Ilustrasi seorang guru senior dengan motor tuanya. Generated with ChatGPT.Seorang guru honorer berangkat dengan motor tuanya. Setelah 10 tahun mengajar, gajinya tak lebih dari dua juta rupiah per bulan. Sementara biaya hidup keluarganya terus meningkat, anak-anaknya semakin besar, rumah petak kontrakan sebelumnya tak lagi cukup untuk mereka berempat, sehingga akhirnya memaksa beliau untuk mencari penghasilan tambahan dari memberi les privat dan ojek antar jemput sekolah anak tetangga. Begitulah kurang-lebih gambaran hidup dari banyak guru di negeri ini. Di mata masyarakat, profesi guru memang masih dianggap mulia, namun kurang begitu prestisius karena tidak mendatangkan penghasilan yang memadai.Bangsa ini masih mengagungkan guru secara simbolis sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, namun secara sosial-ekonomi sering ditempatkan pada strata menengah bahkan strata bawah. Dalam masyarakat yang menilai status melalui besarnya pendapatan, profesi guru kalah jauh pamornya dibanding dokter, pengacara, atau pegawai perusahaan. Bahkan gelar Gr., untuk guru profesional yang telah sertifikasi, masih terasa hampa. Antara Kepercayaan dan Keterbatasan EkonomiFakta menarik muncul dari survei Ipsos tahun 2024: guru justru menempati posisi tertinggi sebagai profesi paling dipercaya masyarakat Indonesia, dengan tingkat kepercayaan mencapai 74%. Murid pun masih menghormati guru; survei Global Teacher Status Index 2018 bahkan menempatkan Indonesia di peringkat kelima dari 35 negara terkait penghormatan siswa kepada gurunya.Namun di sisi lain, data Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan sekitar 74% guru honorer masih digaji di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten. Lebih parah lagi, 20,5% di antaranya hanya menerima 500 ribu rupiah per bulan. Bahkan 89% guru mengaku penghasilan mereka belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kontras ini memperlihatkan disonansi: guru dipercaya dan dihormati, tetapi tidak sejahtera. Tak heran jika kemudian profesi yang paling banyak terjerat pinjol adalah guru.Dalam perspektif Weber, status sosial ditentukan oleh tiga hal: ekonomi, prestise, dan kekuasaan. Guru di Indonesia lemah pada dimensi ekonomi dan kekuasaan, sehingga meski secara moral dan simbolik dihormati, prestise sosialnya tidak sekuat profesi lain yang lebih mapan. Teori lainnya dari Pierre Bourdieu menegaskan bahwa pengakuan simbolik yang tidak didukung penghargaan struktural akan berakhir dengan rapuh, hal ini persis terjadi pada kondisi yang dialami guru kita.Dampak pada Dunia PendidikanIlustrasi Guru Mengajar di Sekolah Rakyat. Foto: KemendikdasmenRendahnya strata sosial guru berdampak langsung pada pola pengajaran dan pembentukan karakter anak. Guru yang harus bekerja sampingan untuk menutup kebutuhan hidup cenderung kehilangan waktu mempersiapkan bahan ajar. Pikiran, energi dan motivasi mereka pun sudah cukup terkuras.Lebih jauh, siswa bisa membaca kontradiksi ini. Guru mengajarkan pentingnya ilmu dan kerja keras, tetapi realitas menunjukkan profesi guru tidak mendatangkan kesejahteraan. Seolah menjadi hidden curriculum, yang membuat anak-anak menyimpulkan bahwa profesi guru tidak menjanjikan dan kurang prestisius. Minat generasi muda untuk menjadi guru semakin kurang, padahal bangsa sangat membutuhkan regenerasi pendidik berkualitas.Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan kontras tajam. Di Finlandia, guru direkrut dari 10% lulusan terbaik, bergaji kompetitif, dan dipandang setara dengan dokter. Di Singapura, gaji guru pemula setara insinyur baru lulus, dengan jalur karier jelas sebagai master teacher atau kepala sekolah. Di Jepang, guru menjadi simbol disiplin dan teladan moral, dengan perlindungan hukum serta penghargaan sosial tinggi. Ketiga negara itu terbukti berhasil menempatkan guru di strata sosial atas, sekaligus menghasilkan sistem pendidikan unggul.Mengapa Tetap Ada yang Memilih Jadi Guru?Pertanyaannya, mengapa masih banyak orang Indonesia yang memilih menjadi guru meski gajinya jauh dari profesi lain? Jawabannya ternyata lebih banyak terletak pada faktor non-ekonomi.Banyak orang melihat mengajar sebagai panggilan jiwa dan bentuk pengabdian. Profesi guru memberi makna sosial yang tidak bisa diukur dengan materi semata: melihat murid berhasil menjadi orang sukses adalah kebanggaan tersendiri. Profesi guru masih memberikan harapan sebagai cara untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa ke arah yang lebih baik.Nilai budaya dan agama juga sangat berperan. Ungkapan Jawa "guru digugu lan ditiru" (guru dipercaya dan diteladani) mencerminkan kehormatan kultural profesi ini. Dalam ajaran agama pun, guru disebut sebagai pewaris ilmu yang derajatnya ditinggikan.Meski demikian, sebagian masyarakat masih menjadikan guru sebagai profesi yang mempunyai keamanan ekonomi jangka panjang. Meski tidak semua guru bisa menjadi PNS, namun pekerjaan ini relatif lebih stabil dibanding sektor swasta yang penuh ketidakpastian.Mengangkat Strata Sosial GuruData dan realitas di atas menunjukkan satu hal: guru di Indonesia mengalami paradoks antara kehormatan simbolik dan keterbatasan ekonomi. Jika kita ingin meningkatkan kualitas pendidikan nasional, profesi guru harus ditempatkan pada strata sosial yang lebih tinggi. Beberapa tahun ini pemerintah sudah memulai program PPPK guru dan sertifikasi yang lebih masif, sehingga derajat banyak guru mulai terangkat. Sebagai langkah awal tentu ini harus diapresiasi dan disyukuri. Tugas masyarakat dan pemerhati pendidikan adalah terus mengawal program ini, karena tujuan akhirnya bukan sekedar mengangkat status sosial guru dari bawah, namun "menopang hingga ke atas".Jika bangsa ini memilih untuk memberikan gaji guru yang layak, jalur karier yang profesional, pelatihan berkelanjutan, sehingga menjadi profesi prestisius, maka generasi baru akan berlomba menjadi guru. Proses dan seleksinya akan semakin ketat, sehingga kualitas guru secara otomatis meningkat. Kita bisa menuju ke arah ini, dan pemerintah sudah memulainya dengan program sertifikasi dengan kuota yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Pendidikan Indonesia memang sudah tertinggal dari negara-negara yang benar-benar menaruh guru di posisi terhormat, tetapi kita bisa mengejarnya. Hingga guru-guru kita bisa menegakkan kepala dan merasa bangga dengan profesinya.