Dok: PribadiSetiap tahun, jutaan umat Islam di Indonesia menanti panggilan suci menuju Tanah Haram. Namun di balik lantunan doa dan semangat menabung biaya haji, ada kisah panjang tentang dana haji, kuota haji, hingga kasus korupsi haji yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Bahkan praktik penyelewengan pelayanan Ibadah Haji sudah terjadi sejak zaman kolonial Dalam catatan Jacob Vredenbregt yang dihimpun di buku Indonesia dan Haji (1997) banyak calon jemaah haji dari Hindia Belanda yang ingin pergi ke tanah suci, tapi keuangan mereka belum mencukupi. Kondisi ini dimanfaatkan para syekh dengan membujuk mereka untuk tetap pergi ke Makkah. Dan kenyataannya mereka hanya menjadi mangsa. Apalagi ordonasi haji yang tidak jelas, sehingga muncul banyak praktik negatif seperti, korupsi dana haji, pelayanan yang tidak manusiawi, hingga pelecehan seksual.Dana Haji: Dari Tabungan Umat Jadi InvestasiPada era awal 1970–1990-an, penyelenggaraan haji di Indonesia masih sederhana dengan setoran langsung ke Departemen Agama; biayanya relatif murah, namun fasilitas terbatas. Memasuki masa reformasi 1998–2004, lahirlah Dana Abadi Umat (DAU) sebagai tabungan umat dari efisiensi biaya haji. Selanjutnya, melalui UU No. 34 Tahun 2014 dibentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada 2017 untuk mengelola dan menginvestasikan dana haji sekaligus menyubsidi biaya jemaah. Hingga 2023, dana haji telah mencapai lebih dari Rp150 triliun, menjadikannya salah satu dana keagamaan terbesar di Indonesia. Dana haji yang kini sudah mencapai lebih dari Rp150 triliun dikelola layaknya investasi besar. Keuntungannya digunakan untuk menekan biaya perjalanan haji. Namun, muncul pula kritik: apakah uang umat ini benar-benar dikelola secara aman dan transparan?Kuota Haji: Diplomasi dan Antrean PanjangKouta haji yang seharusnya menjadi dasar giliran para jemaah untuk berangkat seringkali dimanipulasi banyak elite dan orang dalam yang justru mendapatkan jatah berangkat padahal terdapat ribuan jemaah yang telah mengantre berpuluh-puluh tahun. Praktik seperti ini terkadang berdampak pada pelayanan, oknum yang seharusnya tidak mendapat jatah maktab akan tetapi diberikan fasilitas maktab singgah beberapa jemaah yang seharusnya mendapat fasilitas seperti maktab tidak mendapatkannya.Arab Saudi menetapkan aturan sederhana: 1 kuota haji untuk setiap 1000 Muslim di suatu negara. Indonesia, sebagai rumah bagi lebih dari 200 juta Muslim, otomatis mendapat kuota terbesar di dunia. Kuota haji ditetapkan Arab Saudi dengan rasio 1:1000 dari jumlah penduduk Muslim, menjadikan Indonesia penerima kuota terbesar di dunia. Jumlahnya naik dari puluhan ribu pada 1980-an menjadi ratusan ribu pada 2000-an, meski sempat dipangkas 20% pada 2013–2016 karena renovasi Masjidil Haram. Pasca pandemi, kuota Indonesia kembali normal sekitar 221 ribu jemaah, namun tingginya minat membuat antrean keberangkatan bisa mencapai 10–30 tahun di sejumlah provinsi.Lagi dan lagi, penyelenggaraan haji 2024 menjadi sorotan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (2020-2024) diduga patut bertanggung jawab atas masalah yang terjadi. Arab Saudi memberikan 20.000 tambahan kuota yang seharusnya secara regulasi yang telah disepakati 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus, akan tetapi pada praktiknya pembagiannya berubah menjadi 50:50 dan terdapat modus bahwa pelunasan pembayaran haji hanya diberi tempo 5 hari, kuota haji tambahan justru dijual dengan harga mahal dan diduga mengalir ke berbagai pihak hingga menyebabkan negara rugi sekitar 1 triliun rupiah.Namun, kenyataan tidak selalu indah. Meski besar, jumlah itu tak sebanding dengan antusiasme masyarakat. Di beberapa daerah, antrean bisa mencapai 10 hingga 30 tahun. Membuat banyak orang berkelakar: “Kalau daftar sekarang, mungkin anak cucu yang berangkat.”Korupsi Haji: Noda di Balik KesucianPenyelenggaraan haji di Indonesia pernah tercoreng kasus korupsi, seperti vonis penjara terhadap Menteri Agama Suryadharma Ali pada 2014-an karena penyalahgunaan dana haji, ia dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Arab Saudi. Investasi dana yang tidak tepat ke proyek infrastruktur, hingga praktik “kuota siluman” yang dijual kepada pihak tertentu. Meski pembentukan BPKH meningkatkan transparansi, kritik publik tetap ada karena dana haji dinilai rawan kepentingan politik.Hal ini patut disayangkan, penyelenggaraan haji yang ternyata tak selalu steril dari masalah. Publik mungkin masih mengingat kasus yang terjadi pada periode 2001–2005, pengelolaan Dana Abadi Umat dan biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun 1999-2003 yang bermasalah hingga menyeret Menteri Agama era Presiden Megawati, Said Agil Husin Al Munawar, sebagai terdakwa kasus korupsi. Dari pengadaan akomodasi hingga permainan kuota, semuanya mencoreng niat suci umat.Selain itu, pernah pula mencuat isu investasi dana haji ke proyek-proyek infrastruktur yang dianggap jauh dari kepentingan jemaah. Kritik datang dari banyak pihak, menuntut transparansi agar dana umat tidak jadi “lahan basah” bagi segelintir elite, memang terkadang aturan yang dibuat pemerintah Arab Saudi juga berpengaruh pada kebijakan haji dalam negeri, akan tetapi transparansi pengelolaan dana haji hinggah keadilan pelayanan pada jemaah haji merupakan hal utama yang tidak boleh diabaikan, itulah pula yang menjadi tugas utama lembaga Negara baru Kementerian Haji dan Umroh.Antara Harapan dan KenyataanHaji bagi umat Islam Indonesia bukan hanya ibadah, tapi juga simbol prestige sosial dan spiritual. Namun, di balik keberangkatan jutaan jemaah, tersimpan cerita tentang dana besar, diplomasi kuota, hingga praktik curang oknum pejabat.Kini, tugas negara bukan hanya memberangkatkan jamaah dengan selamat, tetapi juga menjaga amanah umat: memastikan dana haji tetap suci, kuota transparan, dan pengelolaan bebas dari korupsi.Bagi masyarakat, pengelolaan haji menimbulkan beragam dampak: sebagian masih skeptis terhadap transparansi dana, meski hasil investasinya membantu meringankan biaya melalui subsidi, sementara antrean panjang tetap menjadi persoalan karena jemaah harus menunggu bertahun-tahun dengan ketidakpastian.Jangan Sampai Kementerian Haji dan Umrah hanya menjadi tempat berpindahnya praktik kotor dan curang, Kementerian yang baru lahir tersebut wajib membenahi dan membersihkan kembali ibadah haji dengan niat dan perilaku yang juga bersih, berintegritas, akuntabel, dan berorientasi pelayanan.