Ilustrasi hasil panen pekebun sawit, foto: https://pixabay.com/Kelapa sawit sampai saat ini menjadi tumpuan utama agribisnis Indonesia, terutama di Provinsi Riau yang menempati posisi teratas dengan luas areal 3,40 juta hektare dan produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 9,22 juta ton, sehingga menjadikannya episentrum industri sawit nasional. Berdasarkan data Kelapa Sawit Indonesia 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), luas areal perkebunan sawit nasional mencapai sekitar 15,93 juta hektare. Dari jumlah tersebut, perkebunan besar swasta menguasai sekitar 54,08%, sementara pekebun rakyat memegang 42,29%. Peran besar pekebun rakyat menunjukkan bahwa kontribusi mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan salah satu penopang utama perekonomian daerah dan nasional.Dalam praktiknya, usaha perkebunan sawit rakyat terbagi dalam dua lingkup besar, yaitu agribisnis hulu (pembibitan dan sarana produksi) serta agribisnis on-farm (perkebunan dan panen). Proses pengelolaan lahan dimulai dari perizinan, persiapan lahan, penanaman bibit, hingga pemeliharaan, pemanenan, dan penjualan Tandan Buah Segar (TBS). Setiap tahapan tersebut tidak hanya menuntut keterampilan teknis, tetapi juga kepatuhan pada kewajiban perpajakan yang menyertainya. Dengan demikian, aspek perpajakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari siklus usaha perkebunan sawit rakyat, sekaligus berkontribusi pada penerimaan negara.Kewajiban Perpajakan Pada Tahap Persiapan Lahan dan PembibitanSejak awal proses usaha, pekebun sawit sudah ada kewajiban perpajakan pada tahap persiapan lahan dan pembibitan. Pada waktu perolehan lahan akan ada kewajiban berupa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dan setiap tahun memiliki kewajiban melaporkan dan/atau menyetor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan. Pada fase persiapan lahan dan fase pembibitan, atas penggunaan tenaga kerja, muncul kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Apabila menggunakan jasa pihak ketiga seperti jasa penanaman, pembibitan, atau jasa logistik maka dilakukan pemotongan PPh Pasal 23/26. Artinya, meski kebun belum menghasilkan, kewajiban pajak sudah muncul sejak awal siklus usaha.Kewajiban Perpajakan Pada Tahap Pemeliharaan, Pemanenan dan PenjualanPada tahap pemeliharaan, kewajiban perpajakan timbul ketika pekebun menggunakan jasa pihak ketiga, misalnya jasa perawatan atau penyemprotan. Atas pembayaran jasa tersebut, pekebun wajib memotong PPh Pasal 23 sesuai ketentuan. Bila pembelian barang atau jasa dilakukan dari pihak yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka harga yang dibayarkan sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut oleh penyedia. Selain itu, apabila menggunakan tenaga kerja langsung, upah yang dibayarkan menjadi objek PPh Pasal 21.Pada tahap pemanenan, bila dilakukan secara mandiri, pekebun wajib memotong PPh Pasal 21 atas upah pekerja pemanen. Sedangkan apabila menggunakan jasa pihak ketiga, berlaku kewajiban pemotongan PPh Pasal 23, kecuali bagi pihak ketiga yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) atau telah memenuhi kriteria Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.Hasil penjualan Tandan Buah Segar (TBS) merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) bagi pekebun, baik Orang Pribadi maupun Badan, yang wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Apabila penjualan TBS dilakukan kepada industri pengolahan kelapa sawit atau eksportir yang ditunjuk, maka atas transaksi tersebut dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 dengan tarif 0,25% dari harga jual (tidak termasuk PPN). Pemungutan ini bersifat sebagai kredit pajak yang dapat diperhitungkan pada saat pelaporan SPT Tahunan.Bagi Wajib Pajak yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu berupa TBS, dapat menggunakan besaran tertentu untuk memungut dan menyetorkan PPN dengan tarif efektif 1,1% dari harga jual. Skema ini hanya dapat digunakan apabila pekebun/PKP telah mengajukan permohonan dan memperoleh persetujuan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum masa pajak penerapan.Pekebun juga memiliki kewajiban perpajakan atas keuntungan dalam penjualan hasil kebun. Bagi pekebun yang berbentuk badan usaha, penghasilan kena pajak dikenakan tarif umum PPh Badan sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu, bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria dengan peredaran bruto tertentu dan memiliki Surat Keterangan (Suket) berdasarkan PP 55 Tahun 2022, dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar 0,5% dari omzet. Adapun bagi pekebun Orang Pribadi yang tidak memiliki Suket tersebut, penghasilan dari penjualan TBS akan dikenakan tarif progresif PPh Orang Pribadi mulai dari 5% hingga 35% sesuai lapisan penghasilan kena pajak yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.Dari uraian di atas, jelas bahwa kewajiban perpajakan bagi pekebun sawit rakyat sudah ada sejak tahap awal hingga penjualan hasil panen. Kepatuhan terhadap ketentuan ini bukan hanya bentuk kontribusi terhadap penerimaan negara, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan menjaga keberlanjutan usaha perkebunan. Dengan memahami kewajiban perpajakan di setiap tahapan, pekebun sawit dapat mengelola usahanya secara lebih tertib, transparan, dan memperkuat posisi mereka sebagai penopang utama industri sawit nasional.