Photo by Thomas Park on UnsplashKetika minat anak sekolah di Kabupaten Sampang mulai menurun, para orang tua di salah satu Pulau Madura tetap memberikan semangat kepada anaknya. Beberapa bulan lalu, saya bertolak ke Kabupaten Sampang usai diajak mengikuti penelitian "Strategi Mengurangi Angka Anak Tidak Sekolah Melalui Program Kearifan Lokal". Riset ini saya lakukan bersama tim berjumlah empat orang, di dua kecamatan, masing-masing dua desa. Menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari Kota Pahlawan, saya akhirnya tiba di Kecamatan Jrengik. Mulanya, saya bertanya kepada warga sekitar tentang keberadaan rumah kepala desa, maklum saat itu kantor kepala desa tutup. Sebab, saya datang pada hari Sabtu. Tidak menemukan jawaban setelah bertanya. Saya dan tim bergeser ke sebuah kantor kodam tentara di sebrang gang rumah yang sebelumnya saya bertanya tadi. Disitu, saya mendapatkan jawaban bahwa ada sekolah dasar. Saya pun menyusuri arahan dari penjaga kantor kodam dan menuju ke utara. Sebuah bangunan kecil berwarna hijau tampak dari kejauhan, itu adalah SDN Jrengik 4, Kabupaten Sampang. Anak-anak tampak berlari-lari, karena memang saya kesana saat jam istirahat. Kisaran jam 9-10 pagi. Saat masuk ke ruangan guru, saya bertemu dengan Kepala Sekolah SD tersebut. Saat meminta izin ke Kepala Sekolah, ternyata, beliau juga menjabat sebagai Kepala Desa, namun sebagai Pj (Penjabat) sementara. Saya tidak tahu, mayoritas di Kabupaten Sampang, kepala desa-nya diisi oleh Pj. Kepala Sekolah mengizinkan, saya memulai wawancara, tim juga membagi untuk mencari data, yakni mewawancara guru-guru SD. Wawancara usai, waktu menunjukkan pukul 11.30 siang. Adzan dzuhur berkumandang. Saya mencari masjid di sekitar sembari beristirahat sebelum kembali mencari data. Saya memutuskan memilih Desa Jrengik sebagai tujuan 25 responden pertama. Dalam penelitian ini, kami ditugaskan mencari 100 responden serta 20 informan untuk keperluan indepth interview.Di desa ini, sebagian anak berhasil menyelesaikan pendidikan SD dan SMP. Namun, setelah SMP, ada yang melanjutkan mondok (pesantren), ada yang langsung bekerja, dan ada pula yang memilih merantau ke Jawa. Alhasil, ketika minat anak untuk bersekolah mulai menurun, mereka memilih melakukan hal-hal lain, tapi tetap bermanfaat. Alasan utama adalah kurangnya motivasi belajar karena faktor ekonomi dan pemikiran malas sekolah. Namun sebenarnya, dalam lingkungan keluarga, tidak ada yang benar-benar malas; ini lebih karena pengaruh orang tua yang mendorong untuk mondok sebagai pilihan aman, terutama karena orang tua banyak yang merantau dan menginginkan anaknya berada di tempat yang aman seperti pesantren yang juga menyediakan sekolah formal.Masalah utama adalah faktor ekonomi. Pemerintah desa dan tokoh masyarakat tidak banyak berperan aktif dalam masalah pendidikan ini, sehingga urusan sekolah dan anak-anak lebih menjadi tanggung jawab keluarga. Sebagian orang tua dan anak masih enggan bersekolah, meskipun sudah ada program pemerintah. Rencana penggabungan sekolah dilakukan karena jumlah sekolah yang terlalu banyak tidak diimbangi dengan jumlah murid. Contohnya, saat Sugiri ingin melanjutkan ke MI, dilarang karena dianggap akan mengurangi murid SD.Desa tujuan kedua adalah Desa Kalanganprao, tepat bersebelahan dengan Desa Jrengik. Disini, tim menemukan adanya tekanan dari orang tua kurang mendukung pendidikan formal. Anak-anak lebih memilih bekerja atau menikah dini (untuk perempuan). Meskipun faktor ekonomi dianggap cukup, anak-anak tidak tertarik sekolah karena keyakinan bahwa sekolah tidak memberikan keuntungan materi. Mereka lebih memilih bekerja, namun tetap menjaga kewajiban mengaji. Menurut pandangan orang tua, mengaji dianggap lebih penting dibandingkan pendidikan formal yang tinggi.Setelah selesai menyelesaikan pencarian 50 responden serta 10 informan, saya memutuskan untuk bermalam di Sampang kota. Meski sebelumnya berencana untuk bertolak langsung ke desa selanjutnya. Namun hari yang kian malam mengurungkan niat kami untuk lanjut. Pun beberapa warga yang saya temui saat makan sore di sekitar Desa Kalanganprao menyarankan untuk tidak berangkat pada malam itu. Keesokan harinya, Minggu, saya bergegas keluar dari penginapan dan menuju desa berikutnya. Saya memilih Desa Noreh. Sebab, kemarin, saat di Desa Jrengik, saya bertemu dengan guru sekaligus saya wawancara. Beliau mengaku menjabat pula sebagai kepala dusun. Saya pun menghubunginya, dan beliau bersedia menerima saya. Setelah sampai di Desa Noreh, saya memperoleh data bahwa sebagai desa pesisir yang penduduknya banyak nelayan, kegiatan melaut menjadi tradisi turun-temurun. Anak-anak di sini banyak yang akhirnya memilih bekerja sebagai nelayan daripada melanjutkan sekolah karena dukungan orang tua yang melihat bekerja sebagai cara membantu ekonomi keluarga. Ada keyakinan kuat bahwa bekerja di luar negeri, khususnya Malaysia, adalah kebanggaan dan cara untuk mendapatkan penghasilan yang besar. Oleh karena itu, tidak sedikit yang putus sekolah dan memilih merantau.Namun, hal ini membawa risiko seperti masalah pergaulan negatif termasuk narkoba. Dukungan orang tua terhadap pendidikan walau sedikit tetap ada, bahkan ada yang berhasil mendorong anak-anak sampai jenjang perguruan tinggi. Kini akses pendidikan juga semakin dekat dan mudah dijangkau, sehingga sebagian besar memilih mondok sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman, apalagi dengan adanya kerja sama pesantren dengan universitas.Hari pun terus berjalan, saya masih menyisakan satu desa yang belum ditemukan. Sebab, Kepala Desa Noreh tidak memiliki akses untuk mengenalkan saya ke desa lain. Saya dan tim pun bertekad menyusuri daerah pesisir di selatan Sampang. Berharap untuk bertemu desa yang bersedia untuk saya ambil data. Rasa salut saya ucapkan kepada rekan tim. Sebab ia mempunyai cara unik untuk mencari informasi. Ia mengajak saya dan tim untuk beristirahat di masjid dan menunaikan salat. Di Sampang, masjid-masjid pasti dipenuhi jamaah, disitulah saya mendapat informasi keberadaan rumah Kepala Desa Labuhan, desa terakhir destinasi saya mencari data. Desa Labuhan menunjukkan perkembangan positif dalam pendidikan. Pemerintah desa aktif mendukung dengan berbagai program, termasuk pembelajaran online dan aplikasi yang memudahkan masyarakat. Ada upaya mendatangi warga untuk mengedukasi pentingnya pendidikan, bukan sebaliknya. Banyak anak yang bersemangat melanjutkan studi hingga perguruan tinggi, meskipun sebagian orang tua belum paham tentang beasiswa dan masih menganggap bekerja setelah SMA adalah pilihan utama. Di sini, terdapat berbagai kegiatan seni, bela diri, dan hadrah yang dikembangkan dengan dukungan pemerintah desa. Kepala desa juga aktif mengajukan beasiswa ke kampus dan mengajak masyarakat untuk berperan sebagai mentor kearifan lokal, yang bisa menjadi penghasilan tambahan. Anak putus sekolah di desa ini jumlahnya sedikit dan sudah banyak yang kembali bersekolah, karena tidak hanya orang tua tapi juga pemerintah mulai memberikan dukungan penuh. Itu diakui oleh Kepala Desa setempat, bahwa pemerintah telah berupaya penuh untuk mendukung minat anak bersekolah. Meski menunjukkan minat yang kurang, namun berbagai macam cara tetap dilakukan untuk mementingkan aset penting negara tersebut, yakni mengenyam pendidikan sampai ke jenjang tinggi.