyataan Prabowo memang tidak bisa dibilang pembalikan prinsip, melainkan merumuskan kembali posisi Indonesia dalam istilah bersyarat. Demonstrasi massa dalam aksi akbar bela Palestina di Monas, Jakarta, pada 5 November 2023. Hippy Hicup/Shutterstock Dengan mensyaratkan agar Israel terlebih dahulu mengakui kedaulatan Palestina, ia mempertahankan cita-cita konstitusional terkait penentuan nasib sendiri sambil tetap membuka kemungkinan keterlibatan di masa depan.Namun, sikap tersebut juga berisiko merusak komitmen konstitusional Indonesia terhadap dekolonisasi.Sebab, keterlibatan diplomatik yang terlalu dini dengan Israel—yang secara luas dipandang sebagai kekuatan pendudukan atas wilayah Palestina—dapat dianggap sebagai bentuk legitimasi terhadap status quo kolonial. Hal ini berpotensi melemahkan posisi prinsipil Indonesia di berbagai forum internasional, terutama di mata negara-negara Selatan Global yang masih memandang Palestina sebagai simbol perjuangan anti-kolonial.Risiko domestikPalestina menjadi isu internasional besar yang mampu memobilisasi keterlibatan masyarakat sipil secara signifikan, mulai dari demonstrasi dan kampanye penggalangan dana hingga aktivisme media sosial dan ekspresi solidaritas. Ini terjadi di Indonesia.Dukungan publik untuk Palestina tidak terbatas pada organisasi Islam, tetapi melintasi perbedaan ideologis, agama, dan generasi. Dukungan datang dari tokoh nasionalis, kelompok mahasiswa, masyarakat sipil sekuler, dan bahkan sebagian komunitas bisnis. Bagi banyak masyarakat Indonesia, solidaritas dengan Palestina bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang keadilan, penentuan nasib sendiri, dan perlawanan terhadap penindasan—tema yang sangat mengakar dalam pengalaman nasional Indonesia sendiri.Akibatnya, setiap perubahan posisi Indonesia membawa risiko politik yang nyata.Prabowo harus mempertimbangkan tidak hanya posisi diplomatik Indonesia, tetapi juga respons domestik. Jika dia dianggap mengurangi dukungan untuk Palestina atau terlihat terlalu dekat dengan Israel, itu bisa merusak kredibilitasnya.Presiden-presiden sebelumnya telah menggaungkan dukungan kenegaraan terhadap Palestina, tetapi biasanya tanpa secara eksplisit menghubungkannya dengan pengakuan terhadap Israel. Seorang perempuan memegang spanduk slogan Boikot Israel dalam Aksi Bela Palestina di Monas, Jakarta, pada 5 November 2023. Poetra.RH/Shutterstock Kesalahan langkah terkait Palestina bisa membawa konsekuensi dan risiko politik yang besar bagi Prabowo.Di Global South, Indonesia dikenal konsisten menjunjung prinsip-prinsip antikolonial dan dipandang sebagai pemimpin dunia nonblok. Pergeseran sikap oleh Prabowo, meskipun bersifat retoris, dapat merusak otoritas moral itu.Persimpangan identitasPernyataan Prabowo tentang pengakuan bersyarat terhadap Israel dan keenganannya menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai genosida menunjukkan lebih dari sekadar pernyataan kebijakan luar negeri.Ini adalah sinyal strategis yang berada di persimpangan antara identitas konstitusional, politik dalam negeri, dan diplomasi internasional.Prabowo seakan ingin menunjukkan bahwa Indonesia itu fleksibel dan mau mengikuti perubahan internasional—tanpa menyertakan sikap konkret.Ini adalah permainan dua kaki: merespons pergeseran internasional sambil tetap mencoba berakar kuat pada legitimasi domestik.Dengan kata lain, kemampuan Prabowo untuk mengelola kekuatan sejarah, identitas, dan opini publik yang dapat memengaruhi citra Indonesia di dunia, tengah diuji saat ini.Azifah Astrina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.