Ilustrasi Gen Z demands change (Foto: Pormadi)Demonstrasi besar di Indonesia pada akhir Agustus 2025 yang melibatkan mahasiswa, buruh, pengemudi ojek daring, dan masyarakat sipil memperlihatkan kenyataan getir: lembaga tradisional kian gagal merespons keresahan rakyat.Protes dipicu isu ketidakadilan ekonomi—tunjangan rumah anggota DPR di tengah tekanan hidup masyarakat, persoalan upah dan outsourcing, hingga korupsi dan gaya hidup elite yang kontras dengan penderitaan rakyat.Tragisnya, aksi ini juga diwarnai kekerasan aparat, penangkapan massal, bahkan jatuhnya 10 korban jiwa dan masih banyak lagi korban luka-luka dan trauma.Fenomena ini selaras dengan pandangan Zygmunt Bauman tentang masyarakat cair. Di tengah perubahan sosial yang cepat, institusi lama kehilangan daya ikat. Parlemen dan birokrasi yang seharusnya menjadi saluran aspirasi justru dipersepsikan sebagai simbol jarak sosial, sehingga Gen Z bersama kelompok masyarakat lain memilih jalanan dan media sosial sebagai ruang alternatif untuk bersuara.Gen Z BersuaraDemonstran memegang bendera Nepal saat asap mengepul di kompleks Parlemen, Kathmandu, Nepal, Selasa (9/9/2025). Foto: Adnan Abidi/REUTERSSituasi ini bukan khas Indonesia. Nepal, pada September 2025, juga diguncang protes besar yang dipimpin Gen Z. Aksi itu bermula dari keputusan pemerintah memblokir media sosial, diperburuk oleh maraknya korupsi dan kesenjangan sosial. Ribuan anak muda turun ke jalan, menolak negara yang dianggap tidak mendengar suara rakyat.Di Kenya, Juni 2024, puluhan ribu anak muda melancarkan protes masif menolak pajak baru yang membebani rakyat kecil. Gerakan ini unik karena dimotori generasi muda yang menggunakan media sosial—TikTok, X, dan Instagram—untuk mengorganisir aksi. Akibatnya, parlemen Kenya akhirnya mencabut rancangan undang-undang pajak yang memicu gelombang kemarahan publik tersebut.Ketiga peristiwa ini menegaskan relevansi gagasan Jürgen Habermas tentang ruang publik. Demokrasi hanya sehat bila warga memiliki ruang setara untuk berdialog bagi semua elemen dalam negara.Namun, ruang publik formal kerap dikooptasi elit politik atau direduksi menjadi formalitas. Karena itu, Gen Z menciptakan ruang publik baru: viral di TikTok dan Twitter soal RKUHP (2022) dan demonstrasi Agustus di Indonesia, aksi kolektif di Nepal, hingga mobilisasi digital di Kenya. Akan tetapi, ketika ruang alternatif ini ditekan atau diabaikan, yang muncul adalah krisis legitimasi negara.Hannah Arendt mengingatkan bahwa politik adalah action in concert—tindakan bersama warga untuk memperbaiki dunia. Demonstrasi di Indonesia, Nepal, dan Kenya adalah wujud nyata tindakan bersama itu. Namun ketika negara hadir hanya sebagai kekuatan penertib, bukan mitra dialog, aksi tersebut justru menandai jurang antara negara dan rakyat.Michel Foucault juga relevan. Ia menyingkap bagaimana kekuasaan bekerja lewat pengawasan dan disiplin. Cara aparat menekan demonstran di Indonesia, pemerintah Nepal memblokir ruang digital, atau negara Kenya mencoba menjustifikasi pajak regresif, menunjukkan praktik kekuasaan yang menghambat suara warga.Gen Z Menginginkan PerubahanJika ketidak-responsifan ini berlanjut, legitimasi demokrasi akan terus terkikis. Seperti kata Antonio Gramsci, krisis muncul ketika “yang lama sekarat dan yang baru belum lahir.” Protes Gen Z menunjukkan lahirnya bentuk baru politik: cair, kreatif, dan lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tugas lembaga tradisional adalah mengakui kenyataan ini—dengan membuka ruang partisipasi, merespons isu secara substantif, dan merawat dialog.Demonstrasi akhir Agustus di Indonesia, protes Gen Z di Nepal, dan mobilisasi digital di Kenya adalah alarm keras. Negara tidak cukup hanya membangun infrastruktur fisik; ia wajib merawat infrastruktur dialog—kesediaan mendengar, transparansi, dan tanggung jawab moral. Energi protes Gen Z bukan ancaman bagi demokrasi, melainkan peluang untuk menyegarkannya. Gen Z menginginkan perubahan tersebut, persoalannya kini: apakah negara berani mendengar?