https://www.istockphoto.com/idGenerasi Z, mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012, kini tidak lagi hanya menjadi penonton dalam panggung politik. Dengan jumlah yang besar, kelompok ini telah berubah menjadi penentu arah politik Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kelompok usia 15–24 tahun berjumlah puluhan juta jiwa. Pada Pemilu 2024, suara mereka terbukti menentukan, bahkan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi hasil akhir.Populi Center dan kajian CSIS menegaskan bahwa pemilih muda, terutama Generasi Z, tidak lagi bisa dipandang sebagai massa homogen yang mudah diarahkan. Mereka menunjukkan pola politik yang unik, adaptif terhadap saluran kampanye digital seperti live streaming, video pendek di TikTok, hingga diskusi interaktif di YouTube. Figur influencer politik, mulai dari konten kreator independen hingga selebgram populer, seringkali lebih dipercaya dibanding juru kampanye resmi partai. Namun, di balik keterbukaan pada medium baru ini, Gen Z juga memperlihatkan sikap kritis dan skeptis terhadap elite politik lama yang dianggap lamban, elitis, dan jauh dari aspirasi muda. Mereka menuntut kecepatan, transparansi, komunikasi yang autentik, serta kebijakan nyata yang langsung menyentuh persoalan lapangan kerja, biaya hidup, dan masa depan lingkungan.Fenomena ini selaras dengan teori generational replacement, yang menegaskan bahwa nilai dan orientasi politik masyarakat akan bergeser seiring pergantian generasi. Gen Z lahir dan tumbuh dalam konteks sejarah yang berbeda, era digital yang serba cepat, krisis iklim yang mengancam masa depan, serta ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi. Kondisi ini membuat orientasi politik mereka jauh lebih cair, fleksibel, dan tidak terikat pada ideologi klasik atau patronase lama. Alih-alih hanya terfokus pada isu lokal, pandangan politik Gen Z juga banyak dipengaruhi faktor global, mulai dari gerakan iklim internasional, wacana kesetaraan, hingga akses ke narasi lintas negara melalui internet.Dalam konteks pemilu, Generasi Z telah membuka babak baru dalam praktik kampanye politik di Indonesia. Mereka terbiasa mengonsumsi informasi secara cepat, visual, dan interaktif melalui media sosial, sehingga strategi kampanye yang berhasil adalah yang mampu menghadirkan pesan politik dalam bentuk konten singkat, viral, dan mudah dibagikan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi arena utama, di mana narasi dibangun bukan lewat pidato panjang, melainkan melalui potongan video, meme, atau siaran langsung yang terasa personal. Kehadiran influencer atau key opinion leader juga memainkan peran penting dalam membentuk opini dan preferensi politik Gen Z. Karena itu, partai politik yang masih mengandalkan pola komunikasi konvensional, seperti baliho atau orasi massal, berisiko kehilangan koneksi dengan kelompok pemilih ini. Tanpa memahami dinamika digital tersebut, elite politik akan kehilangan basis dukungan signifikan dari salah satu segmen pemilih terbesar dan paling berpengaruh.https://www.istockphoto.com/idKondisi Ekonomi sebagai Pemicu Orientasi Sosial BaruMomentum politik Gen Z tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial ekonomi yang mereka hadapi. Lulusan baru sekolah menengah maupun perguruan tinggi berhadapan dengan realitas pasar tenaga kerja yang penuh persaingan. Tingkat pengangguran terbuka di kelompok usia muda masih tinggi. Sementara itu, upah riil stagnan, dan biaya hidup di kota-kota besar semakin menekan. Kondisi ini melahirkan keresahan. Banyak anak muda merasa sulit mendapatkan pekerjaan layak, apalagi yang sesuai dengan latar belakang pendidikan. Tidak mengherankan, survei-survei menunjukkan isu lapangan kerja menjadi prioritas utama Gen Z ketika menilai kinerja pemerintah atau memilih kandidat politik.Namun, persoalan yang dihadapi Gen Z tidak berhenti pada dimensi ekonomi semata. Mereka juga sangat vokal menyuarakan isu-isu yang selama ini kurang mendapat perhatian serius dari generasi sebelumnya, seperti akses pendidikan yang merata, kesehatan mental yang terjamin, perlindungan lingkungan hidup, serta kesetaraan gender maupun kesempatan kerja. Teori post-materialist yang diperkenalkan Ronald Inglehart memberikan kerangka analisis yang relevan, ketika generasi muda merasa masa depannya terancam oleh berbagai krisis, tuntutan mereka bergeser dari sekadar pemenuhan kebutuhan material menuju agenda sosial yang lebih luas dan mendasar. Bagi Gen Z, politik tidak cukup hanya bicara soal angka pertumbuhan ekonomi, melainkan juga menciptakan ruang aman di dunia digital, membuka kanal partisipasi politik yang nyata dan inklusif, serta mendorong kebijakan iklim jangka panjang demi keberlanjutan hidup. Dengan demikian, aspirasi mereka mencerminkan paradigma baru dalam politik kontemporer yang lebih progresif dan global.Kegelisahan ekonomi yang bercampur dengan tuntutan sosial inilah yang mendorong Gen Z aktif menyuarakan aspirasi, baik di jalanan maupun di dunia maya. Demo besar Agustus 2025 misalnya, memperlihatkan kehadiran pelajar SMA dan STM di barisan depan bersama mahasiswa. Fenomena ini menandai bahwa kesadaran politik Gen Z lahir dari realitas sehari-hari yang penuh tekanan, bukan sekadar dorongan idealisme. Partai politik dan pemerintah sering gagal menjawab kegelisahan ini. Program kerja yang hanya berbasis angka atau jargon tidak cukup. Gen Z menginginkan komunikasi yang autentik dan kebijakan yang konkret. Ruang kosong ini dengan cepat diisi aktor non tradisional, influencer, komunitas digital, hingga gerakan sosial berbasis platform.https://www.istockphoto.com/idGen Z di Tengah Arus Geopolitik GlobalMomentum politik Gen Z di Indonesia juga tidak terlepas dari dinamika global. Di banyak negara, generasi muda menjadi motor gerakan pro demokrasi, pro lingkungan, hingga anti korupsi. Gen Z terhubung secara digital, belajar dari pola mobilisasi di luar negeri, dan mengadaptasinya dalam konteks lokal.Dalam konteks geopolitik, Gen Z Indonesia menghadapi tantangan ganda. Pertama, mereka hidup di era persaingan kekuatan global yang memengaruhi langsung kehidupan sehari-hari, harga pangan, energi, hingga peluang kerja. Kedua, mereka menyerap narasi global tentang iklim, hak asasi manusia, dan keadilan digital. Laporan internasional 2025 mencatat bahwa di berbagai belahan dunia, gerakan Gen Z mampu memaksa pemerintah meninjau ulang kebijakan. Pola ini mulai terlihat di Indonesia, di mana suara anak muda menjadi tekanan politik yang tidak bisa diabaikan.Teori political opportunity structure membantu menjelaskan fenomena politik generasi muda. Ketika muncul celah institusional atau kebijakan kontroversial, kelompok muda segera memanfaatkannya untuk menekan pemerintah. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang bergantung pada organisasi formal, Gen Z lebih luwes memanfaatkan media sosial sebagai instrumen mobilisasi. Platform digital memungkinkan mereka menyebarkan gagasan, membangun solidaritas lintas wilayah, serta memperbesar gaung suara dengan biaya rendah namun daya jangkau luas. Isu yang awalnya terbatas dapat dengan cepat berubah menjadi perbincangan nasional, bahkan global. Contoh nyata terlihat pada demonstrasi Agustus 2025, ketika pelajar SMA dan STM turun ke jalan bersama mahasiswa untuk memprotes kebijakan pendidikan yang dinilai diskriminatif. Aksi tersebut berawal dari unggahan viral di TikTok dan X (Twitter), lalu berkembang menjadi gelombang protes yang memaksa pemerintah memberi respons lebih cepat.Indonesia harus berhitung, jika aspirasi Gen Z terus diabaikan, mereka bisa menjadi kekuatan oposisi jalanan yang tidak terkendali. Sebaliknya, jika diberi ruang partisipasi nyata, Gen Z berpotensi menjadi motor pembaruan demokrasi dan daya saing global.Menjembatani Momentum ke Arah Demokrasi SehatFenomena politik Gen Z membawa sejumlah implikasi praktis. Pertama, partai politik harus membuka ruang partisipasi generasi muda, bukan hanya menjadikannya alat kampanye. Forum deliberasi digital, inkubasi kebijakan berbasis riset, dan perwakilan nyata di kepengurusan partai harus disediakan. Kedua, pemerintah perlu merumuskan kebijakan ekonomi yang langsung menjawab kebutuhan generasi ini, penciptaan lapangan kerja, program magang yang relevan, dukungan kewirausahaan digital, hingga perlindungan sosial untuk pekerja informal. Ketiga, literasi digital harus diperkuat. Gen Z hidup dalam banjir informasi, rawan disinformasi, dan manipulasi politik. Transparansi iklan politik, perlindungan data pribadi, serta pendidikan literasi media menjadi agenda mendesak.Keempat, diplomasi publik perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dipahami Gen Z. Kebijakan luar negeri tidak bisa hanya dibahas dalam forum elite, tetapi harus dijelaskan bagaimana berdampak pada kehidupan mereka, dari harga BBM, akses teknologi, hingga peluang kerja global. Kelima, perlu ada jalur transisi dari aktivisme ke kepemimpinan. Gen Z sudah terbukti mampu memobilisasi massa, tetapi energi itu harus masuk ke institusi formal agar tidak berhenti di jalanan. Kuota representasi, pelatihan kepemimpinan, dan ruang kaderisasi bisa menjadi jembatan.Pada akhirnya, momentum politik Gen Z bukanlah fenomena sesaat. Ia adalah realitas baru yang akan terus membentuk arah politik, ekonomi, dan sosial Indonesia. Pertanyaannya, apakah negara dan elite politik siap mengelola energi ini menjadi kekuatan konstruktif, atau justru membiarkannya menjadi arus kritis yang tak terkendali?