Ilustrasi Vaksin Kanker (sumber : iStock)Jika kita mendengar kata kanker, maka yang terbayang kemudian adalah tentang perjuangan panjang untuk sembuh yang menguras tenaga dan harapan. Oleh karenanya, setiap penemuan obat baru, sekecil apa pun, selalu menjadi secercah harapan. Saat ini, harapan itu muncul dari Rusia dengan kabar pengembangan vaksin kanker berbasis mRNA, yang diberi nama Enteromix. Kabar baik ini tentulah dinanti, karena vaksin tersebut diklaim memiliki efektivitas 100% dalam uji praklinis. Jika berita ini terbukti, Indonesia tak boleh menunggu untuk mengambil langkah konkret dan memastikan bahwa inovasi ini dapat segera tersedia bagi masyarakat.Sementara bagi para penderita kanker di Indonesia, kabar ini tentu bukan sekadar berita ilmiah, melainkan sebuah percikan optimisme yang begitu dinantikan. Namun, di balik optimisme tersebut, terselip pertanyaan apakah ini akan benar-benar terwujud, atau hanya klaim yang dilebih-lebihkan dan masih membutuhkan pembuktian panjang? Lebih lanjut, kita perlu membandingkannya dengan realitas pengobatan kanker yang ada sekarang dan melihat bagaimana Indonesia seharusnya menyikapi peluang ini.Terobosan Berbasis mRNAVaksin yang diberi nama Enteromix ini dikembangkan oleh Badan Medis-Biologi Federal Rusia (FMBA) dan menggunakan platform teknologi mRNA. Jika pada vaksin COVID-19 teknologi ini mengajari sel tubuh untuk mengenali virus, maka ada Enteromix, vaksin ini mengajari sistem imun untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel kanker. Yang membuatnya unik adalah sifat terapinya yang personal, di mana setiap vaksin dibuat khusus untuk profil genetik tumor pasien individu.Vaksin ini diklaim berhasil mengecilkan tumor dan memperpanjang harapan hidup pada hewan uji. Target utamanya adalah kanker kolorektal (usus besar), di mana jenis kanker ini adalah termasuk salah satu jenis kanker paling mematikan di Indonesia. Potensi ini sangat besar, karena terapi ini menawarkan pengobatan yang lebih spesifik dan minim efek samping, berbeda dengan terapi konvensional yang memiliki efek merusak sel sehat.Ironi Pengobatan KonvensionalIlustrasi sel kanker. Foto: ShutterstockSaat ini, pengobatan kanker di Indonesia umumnya bergantung pada tiga pilar utama: operasi, kemoterapi... dan radioterapi. Meski efektif, ketiganya memiliki keterbatasan yang berat bagi pasien.Kemoterapi, misalnya, bekerja dengan membunuh sel-sel yang tumbuh cepat. Sayangnya, terapi ini tidak pandang bulu; sel-sel sehat seperti sel rambut, sel darah, dan sel-sel di usus terkadang ikut hancur. Akibatnya, pasien harus menghadapi efek samping yang sangat menyiksa, mulai dari mual, kelelahan, hingga rambut rontok.Sedangkan pada radioterapi juga tak lepas dari efek serupa. Terapi ini memang sangat efektif pada area tumor tertentu, tetapi dapat merusak jaringan sehat di sekitarnya, yang selanjutnya dapat memicu komplikasi jangka panjang.Di sisi lain, data dari Global Cancer Observatory (Globocan) mencatat lebih dari 234.000 kematian akibat kanker di Indonesia pada tahun 2020. Angka ini mencerminkan fakta bahwa banyak pasien baru terdeteksi pada stadium lanjut, di mana pengobatan konvensional seringkali tidak lagi efektif.Keterbatasan inilah yang membuat vaksin seperti Enteromix cukup menjanjikan dan menjadi angin segar bagi pasien. Dengan platform teknologi mRNA, vaksin ini tidak membunuh sel secara membabi-buta, melainkan mengajarkan sistem kekebalan tubuh pasien untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel kanker secara spesifik. Hal ini tentu saja menjadikan pengobatan kanker yang lebih cerdas dan manusiawi, dengan efek samping yang jauh lebih minimal.Belajar dari Vaksin TBCDengan ramainya informasi vaksin kanker Rusia di media, maka perlu disikapi dengan tepat dan tidak bisa gegabah. Pemerintah sudah barang tentu tidak akan langsung menerima klaim-klaim tersebut, tetapi juga rasa-rasanya tidak boleh menunggu dan pasif. Kita punya pengalaman yang dapat dijadikan rujukan yaitu bagaimana vaksin TBC yang dikembangkan oleh pihak luar dan kemudian diujicobakan dengan melibatkan banyak pihak dalam negeri.Proyek vaksin TBC, sebagaimana pernah kami tulis di media ini dengan judul Mengawal Uji Vaksin TBC, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapabilitas untuk melakukan riset lanjutan dan uji klinis secara mandiri. Kolaborasi yang erat antara akademisi, pemerintah (Kemenkes dan BPOM), perusahaan farmasi dan lembaga penelitian lainnya membuktikan bahwa kita mampu memfasilitasi pengembangan vaksin dari hulu ke hilir.Dengan belajar dari pengalaman ini, Indonesia bisa mengambil langkah strategis yang serupa untuk vaksin kanker. Dalam hal ini, kita tidak hanya berbicara tentang bagaimana mendapatkan akses, melainkan juga tentang penguasaan ilmu pengetahuan untuk pengembangan vaksin serta memastikan keamanan dan mutu produk.What Next?Pemerintah perlu didorong untuk mengambil sikap yang proaktif. Kita tidak bisa hanya menunggu kabar selanjutnya dari Rusia. Kemenkes dan BPOM perlu segera membentuk tim ahli untuk menjalin komunikasi dengan para pengembang Enteromix. Tujuannya adalah untuk menawarkan Indonesia sebagai salah satu lokasi uji klinis, dengan catatan harus memenuhi standar etik dan ilmiah yang ketat.Dengan langkah ini, setidaknya akan memberikan tiga manfaat besar. Pertama, akses awal. Indonesia bisa menjadi salah satu negara pertama yang mendapatkan akses terhadap vaksin ini, baik untuk uji klinis maupun pemanfaatannya di masa depan.Kedua, transfer teknologi. Keterlibatan dalam uji klinis membuka peluang transfer ilmu pengetahuan, yang sangat berharga bagi industri farmasi dan riset kesehatan di Tanah Air.Ketiga, kemandirian. Pengalaman ini akan memperkuat kapabilitas Indonesia untuk mengembangkan solusi medis sendiri, sehingga kedepannya kita tidak lagi terlalu bergantung pada negara lain.Sebagai penutup, data Kemenkes memproyeksikan kasus kanker di Indonesia akan melonjak 63% antara tahun 2025-2040 jika tidak ada intervensi signifikan. Angka ini menegaskan satu hal: Indonesia tak boleh menunggu. Momen ini menuntut keberanian untuk mengambil langkah maju dan proaktif. Belajar dari kolaborasi pengembangan vaksin TBC, kini saatnya kita membuktikan bahwa Indonesia mampu ikut berperan mengubah klaim ilmiah menjadi harapan nyata bagi jutaan pasien kanker di dalam negeri.