Makanan Instan, Susu Manis, hingga Menu Basi: Kritik Keras untuk Program MBG di Rapat DPR

Wait 5 sec.

Rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 22 September 2025 (Nailin/VOI)JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil menyampaikan kritik dan masukan soal Makanan Bergizi Gratis (MBG) ke Komisi IX DPR, pasca kejadian keracunan massal usai para siswa di berbagai daerah menyantap menu makanan dari program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto itu. Ada yang mengkritik menu MBG yang berasal dari produk olahan instan dan cepat saji, serta makanan basi. Kritikan dan aduan tersebut diungkap Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) serta Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 22 September. CISDI dan GKIA juga hadir bersama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) di parlemen. Mewakili GKIA, Dokter sekaligus Ahli Gizi Masyarakat, dr. Tan Shot Yen, mengkritik adanya menu instan dan cepat saji dalam pembagian MBG di sejumlah daerah. Hal itu ia dapat dari banyaknya aduan masyarakat yang masuk lewat direct message di media sosialnya. Beberapa masalah yang sering dijadikan adalah, sakit perut, diare (mencret), dan ada masalah lainnya di MBG seperti ayam yang masih mentah, adapula MBG yang berbelatung. Dr. Tan pun menyayangkan bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) kecolongan soal edukasi kandungan susu dalam menu empat sehat lima sempurna. Ia menekankan bahwa 80 persen orang Indonesia intoleran terhadap produksi susu. "Tidak banyak yang tahu bahwa sebagai ras Melayu 80 persen intoleran laktosa. Menurut Permenkes Nomor 41 tahun 2014 kita itu sudah keluar dari 4 sehat 5 sempurna, susu adalah bagian protein hewani yang tidak penting banget kalau itu ada ikan ada telur, negara kita tidak kekurangan protein," kata dr Tan. "Publik kita sudah pintar banget, yang dibagi bukan susu, ini adalah minuman bergula dan ada tulisannya, tidak cocok untuk bayi berusia 0 sampai 12 bulan bahkan ada yang tidak masuk di akal, dibagikan sukro, itu tidak cocok untuk anak-anak dan ibu hamil. Bahkan MBG-nya ada yang dibagi dalam bentuk bubur instan. Ini kan penurunan suatu ketatanan pemberian makan ibu hamil dan anak. Jadi banyak publik yang akhirnya merasa bersalah karena sering buang makanan. Bahkan terakhir ada yang masuk IGD, karena anaknya mual dan muntah. Jadi ini bukan main-main sebenarnya," lanjut dr Tan. Dr Tan lantas menyoroti panduan tentang produk pangan yang dibagikan ke sekolah dan posyandu yang ternyata tidak teredukasi dengan baik. Dr tan juga heran jika MBG dibilang meningkatkan UMKM, bahkan menandatangani kerjasama dengan perusahaan Danone untuk susu formula, padahal susu formula tidak lebih baik dari ASI. "Apakah yang disebut UMKM ini seperti yang jualan frozen food. Kalau yang bener kan, harusnya petani nelayan, ini yang diuntungkan itu adalah mereka, dan mereka galak banget. Kalau MBG dihentikan katanya ingin memberhentikan kita punya mata pencaharian. Sebenarnya masyarakat sendiri itu sudah dibenturkan oleh dua kubu," kata dr Tan. Oleh karena itu, dr Tan menilai pengentasan stunting tidak hanya sekedar bagi-bagi makanan saja tapi harus ada edukasi. Ia pun menilai BGN perlu melakukan empat reformasi dalam pelaksanaan MBG. "Pertama, hentikan distribusi makanan kering yang mengacu pada produksi UPF. Kedua dan ketiga, hentikan operasional SPPG yang potensial dan bermasalah. Keempat terapkan sistem monitoring yang akuntabel. "Kami juga mengajukan lima rekomendasi MBG. Pertama diberikan di wilayah 3T. Kedua kerjasama dengan Puskesmas bukan BPOM. Ketiga transparansi keuangan. Keempat, edukasi makanan bergizi yang merupakan janji BGN. Kelima, alokasikan menu lokal sebesar 80 persen di seluruh wilayah. "Saya ingin di Papua, anak Papua makan ikan kuah asam. Tapi yang terjadi yang dibagi adalah burger, di mana tepung terigu tidak tumbuh di bumi Indonesia, dibagi spaghetti di berbagai daerah, bukan," tuturnya.Sementara, Analis Kebijakan Senior Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI), Muhammad Iqbal Hafizon mengungkapkan bahwa ada banyak siswa di 12 provinsi yang tidak menghabiskan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).Hasil tersebut, kata Iqbal, didapat saat CISDI bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei online selama 11 Juli sampai 1 Agustus 2025. Survei dilakukan kepada 1.624 responden dari 12 provinsi.“Beberapa temuan yang kami dapatkan dari 1624 responden, 572 di antaranya atau sekitar 35,2 persen memiliki pengalaman tidak menghabiskan MBG,” kata Iqbal.Iqbal menyebut salah satu faktor utama anak-anak tidak menghabiskan MBG yaitu karena makanan tersebut basi atau berbau. "Di form pertanyaan selanjutnya kita tanyakan secara spesifik dengan pertanyaan tertutup. Seberapa banyak responden yang mengalami menerima makanan basi dan rusak? Itu ada di 583,” kata Iqbal.Dari survei itu, terungkap sebanyak 11 responden atau anak-anak penerima MBG mengaku tetap menyantap MBG walaupun makanan itu basi atau rusak. Iqbal menyebut mereka memakan makanan MBG yang basi atau rusak karena tidak ingin mubazir.“Ketika masuk ke pertanyaan terbuka lagi, 11 responden memberikan testimoni bahwa meskipun mereka menerima makanan basi ataupun busuk dan rusak, mereka tetap mengonsumsi MBG karena bersyukur dan tidak ingin mubazir,” ungkapnya.