Palestina Diakui, Amerika Menahan Diri?

Wait 5 sec.

Protes dukung negara Palestina di New York. (Sumber: Hugo Breyer, under the Unsplash License)Gelombang baru pengakuan terhadap Negara Palestina datang dari Inggris, Australia, Kanada, dan Portugal. Keempat negara itu, dengan lantang, menyatakan dukungan resmi atas hak rakyat Palestina untuk memiliki negara merdeka. Sikap ini bukan sekadar simbol politik, tetapi juga pesan keras bahwa dunia lelah melihat konflik tanpa ujung di Gaza dan Tepi Barat.The New York Times berjudul “Britain, Australia, Canada and Portugal Recognize a Palestinian State” oleh Mark Landler, 21 September 2025, menulis bagaimana langkah Inggris dan kawan-kawan muncul tepat menjelang Sidang Umum PBB. Artikel itu menyoroti bagaimana pengakuan ini memberi tekanan diplomatik pada Israel dan mempermalukan Amerika Serikat yang tetap menahan diri. Analisis Landler memperlihatkan bahwa mayoritas anggota PBB, sekitar 150 negara, sudah lebih dulu mengakui Palestina, sehingga kini sulit bagi Israel untuk terus menolak realitas politik yang ada.Dari perspektif pro-Palestina, pengakuan negara oleh negara-negara Barat besar adalah koreksi moral. Palestina selama puluhan tahun hidup di bawah bayang-bayang pendudukan dan blokade. Dukungan Inggris dan negara-negara sekutunya menjadi titik balik, karena selama ini mereka sering dianggap terlalu dekat dengan Amerika dan Israel. Kini, mereka justru menunjukkan kemandirian politik luar negeri.Lalu mengapa Amerika Serikat tetap menolak? Jawabannya terletak pada kalkulasi politik dalam negeri dan doktrin keamanan di Timur Tengah. Washington masih menganggap keamanan Israel sebagai prioritas mutlak. Trump dan pemerintahan di Gedung Putih berulang kali menyebut bahwa pengakuan Palestina justru bisa dilihat sebagai “hadiah bagi terorisme.” Pandangan itu membuat AS berdiri di sisi Israel, meski semakin terisolasi secara diplomatik.Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berbicara pada konferensi pers di kantor Perdana Menteri di Yerusalem pada 10 Agustus 2025. Foto: Abir SULTAN / POOL / AFPIsrael sendiri jelas menentang. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut pengakuan Palestina oleh Inggris dan negara-negara lain sebagai “reward for terrorism.” Baginya, pengakuan ini memberi legitimasi kepada Hamas yang dia sebut organisasi teroris brutal. Lebih jauh, Netanyahu menegaskan bahwa negara Palestina “tidak akan pernah berdiri di barat Sungai Yordan.” Pernyataan itu seakan menutup pintu negosiasi.Dalam kacamata ilmu politik, apa yang terjadi adalah contoh klasik dari teori Relative Deprivation yang diperkenalkan oleh Ted Robert Gurr. Teori ini menjelaskan bahwa konflik lahir ketika ada kesenjangan besar antara harapan dan kenyataan. Rakyat Palestina melihat dunia mengakui hak mereka, tetapi di lapangan mereka masih terjajah. Kesenjangan ini mendorong perlawanan yang tak kunjung padam.Ahli Timur Tengah Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne pernah menegaskan bahwa konflik Palestina bukan hanya soal agama, tetapi juga soal struktur kekuasaan global yang timpang. Menurutnya, Amerika menolak pengakuan Palestina karena takut kehilangan dominasi strategis di kawasan. Analisis ini memperkuat alasan kenapa Washington tidak mengikuti langkah Inggris dan sekutunya.Namun kenyataannya, semakin banyak negara yang mengakui Palestina, semakin sulit bagi Israel mempertahankan argumen “tidak ada mitra damai.” Bila mayoritas dunia sudah mengakui, maka Israel pada akhirnya akan dipaksa menghadapi realitas politik baru: ada negara Palestina yang sah secara diplomatik.Implikasinya sangat besar bagi Gaza. Pengakuan negara berarti dunia tidak bisa lagi menoleransi blokade yang membuat dua juta warga sipil hidup dalam penderitaan. Israel harus mengakhiri pendudukannya, atau berisiko menghadapi sanksi internasional yang lebih keras. Gaza bisa menjadi ujian nyata pertama bagi eksekusi kemerdekaan Palestina.Ilustrasi bendera PBB. Foto: Alexandros Michailidis/ShutterstockMajelis Umum PBB kini berada pada posisi penting. Bila negara-negara anggota bersatu, mereka bisa menegakkan resolusi yang menuntut Israel menghentikan pendudukan, termasuk di Yerusalem Timur. Sidang tahun ini bisa menjadi momen untuk mengubah pengakuan simbolik menjadi langkah hukum internasional.Bagi Palestina, pengakuan ini adalah oase di tengah gurun panjang penderitaan. Mereka mendapatkan dukungan moral, politik, sekaligus legitimasi internasional. Kini, bukan hanya negara-negara global selatan yang mengakui, tetapi juga negara-negara Barat besar.Bagi Amerika, ini adalah ujian kepemimpinan global. Bila terus menolak, Washington berisiko kehilangan kredibilitas sebagai mediator. Dunia sudah bergerak, sementara AS masih terpaku pada paradigma lama.Bagi Israel, tekanan internasional bisa berbalik menjadi isolasi diplomatik. Jika Eropa, Asia, Afrika, hingga Amerika Latin bersatu, maka Israel akan semakin terpojok. Satu-satunya jalan keluar adalah membuka diri pada solusi dua negara yang adil.Akhirnya, pengakuan Inggris, Australia, Kanada, dan Portugal bukan sekadar berita diplomasi. Ini adalah seruan moral bahwa kemerdekaan Palestina sudah waktunya ditegakkan. Dunia menunggu langkah nyata Majelis Umum PBB untuk mengeksekusi kemerdekaan itu, sehingga rakyat Palestina bisa hidup merdeka di tanah mereka sendiri.