Kelangkaan BBM terjadi di SPBU swasta belakangan ini. (foto Unsplash) Beberapa pekan terakhir, pengendara yang biasa mengisi di SPBU swasta —Shell, Vivo, dan BP—mulai resah. Stok BBM di jaringan ini kerap habis. Jika pun tersedia, antrean panjang tak terhindarkan. Tidak bisa dipungkiri, sejak skandal oplosan di Pertamina mencuat, banyak pengguna beralih ke SPBU swasta. Kepercayaan pun mulai goyah. Selama ini perusahaan swasta mengimpor sendiri BBM. Mereka mengajukan rencana kebutuhan ke Kementerian ESDM untuk memperoleh kuota impor. Sebelumnya proses ini berjalan normal. Namun pada Februari 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengubah aturan. Izin impor BBM yang sebelumnya berlaku setahun kini hanya enam bulan. Kebijakan ini bagian dari perbaikan tata niaga impor dan ekspor BBM. Pengimpor wajib memiliki izin niaga atau pengolahan, serta melaporkan realisasi impor setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu bila diminta. Bahlil juga mengingatkan Pertamina agar memperbaiki mutu dan layanan agar tidak kalah bersaing dengan SPBU swasta. Konsumen selama ini memilih alternatif bukan hanya karena harga, tetapi juga karena mutu dan kecepatan layanan. Menanggapi kelangkaan BBM di SPBU swasta seperti BP, Shell, dan Vivo, Bahlil menegaskan kuota impor sudah 110 persen dibanding 2024. “Contoh perusahaan A, tahun lalu mendapat 1 juta kiloliter. Tahun ini menjadi 1,1 juta. Artinya semua sudah dapat tambahan,” ujarnya. Menurut Bahlil, jika stok swasta habis dan ingin tambahan, solusinya berkolaborasi dengan Pertamina. Jika pemerintah memberi tambahan kuota impor lagi, neraca dagang bisa terganggu. “Kalau mau lebih, silakan berkolaborasi dengan Pertamina. Pertamina itu representasi negara,” tegasnya. Bahlil membantah tudingan pemerintah ingin memonopoli bisnis hilir migas dengan membatasi ruang swasta. Arahan pembelian BBM ke Pertamina, katanya, sekadar bentuk kolaborasi bisnis atau business to business (B2B). “Ini bukan persoalan persaingan usaha. Ini persoalan Pasal 33 UUD 1945, hajat hidup orang banyak, yang lebih baik dikuasai negara. Tapi bukan berarti seluruhnya dikuasai negara,” jelas Bahlil. Senada, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menegaskan tidak ada kebijakan impor satu pintu. “Kebijakan impor tetap melalui badan usaha masing-masing,” ujarnya usai dipanggil Presiden Prabowo Subianto pekan lalu.Kuota tambahan 10 persen untuk impor BBM tahun 2025 membuat sisa kuota Pertamina Patra Niaga sekitar 7,52 juta kiloliter hingga akhir tahun. Ini cukup untuk tambahan alokasi sekitar 571 ribu kiloliter bagi SPBU swasta. Pemerintah juga menjamin harga tidak akan naik akibat impor tambahan. Namun di balik jaminan pemerintah, kenyataan di lapangan berkata lain. Konsumen tetap kesulitan menemukan stok. Beberapa SPBU swasta bahkan menutup operasional lebih cepat karena kekurangan pasokan. Para pakar menilai masalah ini bukan semata kegagalan logistik, melainkan kegagalan kepercayaan. Konsumen tak hanya ingin BBM tersedia, tetapi juga kualitas yang sesuai klaim, layanan wajar, dan transparansi harga. Tuduhan “oplosan”, isu RON tak sesuai, hingga mesin kendaraan bermasalah memperkuat kekhawatiran. Pertamina yang didorong mengambil alih banyak pasokan—baik impor base fuel untuk swasta maupun pasokan sendiri—menghadapi ujian. Bukan sekadar mengisi stok, tetapi membuktikan bahwa barang yang dijual murni, mutu terjaga, dan transparansi jelas. Jika kebijakan impor hanya melalui Pertamina diterapkan sebagai norma, risiko besar mengintai. Semangat liberalisasi migas yang sejak lama memberi ruang bagi swasta di sektor hilir bisa terkikis. Persaingan usaha bisa melemah, bahkan terapung-apung. Iklim investasi pun kemungkinan terganggu. Investor asing bisa jadi akan ragu menanam modal bila kebijakan impor dan kuota dapat diubah sewaktu-waktu atau dipaksa melalui skema “kolaborasi” yang menguntungkan pihak tertentu. Lebih jauh, publik berpotensi makin skeptis. Isu mutu dan layanan akan terus membayangi. Kepercayaan yang rusak sulit dipulihkan hanya dengan pidato atau janji. Kelangkaan BBM di SPBU swasta bukan kebetulan. Ini buah dari kurangnya transparansi, dan mungkin juga sinyal keinginan struktural memperkuat dominasi negara lewat Pertamina. Pemerintah dan Pertamina harus bertindak. Kasus BBM oplosan dan isu mafia migas sudah merusak citra. Transparansi harus nyata: dari sumber impor, komposisi aditif, hingga harga dasar. Perbaikan mutu BBM perlu dibuktikan dengan standar RON, emisi, dan keamanan mesin. Layanan SPBU Pertamina sendiri harus kompetitif. Jaga kebersihan, kecepatan, keandalan stok, jam buka, dan fasilitas. Langkah nyata diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Pemerintah sebaiknya membentuk lembaga audit independen untuk mengawasi mutu BBM secara berkala dan terbuka. Sanksi tegas wajib diterapkan kepada internal atau operator yang terbukti menjual BBM oplosan. Laporan kuota impor sebaiknya dipublikasikan setiap triwulan agar masyarakat dapat mengawasi. Kementerian ESDM pun perlu menyiapkan mekanisme evaluasi izin impor yang transparan dan tidak menggantungkan proses hanya pada satu BUMN. Yang paling berbahaya bukan sekadar pompa bensin kosong. Lebih menakutkan bila rakyat melepaskan kepercayaan pada BUMN energi terbesar negeri ini—Pertamina. Saat stok kembali normal, mereka mungkin tak lagi yakin. Sebab yang rusak bukan hanya logistik atau kuota, tetapi keyakinan bahwa energi nasional dikelola adil dan bersih. Semua sepakat hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pertamina memang representasi negara. Namun kasus oplosan atau isu mafia migas tak boleh terulang. Pertamina harus meningkatkan pelayanan dan membuktikan transparansi agar kepercayaan publik benar-benar pulih.