Penari membawakan tarian dengan bendera merah putih pada aksi 17 Jam Menari Untuk Indonesia di Bongkeng Art Space, Bandung, Jawa Barat, Senin (17/8/2020). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTONama lengkapnya James Herrington. Seorang ilmuwan politik yang lahir di Britania Raya pada tanggal 3 Januari 1611 dan tutup usia tanggal 11 September 1677. Ia menulis karya populer berjudul "The Commenwealth of Oceana".Jauh sebelum John Locke (1632-1704) dan Montesqueiu (1689-1755) mempopulerkan trias politika, Herrington telah mengusulkan pondasi sistem Republik dengan pembagian kekuasaan. Bagi Herrington, perlu ada lembaga legislatif yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Gagasan inilah yang di kemudian hari dikembangkan oleh seorang filsuf Inggris yaitu John Locke dengan pembagian kekuasaan pada eksekutif, legislatif dan federatif. Meski yang diadopsi oleh sistem politik negara modern adalah trias politikanya Montesqueiu, seorang ilmuwan politik Prancis yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.Yang menarik dari gagasan Herrington, selain keseimbangan kekuasaan adalah pentingnya kelas menengah yang kuat. Pondasi sebuah bangsa ada pada kelas menengah. Jika sebuah bangsa memiliki kelas menengah yang kuat, maka bangsa itu akan kuat. Arah dari pemikiran Herrington adalah kesejahteraan dan keadilan. Kalau diterjemahkan dalam konstruksi cita-cita bangsa Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Herrington mengusulkan tidak saja keseimbangan kekuasaan dengan hadirnya legislatif, tapi juga keseimbangan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dengan memperkuat kelas menengahnya.Untuk menciptakan kelas menengah yang kuat, Herrington mendorong pentingnya hukum agraria dan pembagian properti. Gagasan ini terlalu modern di era abad ke-17. Nampaknya Herrington telah membaca arah ekonomi modern yang sedang menuju kepada akumulasi kekayaan pada kelas elite yang jumlahnya hanya segelintir orang.Di Indonesia, separuh kekayaan dikuasai hanya oleh 50 keluarga. Satu keluarga bisa memiliki jutaan hektare tanah. Ratusan juta tanah di Sumatera dan Kalimantan yang ditanami sawit dan menjadi areal pertambangan batubara hanya milik segelintir orang. Begitu juga jutaan tanah yang sekarang jadi tambang nikel di Sulawesi Tengah, Utara dan Tenggara, dikuasai oleh segelintir orang. Sebagian adalah milik asing. Yang ironis, masyarakat yang berada di sekitar tambang itu miskin.Ilustrasi lahan kelapa sawit. Foto: Nora Carol Photography/Getty ImagesSejumlah kepala daerah hanya menerima upeti ilegal dari tambang, tanpa memikirkan bagi hasil tambang itu buat pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Semua hasil tambang dan sawit diangkut ke pusat dan keluar negeri dengan menyisakan bagi hasil yang minim untuk ditransfer ke daerah dan CSR yang tidak signifikan.Kewajiban pajak dan retribusi seringkali dimanipulasi menggunakan instrumen kekuasaan dan tekanan aparat. Kepala daerah dibebani oleh protes rakyat atas limbah dan kerusakan tambang tanpa diberikan otoritas untuk mengakses hasil Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya buat peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).Ketimpangan kepemilikan lahan di mana orang pusat dan orang asing memiliki jutaan hektare, sementara masyarakat setempat sebagian tidak memiliki satu hektare pun lahan pertanian, dan ini semua diawali dari bobroknya sistem agraria.Tidak hanya di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Sulawesi, di Pulau Jawa, khususnya di daerah perkotaan, tanah di wilayah strategis dan menjadi pusat ekonomi telah berdiri di atasnya gedung-gedung perkantoran yang dikuasai oleh hanya puluhan orang. Wajah perkotaan dan daerah dengan properti dan tambang menunjukkan wajah ketimpangan yang akut. Kekayaan terpusat di kelas elite dan atas, sementara jumlah kelas menengahnya sedikit dan mayoritas berada di kelas bawah. Ini yang membuat negara dan bangsa Indonesia rapuh.Ilustrasi sertifikat tanah. Foto: ShutterstockLahirnya ekonomi model kapitalis yang membawa karakter monopolis ini nampaknya sudah dibaca oleh Herrington jauh sebelum lahirnya karya Adam Smith (1723-1790) "The Wealth of Nation" yang menjadi inspirasi dan kitab suci bagi kaum kapitalis. Meski Herrington hidup di masa agraris dan zaman feodal, namun sifat tamak para tuan tanah untuk menguasai lahan dan merampas kawasan milik kaum lemah sudah terlihat. Karena itulah James Herrington mengusulkan pentingnya penertiban kepemilikan lahan dengan terbitnya hukum agraria.Bangunan-bangunan yang berdiri di atas tanah itu mestinya juga dimiliki oleh kaum menengah, bukan segelintir kaum elite. Di sinilah Harrington mendorong adanya pembagian dan pemerataan properti.Sadar atas fakta ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia ini, presiden baru Prabowo Subianto membuat kebijakan agraria dengan mengambil alih lahan dan tanah yang dulunya diambil oleh para tuan tanah dari negara dengan cara ilegal. Saat ini, sekitar 3,2 juta hektare lahan sawit telah diambil dan dikuasai oleh negara.Kebijakan agraria Presiden Prabowo juga mulai menyasar tambang. Diawali pengambialihan 321,07 hektare tambang ilegal di Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara.Kabarnya, bank-bank hasil likuidasi yang dulu di era reformasi dilakukan melalui proses yang merugikan negara akan diambil alih oleh negara. Isu ini sedang gencar dan dibaca publik sebagai prolog menuju pengambilalihan bank-bank tersebut.Presiden Prabowo Subianto melambaikan tangan dari atas Pesawat Kepresidenan sebelum bertolak di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/9/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTOTiga pertanyaan yang muncul dan tidak kalah penting dalam membaca arah kebijakan Prabowo ini. Pertama, apakah Prabowo hanya akan mengambil alih lahan hasil perampasan aset negara saja, atau juga mengambil alih tanah-tanah hasil perampasan tidak sah dari rakyat? Karena, tidak sedikit tanah rakyat yang berubah sertifikat hak milik tanpa ada proses transaksi. Ada jutaan bahkan mungkin miliaran tanah yang berpindah tangan dari pemilik sah dan dijualbelikan di pasar properti atas nama perusahaan. Kerja sama mafia tanah, lurah, camat, pihak BPN dan aparat menjadi hal yang lazim terjadi dalam praktik perampasan tanah rakyat. Jutaan sengketa tanah berakhir dengan intimidasi hukum dan preman. Di sinilah wajah agraria Indonesia saat ini, dan terus menunjukkan praktik kezaliman.Kedua, hasil perampasan tanah dan lahan oleh negara itu, apakah akan dikelola oleh negara, atau dibagikan kepada rakyat guna meningkatkan kesejahteraan dan mengupayakan terealisasinya keadilan? Kalau hasil rampasan lahan dan tanah itu diberikan kepada konglomerat, ya apa artinya? Yang terjadi hanya pindah tangan dan pergantian pemain. Apa untungnya bagi negara dan rakyat jika sembilan naga berganti sembilan haji tanpa substansi?Ketiga, pengambilan lahan yang menjadi kebijakan masif Prabowo itu, apakah berlaku juga untuk perampasan properti atau gedung-gedung yang berdiri di atas tanah ilegal di daerah strategis dan pusat ekonomi perkotaan? Ini juga tak kalah penting demi tegaknya sebuah keadilan.Yang pasti, perampasan aset oleh pemerintahan baru Prabowo merupakan langkah awal yang brilian, berani dan strategis. Tapi, ini hanya langkah awal. Yang diharapkan oleh rakyat adalah bahwa langkah bijak Presiden Prabowo ini akan betul-betul taktis jika berujung pada penguatan kelas menengah sebagaimana yang digagas oleh Herrington, sehingga kesejahteraan bisa dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia, dan tidak beredar hanya di 50 keluarga elite itu. Inilah yang disebut dengan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".